Benarkah ada Syarat-syarat bagi Perempuan untuk Diperbolehkan Bekerja?

Oleh: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

 

Kita sering mendengar narasi-narasi yang mendaftar dan menuntut syarat-syarat tertentu bagi perempuan untuk diperbolehkan bekerja di ruang publik. Di antara yang sering disampaikan adalah ada izin dari suami, tidak melupakan peranya sebagai istri dan ibu rumah tangga, bukan pekerjaan yang diharamkan dan merendahkan martabatnya sebagai perempuan, tidak menimbulkan fitnah, dan jika perjalanan jauh harus ditemani mahram dari keluarganya.

Bagaimana syarat-syarat ini dibahas dalam Islam, baik dengan merujuk pada al-Qur’an, Hadits, maupun Fiqh? Bagaimana perspektif mubadalah memandang syarat-syarat ini, yang begitu khusus bagi perempuan Muslimah? Apakah ada juga syarat-syarat bagi laki-laki muslim untuk dibolehkan bekerja?

 

Norma Dasar dan Kaidah Dasar dalam Bekerja

Pada beberapa tulisan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits tentang bekerja, amal, kasab, infaq dan nafaqah juga sejatinya berlaku umum. Semua teks tentang hal ini menyapa laki-laki dan perempuan. Sebagaimana ayat dan hadits tentang iman, islam, shalat, haji, dan zakat yang juga menyapa laki-laki dan perempuan. Karena bekerja, menghasilkan uang, dan untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, maupun orang lain, adalah karakter dasar manusia.

Bekerja secara normatif dalam Islam adalah baik dan mulia. Dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Hal ini merupakan norma dasar dalam Islam. Tentu saja ada konteks dan kondisi, dimana sesuatu yang baik dan mulia, bisa berubah menjadi buruk dan tidak dianjurkan. Misalnya ketika pekerjaan itu hukumnya haram dalam Islam, membahayakan diri atau orang lain, atau sia-sia dan tidak menghasilkan manfaat apapun bagi kehidupan. Hal ini merujuk pada kaidah dasar dalam Islam jalbul-mashalih wa dar’ul-mafasid (mewujudkan kebaikan dan menjauhkan keburukan).

Berjudi, merekrut dan memperdagangkan orang, menerima jasa pembunuh bayaran, misalnya, adalah perbuatan-perbuatan yagn diharamkan dalam Islam. Pekerjaan yang awalnya boleh, tetapi dilakukan dengan cara yang berpotensi membahayakan diri dan atau orang lain, adalah juga tidak dianjurkan, bisa makruh atau bahkan haram. Tergantung tingkat kepastian bahayanya. Seperti mencat jalan raya tanpa marka dan alat pengaman, menjadi supir yang ugal-ugalan, menjadi profesi guru atau dokter yang menipu, dan banyak lagi.

Pekerjaan yang rentan menimbulkan huru-hara, mendatangkan musibah, kebencian, permusuhan, apalagi peperangan, adalah semua dilarang dalam Islam. Semua jenis pekerjaan ini tidak diperkenankan dilakukan laki-laki maupun perempuan. Karena ini menyangkut kaidah dasar dalam Islam, bahwa segala kerusakan harus dihapuskan (adh-dharar yuzal).

Kaidah dasar ini merujuk pada berbagai ayat al-Qur’an (misalnya, QS. Al-Baqarah, 2: 195) dan banyak sekali teks-teks hadits (misalnya, Sahih Muslim, no.  hadits: 6706, Sunan Turmudzi, no. hadits: 2052; Sunan Ibn Majah, no. hadits: 2430; dan Muwaththa’ Malik, no. hadits: 1435). Kaidah dasar lain, sebaliknya, adalah sebuah pekerjaan akan dianjurkan jika justru mendatangkan kebaikan, kemaslahatan, dapat memenuhi kebutuhan diri, keluarga, maupun yang lain. Kaidah dasar ini juga berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Termasuk ketika seorang perempuan sedang dalam keadaan ‘iddah sekalipun, ia tidak boleh dilarang bekerja, jika justru mendatangkan kebaikan (Sahih Muslim, no. hadits: 3794).

 

Merespon Syarat-syarat Khusus Perempuan

Syarat-syarat yang diajukan bagai perempuan muslimah bekerja, seperti di awal tulisan ini, adalah benar jika tidak melanggar norma dasar dan kaidah dasar tersebut di atas. Ia juga harus diletakkan dalam relasi yang mubadalah, atau resiprokal, dimana laki-laki dan perempuan menjadi subjek yang setara untuk melakukan dan memperoleh manfaat dari kebaikan yang diharapkan, dan dilarang menjadi pelaku maupun korban dari keburukan yang tidak diharapkan.

Syarat izin suami, misalnya, adalah baik jika dimaksudkan untuk memstikan keberadaan istri di tempat kerja bisa sehat dan aman, terlindungi dari segala bentuk kekerasan, atau mengantisipasi dari kemungkinan yang tidak diinginkan. Dengan makna yang sama, izin istri oleh suami juga menjadi baik dan penting untuk memastikan keberadaanyanya sehat dan aman, terlindungi, dan bisa menantisipasi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun, jika izin digunakan untuk melarang atau mengekang secara semena-mena, maka bertentangan dengan kaidah dasar di atas. Sehingga, ia harus batal bagi laki-laki maupun perempuan, demi prinsip dan kaidah dasar tersebut di atas.

Begitupun tidak melupakan syarat sebagai istri atau ibu, jika dimaksudkan sebagai komitmen untuk kebaikan keluarga, maka berlaku juga mubadalah. Artinya, laki-laki bekerja juga harus dengan syarat tidak melupakan perannya sebagai suami dan ayah dari anak-anaknya. Namun, jika digunakan justru untuk memberi beban secara berlebihan, menyalahkan, dan menyudutkan, maka tidak boleh berlaku bagi perempuan, sebagaimana juga tidak berlaku bagi laki-laki.

Syarat tidak menimbulkan fitnah juga sama, berlaku secara mubadalah. Karena fitnah, dengan makna apapun, misalnya menggoda atau kemungkinan terjadinya keburukan, bisa diakibatkan oleh laki-laki maupun perempuan. Korbannya pun bisa laki-laki dan bisa perempuan. Jadi, laki-laki maupun perempuan yang keluar rumah untuk bekerja, atau alasan apapun, semuanya harus menjaga diri agar tidak melakukan sesuatu yang terkait dengan makna fitnah, atau menjadi korban dari fitnah tersebut.

Hal yang sama juga dengan syarat mahram, jika diartikan perlindungan dan keamanan, maka bisa diwujudkan secara nyata melalui fasilitas publik yang nyaman dan aman, serta perlindungan hukum yang nyat. Baik terhadap perempuan maupuan laki-laki. Namun, jika diartikan pelarangan dan pengekangan, maka harus batal demi kaidah dan prinsip bekerja dalam Islam tersebut di atas.

Apalagi syarat agar pekerjaan yang digeluti adalah yang tidak dilarang dalam Islam, tentu saja, ini berlaku umum dan mubadalah. Semua umat Islam harus tunduk pada syarat ini, tidak peduli laki-laki maupun perempuan. Karena laki-laki muslim dan perempuan Muslimah harus tunduk pada aturan dasar yang telah ditetapkan Allah Swt dalam al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw dalam Hadits, termasuk kaidah-kaidah dasar dalam  bekerja, sebagaimana dijelaskan di awal tulisan. Wallah a’lam.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *