Kisah Halimah as-Sa’diyah: Muslimah yang Bekerja sebagai Ibu Susuan

Oleh: Nelly Ayu Apriliani

Salah satu tradisi masyarakat Arab yang tidak dimiliki oleh bangsa lain masa itu adalah para ibu yang baru melahirkan mencari jasa ibu susuan (radha’ah) yang berasal dari pedesaan. Pekerjaan ini sudah menjadi profesi bagi para perempuan desa.

Dalam al-Rahiq al-Makhtum karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, tradisi tersebut terjadi dalam sekali setiap musim. Para ibu dari perkampungan Arab Badui pergi ke kota untuk mencari para ibu yang bersedia untuk menggunakan jasa ibu susuan bagi bayi mereka. Menurut KH Munawar Cholil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, tujuan dari tradisi tersebut adalah sang bayi dapat hidup dalam udara padang pasir yang bersih, sehingga kelak bayi tersebut akan tumbuh menjadi anak sehat, cerdas dan mandiri.

Profesi ibu susuan ini banyak digeluti oleh masyarakat perkampungan Arab Badui. Ibnu Ishaq menyebutkan dalam al-Sirah al-Nabawiyahnya di antara Arab Badui yang sebagian besar masyarakatnya menggeluti profesi sebagai ibu susuan adalah para ibu dari Bani al-Adram, Bani Maharib, Bani ‘Amir Ibn Luay dan Bani Sa’d Ibn Bakar. Ibnu Ishaq juga menambahkan bahwa profesi ibu susuan bagi sebagian masyarakat Arab bukanlah profesi yang baik atau terpandang hingga muncul sebuah pepatah Arab:

تَجُوعُ الْمَرْأَةُ وَلَا تَأْكُلُ بِثَدْيَيْهَا

Seorang wanita yang kelaparan tidak akan menggunakan kantung susunya

Namun sebagian yang lainnya menganggap bahwa profesi ibu susuan bukanlah suatu yang buruk, karena masyarakat Arab Mekkah kala itu meyakini bahwa lingkungan persusuan bagi anak juga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan fisik masyarakat Arab layaknya vaksinasi pada era modern saat ini.

Baca juga: Rasulullah dan Pentingnya Bahasa

Dalam al-Hayah al-Ijtima’iyyah fi Makkah karya Ilham Babthin, pekerjaan ibu susuan sudah ada pada zaman Raja Fir’aun, ketika pada saat itu Nabi Musa (bayi) dipersusukan kepada ibu susuan yang sebenarnya ibu kandungnya sendiri. Pada masa jahiliyah, masyarakat Arab perkotaan yang notabennya berasal dari keluarga menegah ke atas selalu mengirimkan bayi mereka kepada ibu susuan di daerah perkampungan Arab Badui. Tradisi ini berlangsung hingga abad ke 13 H, ketika ulama-ulama fikih pada abad itu melihat banyaknya mafsadah yang ditimbulkan dari tradisi tersebut yaitu merebaknya percampuran nasab.

Begitu lah kondisi perempuan saat itu. Dengan keterbatasannya, mereka masih bekerja dan ikut menghidupi keluarganya. Islam tidak melarang hal itu. Bahkan dalam beberapa kitab fikih, hal itu diatur. Rasul SAW sendiri tidak pernah melarang hal itu. Kita juga tidak pernah, bukan, mendengar sebuah hadis yang marah kepada ibu susuannya karena bekerja sebagai ummur radha’ah?

Nabi Muhammad kecil juga disusui oleh ibu radha’ah pasca disusui oleh ibu kandungnya sendiri selama tujuh hari. Siti Aminah, ibu kandung Nabi berniat untuk menitipkan Nabi untuk disusui kepada perempuan Bani Sa’ad. Namun, sambil menunggu kedatangan seorang perempuan dari Bani Sa’ad yang akan menyusui Nabi, Siti Aminah menitipkan Nabi kepada Tsuaibah al-Aslamiyah, budak Abu Lahab untuk disusuinya. Dalam Tarikh ath-Thabari, Imam al-Thabari mengatakan:

أَوَّلُ مَنْ أَرْضَعَ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم ثُوَيْبَةُ

Orang pertama yang menyusui Nabi Muhammad adalah Tsuaibah

Sebagian besar perempuan dari Bani Sa’ad bin Bakar bekerja sebagai ibu radha’ah, karena lingkungan Bani Sa’ad merupakan lingkungan yang terletak di pedesaan dan bahasa Arab mereka sangat fasih.

Dalam al-Sirah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, ketika rombongan perempuan Bani Sa’ad menuju kota Mekah untuk bekerja mencari bayi yang akan dititipkan kepada mereka agar disusui, tidak ada satupun dari mereka yang bersedia menerima Nabi Muhammad. Mereka menolak menyusui Nabi lantaran saat itu beliau seorang bayi yatim, karena mereka beranggapan tidak ada yang bisa diharapkan dari ibu atau kakek seorang anak yatim. Semua perempuan Bani Sa’ad sudah mendapatkan bayi yang akan disusuinya kecuali Halimah binti Abu Dzuaib atau yang lebih dikenal dengan Halimah as-Sa’diyah.

Baca juga: Kisah Rasulullah SAW dan Ibu Susuannya, Halimah as-Sa’diyah

Halimah as-Sa’diyah saat itu bersama suami dan anak laki-lakinya yang masih balita dengan mengendarai keledai putih dan seekor unta betina yang sudah lama tidak bisa diperah susunya. Ketika dia tidak mendapatkan bayi yang akan ia susui, Halimah meminta izin kepada suaminya untuk menerima anak yatim tersebut. Kemudian suamniya mengizinkan dan berharap Allah akan memberkati keluarganya melalui anak yatim tersebut. Halimah kemudian menghampiri dan membawa bayi itu bersama rombongannya pulang.

Halimah as-Sa’diyah termasuk orang terdekat Nabi yang melihat tanda-tanda kebesarannya. Ketika rombongan Bani Sa’ad bersinggah di suatu tempat untuk beristirahat sejenak, Halimah melihat suaminya menuju ke arah unta mereka yang sudah siap diperah susunya. Mereka kemudian memerah dan meminum susunya. Pada pagi harinya, Halimah membawa bayi yatim dengan mengendarai keledai putihnya. Anehnya, keledai putih yang ditumpangi Halimah berlari sangat cepat dan membuat para rombongan yang lain terheran-heran melihatnya.

Sampailah Halimah dan rombongan di desa asal. Pada tahun itu desa tersebut mengalami masa paceklik. Namun kambing-kambing peliharannya datang menghampirinya dalam keadaan kenyang dan siap diperah susunya. Kehidupan Halimah dan keluarganya selalu dimudahkan semenjak kehadiran Nabi Muhammad. Hal ini mengundang kecemburuan warga sekitar.

Setelah dua tahun, Halimah membawa Nabi ke Mekah untuk mengembalikannya kepada ibunya. Namun, karena sangat menyangi Nabi dan berat untuk berpisah dengannya, Halimah membujuk Siti Aminah agar mengizikannya untuk mengurus Nabi Muhammad beberapa tahun lagi. Halimah wafat pada tahun 10 Hijriah dan dimakamkan di Baqi’. (AN)

Artikel ini hasil kerjasama islami.co dengan RumahKitaB

Baca juga tulisan lain tentang Muslimah Bekerja di sini.

Mutiara Anissa: Pentingnya Representasi Perempuan dan Pemimpin Perempuan di Masa Pandemi

Pada awal 2020, dunia mengalami pandemi Covid-19. Muti, panggilan akrab Mutiara, bersama kedua temannya menginisiasi Pandemic Talks—sebuah akun Instagram yang mengkompilasi dan menyajikan data-data resmi soal pandemi virus corona, memberikan informasi saintifik dan sosial secara terang dan blak-blakan. Para inisiator Pandemic Talks merupakan relawan yang mengisi gap informasi terkait pandemi di Indonesia. Muti sendiri sendiri merupakan seorang ilmuwan biomedikal.

Muti adalah satu-satunya perempuan di Pandemic Talks. Pada Desember kemarin, Pandemic Talks berbicara dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono. Muti sedang hamil tujuh bulan saat itu. Selain melakukan edukasi saintifik di Pandemic Talks, Muti juga seorang saintis biomedikal yang menjadi peneliti biologi molekuler. Mayoritas teman-teman Muti di biomedikal adalah perempuan, terlebih atasannya juga seorang perempuan. Menurut Muti, penting representasi perempuan di dunia sains sehingga banyak perempuan lainnya yang ingin bergabung dan belajar. Tidak ada lagi stigma sains itu maskulin dan susah.  Selain peneliti, Muti juga seorang dosen di Indonesia International Institute for Life Science.

Kenapa Muti memilih menjadi saintis yang dianggap susah dan ribet?

Ketika SMA, ia ingin berkarier di bidang yang sangat berguna bagi masyarakat. Karena suka biologi, Muti merasa sains biomedikal unik sekali, jarang dipelajari, dan jarang dipahami. Kesempatan memilih bidang biomedikal ini tidak akan terjadi tanpa support system-nya. Setelah lulus SMA, orang tua Muti percaya dan mendukung pilihannya ini meski kedua orang tuanya tidak ada yang berlatar saintis—ayahnya bekerja di bank dan ibunya seorang konsultan independen dan spesialis gender.

Berada di dunia sains bukanlah sesuatu yang mudah. Selain didukung keluarga, Muti juga didukung suami dan keluarganya ketika sudah menikah. Di rumah, ia dan suami bisa bekerja sebagai sebuah tim. Muti dan suami adalah generasi milenial dan sangat mengenal teknologi. Dengan itu, mereka menjadi lebih terbuka dengan isu kesetaraan. Ia dan suami sadar dengan isu tersebut. Dengan itu, mereka bisa berbagi tanggung jawab dan Muti bisa terus berkarier dan berkarya. Setelah menikah, Muti mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di Inggris dan suaminya menemaninya tinggal di London.

Memang, dunia sains, teknologi, engineering, dan matematika masih didominasi laki-laki. Namun kantor tempat Muti bekerja justru tidak demikian; karena 50 persen lebih adalah perempuan dan atasannya juga seorang perempuan. Tidak semua lab memiliki hal itu. Perempuan membutuhkan usaha dan kerja keras lebih dari laki-laki untuk mencapai posisi decision making. Tantangan perempuan di dunia sains adalah—pengalaman pribadi dan orang lain—memiliki work-life balance ketika perempuan saintis menjadi ibu.

“Banyak perempuan memang tidak sadar dengan potensinya. Hal penting yang harus dimiliki perempuan adalah kepercayaan diri yang tinggi. Kita juga harus memiliki dedikasi dan kerja keras. Lebih dari itu, lingkungan kerja  dan rumah yang mendukung juga sangat penting. Kita harus terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak tersebut. Di antara solusinya—dari tempat kerja—adalah jam kerja yang fleksibel, kebijakan manajemen yang ramah perempuan, penilaian yang adil terkait performa, dan bimbingan (mentorship),” tutur Muti.

Muti juga menekankan bahwa representasi perempuan itu penting sekali. Representasi pemimpin perempuan di pandemi sangat penting. Di Hari Perempuan Internasional, Pandemic Talks mengunggah tema women leaders dan pandemi.

Soal komunikasi publik saat pandemi, ternyata pemimpin perempuan jauh lebih baik.

Menurut penelitian profesor ekonomi Inggris 2020, negara yang memiliki pemimpin perempuan lebih sukses menangani pandemi, dengan tingkat kematian dan utangnya lebih rendah daripada negara dengan pemimpin laki-laki. Ini berdasarkan tindakan proaktif yang diambil pemimpin perempuan, bukan karena keberuntungan atau kebetulan. Misalnya, Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen. Dia sangat baik memimpin negaranya melewati pandemi karena dia belajar dari epidemi SARS pada 2006 lalu. Taiwan merupakan salah satu negara yang menutup perbatasannya setelah China pada saat awal pandemi. Dia juga melakukan screening dengan cepat dan menaikkan produksi masker. Karena kebijakan-kebijakannya itu, total kasus positif Covid-19 di Taiwan hingga hari ini hanya seribu kasus.

Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, juga banyak dikagumi banyak orang ketika pandemi. Pada awal pandemi, dia melakukan lockdown ketat dan melarang warga asing masuk ke negaranya di saat baru ada enam kasus. Dengan kebijakan lockdown, dia bisa menekan kasus Covid-19 dan kehidupan di sana sudah berlangsung normal. Pada awal pandemi, Ardern berkomunikasi dengan rakyatnya dengan Facebook Live setiap harinya dan menjawab pertanyaan dari warganya. Hal ini membuat tingkat kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya meningkat.

Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg, juga menggunakan strategi komunikasi yang unik. Dia melakukan jumpa pers dengan mengundang anak-anak. Dia menjawab pertanyaan dari anak-anak dan menjelaskannya dengan sangat simpel dan jelas. Kemudian Kanselir Jerman, Angela Merkel, sejak awal menyampaikan bahwa virus corona adalah virus yang berbahaya. Karena itu, ini harus dihadapi dengan serius. Jerman tidak memiliki fase denial seperti banyak negara lainnya. Uniknya, Merkel bisa menjelaskan konsep-konsep saintifik yang sangat rumit dengan jelas dan sederhana. Sebelum menjadi Kanselir, Merkel adalah seorang saintis. Ini menunjukkan bahwa perempuan bisa terus berkarier sesuai dengan kemampuannya.

“Saya tidak ingin menyampaikan bahwa, semua pemimpin perempuan adalah pemimpin yang baik di saat krisis dan laki-laki adalah pemimpin yang buruk. Namun, penelitian itu menunjukkan bahwa perempuan memiliki kesamaan ciri khas yang sangat baik,” ujar Muti.

Beberapa soft skills yang dimiliki perempuan adalah cara komunikasi yang empati dan peduli, mendengarkan banyak orang, berkolaborasi dengan cara yang unik, dan keterlibatan yang tinggi dengan orang lain. Dulu, ini dianggap sebagai sebuah kelemahan bagi perempuan pemimpin. Namun pandemi menunjukkan bahwa soft skill itu menjadi sangat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk menghadapi krisis.

Sebagai perempuan, kita harus berani menjadi diri sendiri, serta mengikuti naluri dan insting. Jangan menutupi sifat-sifat yang dirasa terlalu feminin atau ragu menjadi sosok pemimpin. Perempuan telah membuktikan berkali-kali bahwa perempuan bisa unggul jika diberikan kesempatan, sebagaimana para pemimpin perempuan tersebut. Kita membutuhkan lebih banyak pemimpin perempuan dan pekerja perempuan.

Tulisan ini diolah dari hasil webinar Choose to Challenge: Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja

Asma’ binti Abu Bakar: Putri Abu Bakar yang Menjadi Petani dan Beternak Kuda

Oleh: Qurrota A’yuni

Asma’ binti Abu Bakar ialah sosok perempuan cerdas, tangguh dan pemberani. Putri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq serta saudari beda ibu dari ‘Aisyah binti Abu Bakar. Ia dikenal sebagai pribadi yang pekerja keras serta shalihah dalam menjalankan syariat agama. Asma’ diberi julukan sebagai “Dzatun Nithaqain” oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berarti “perempuan yang mempunyai dua tali pinggang”, sebagai peringatan atas pengorbanan dan keberanian dari Asma’ binti Abu Bakar terhadap peristiwa hijrah Rasulullah bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. 

Suaminya adalah Zubair bin Awwam. Saat menikah, kondisi ekonominya sedang susah. Ia tidak memiliki harta dan budak, kecuali alat penyiram lahan dan kuda miliknya. Asma’ hidup bersama dengan sang suami dengan kehidupan yang apa adanya. Ia membantu suaminya bekerja sebagai petani dan merawat kudanya.

Baca juga: Asma’ Binti Abu Bakar dan Ibunya yang Non-Muslim

Asma ikut mencari nafkah dengan mengurus kuda, menumbuk biji-bijian untuk dimasak hingga memanggul biji-bijian dari Madinah ke kebun yang berjauhan dari sana. Meskipun Zubair hanya memiliki lahan dan kuda, namun Asma’ tidak pernah mengeluh. Bahkan Asma’ memberi makan sendiri kuda milik Zubair.

Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya, memberikan gambaran bagaimana tangguhnya seorang Asma’ binti Abu Bakar dalam membantu suaminya dengan bekerja sebagai petani dan beternak.
Dari Asma’ binti Abu Bakar ia berkata: “Az-Zubair bin Awwam menikahiku, pada saat itu ia tidak memiliki harta dan budak, ia tidak memiliki apa-apa kecuali alat penyiram lahan dan seekor kuda. Maka aku bekerja untuk membantu suamiku, yaitu memberi pakan kuda, merawat kudanya, mencari rumput, mengambil air minum, mengisi embernya dengan air, serta membuat adonan roti. Selain itu aku juga memikul benih tanaman dari tanah milik Zubair yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seluas sepertiga farsakh”. 

Dalam riwayat lain, Asma’ binti Abu Bakar berkata, Az-Zubair menikahiku ketika ia belum memiliki apa-apa, baik harta, budak atau semisalnya, selain unta untuk mengambil air dan seekor kuda miliknya. Maka aku yang memberi makan kudanya, mencari air, membuat geriba dan membuat adonan roti. Aku juga yang mengangkut biji-bijian (untuk pakan ternak) di atas kepalaku dari tanah bagian Az-Zubair yang diberikan oleh Rasulullah”. Diriwayatkan dari kitab Shahih Muslim, suatu ketika Asma’ binti Abu Bakar menjunjung keranjang berisi buah kurma dari kebun yang dihibahkan Rasulullah pada sang suami. Jarak kebun memiliki sejauh dua pertiga farsakh.

Baca juga: Benarkah Perempuan di Masa Nabi Hanya di Rumah Saja?

Keterangan hadits di atas menunjukkan bahwa Asma’ adalah sosok istri yang setia serta gigih dalam membantu suaminya. Ia adalah seorang yang bekerja keras dalam melakukan pekerjaannya yaitu sebagai petani dan beternak.

Bahkan, Rasulullah pernah memergoki Asma’ saat membantu suaminya membawa biji-bijian hasil kebun dari tanah Az-Zubair yang diberikan Rasulullah. Ia pun sanggup bekerja keras merawat dan menumbuk sendiri biji kurma untuk makanan kuda milik suaminya, di samping menyiapkan perbekalan dan juga mengikuti peperangan bersama suaminya dan Rasulullah. Saat Rasul melihat itu, Rasul tidak lantas melarang Asma dan meminta dia untuk tidak mengerjakannya. Hal ini juga menunjukkan Rasul tidak melarangnya untuk ikut bekerja.

Kedua aktivitas tersebut bukanlah hal yang tabu dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi Muhammad, suatu hal yang justru berbanding terbalik dengan kondisi perempuan Arab saat ini. Ketangguhan dan kegigihan Asma binti Abu Bakar dalam bekerja inilah yang merupakan suatu teladan yang patut di contoh bagi kaum muslimin terutama para wanita Muslimah.

Dalam keadaan tersulit pun Asma’ masih dapat membagikan hartanya. Sehingga tidak heran jika ia dikenal sebagai perempuan dermawan pada masanya. Sebagaimana Abdullah bin Zubair (putranya) berkata, “Tidaklah kulihat dua orang wanita yang lebih dermawan daripada Aisyah dan Asma’. Kedermawanan mereka berbeda. Adapun Aisyah, sesungguhnya dia suka mengumpulkan sesuatu, hingga setelah terkumpul semua, dia pun membagikannya. Sedangkan Asma’, dia tidak menyimpan sesuatu untuk besoknya.”

Perempuan yang bekerja, baik beternak, berkebun, atau pun pekerjaan lainnya di samping tugas di dalam rumah (mengurusi kepentingan keluarga dan memelihara anak) tidaklah menjadikan seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya. Melainkan menjadikannya kebaikan bahkan ladang pahala baik di dunia maupun di akhirat kelak.

 

Daftar Pustaka:

  • Muhammad Ibrahim Salim, Nisa’ Haula ar-Rasul (al-Qudwah al-Hasanah wa al-Uswah at-Tayyibah Li Nisa’ al-Usrah al-Muslimah) 
  • Aisyah Abdurrahman Bintu asy-Syathi’, Nisa’ an-Nabi ‘Alaihishalatu Wassalam, terj. Chadidjah Nasution, Jakarta: Bulan Bintang 
  • Muhammad Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, No . 4823.,  jilid 6, T.tp: Dar wa Mathabi’ al-Sya’b 
  • Ibnu Hajjaj Muslim, Shahih Muslim, Hadis No . 1442,  jilid 5, Kairo: al-Halabi wa Auladuh 
  • Ahmad Khalil Jam’ah, 70 Tokoh Wanita dalam Kehidupan Rasulullah, Jakarta: Darul Falah, 2004.

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Islami.co.

Khadijah binti Khuwailid: Istri Nabi yang Berdagang

Oleh:

Membahas Muslimah bekerja masa nabi rasanya tidak afdal kalau kita tidak membahas tokoh penting dalam hidup nabi. Ya, Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi yang berdagang. Ia adalah potret Muslimah bekerja pada masanya. Bahkan Muhammad sebelum menjadi nabi pun bekerja padanya.

Khadijah adalah puteri seorang tokoh terkenal dari Bani Asad yaitu Khuwailid Ibn Naufal ibn Abdul Uzza Ibn Qushay Ibn Kilab, yang lahir di Mekah 15 tahun sebelum tahun gajah atau sebelum lahirnya Nabi Muhammad saw. Ibunda Khadijah bernama Fatimah binti Zaidah Ibn Al-Aham Al-Qurasyiyah, seorang wanita berparas cantik yang terkenal di seluruh pelosok kota Mekah.

Kedua orang tua Khadijah berasal dari keluarga terpandang di masyarakat Quraisy dan berasal dari keturunan terbaik. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang kaya raya serta menjunjung tinggi akhlak mulia dan berpegang teguh pada agama.

Baca juga: Biografi Istri Tercinta Rasulullah Khadijah binti Khuwailid

Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad, Khadijah menikah dengan dua laki-laki, namun perpisahan dengan suaminya terjadi karena faktor kematian suami. Menurut Ibn Sa’ad dalam Thabaqatnya, suami pertama Khadijah adalah ‘Atiq Ibn Abid Ibn Abdillah Ibn ‘Amr Ibn Makhzum dan dikaruniai seorang anak bernama Haritsah. Setelah ‘Atiq meninggal Khadijah dinikahi oleh Abu Halah at-Taimi yang berasal dari Bani Asad Ibn Umair dan melahirkan dua anak laki-laki.

Sepeninggal dua suaminya, Khadijah meneruskan bisnis keluarga. Ternyata bisnis yang ia kelola malah semakin berkembang dan maju. Sayyid Muhammad Ibn Alawi al-Maliki al-Hasani dalam Manaqib Sayyidah Khadijah al-Kubra menuturkan Khadijah mempunyai perniagaan berskala besar dan membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk sekitar Mekah. Selain itu, Khadijah juga memiliki jaringan perniagaan yang meliputi dalam dan luar kota Mekah seperti Yaman, Syam, Persia dan Romawi.

Nama Sayyidah Khadijah sangat tersohor di telinga orang-orang Syam, Iraq, Persia dan Romawi dimana barang-barang Khadijah sampai ke negeri-negeri tersebut. Ia terkenal dengan kemuliaan keluarganya dan penguasaannya terhadap berbagai perdagangan.

Dalam kitab Ummul Mu’minin Khadijah Binti Khuwailid al-Matsal al-A’la li Nisa al-‘Alamin karya Ibrahim al-Jamal barang niaga Khadijah mencakup minyak wangi, kain sutera berkualitas tinggi yang ia impor dari Syiria, dan beberapa makanan pokok. Kafilah dagangannya yang berjumlah ribuan onta mengangkut dagangan ke pasar-pasar yang terdapat di Yaman, India dan Persia serta diterima oleh beberapa saudagar kaya di negeri tersebut. Bahkan Khadijah memilki beberapa orang pegawai dari Romawi, Ghassan, Persia, Damaskus, Hirah dan di ibukota Kisra.

Di antara metode yang Khadijah gunakan dalam mempekerjakan peagawainya adalah dengan memberikan upah tetap kepada mereka. Ia memberikan upah tersebut atas upaya yang mereka kerahkan dalam perniagaannya. Mereka tidak berurusan dengan keuntungan dan kerugiaan perniagaan.

Metode dagang lain adalah dengan mengikat akad para pedagang yang akan mengelola hartanya. Keuntungan dibagi antara dia dan para pedagang dengan persentase tertentu seperti seperempat, seperdelapan, seperenam, dan semisalnya. Adapun jika mengalami kerugiaan maka hanya ditanggung oleh pihak Khadijah saja. Pada dasarnya Khadijah yang memiliki harta tersebut, akad ini disebut Mudharabah atau Qaradh yang bermodalkan amanah.

Sayyidah Khadijah memilih mereka berdasar amanah, namun ia tetap mengutus Maisarah, pembantunya untuk memantau para pegawainya serta mencatat pemasukan dan pengeluaran perdagangan.

Perniagaan Khadijah sangat diberkahi, ia mendapat keuntungan melimpah dan kebaikan yang tak terkira. Namun Khadijah tidak pernah terpukau dan silau oleh kekayaan dan banyaknya harta yang ia miliki. Ia mempergunkannya untuk kebaikan semata mengharap keridhaan Rabb semesta alam. Khadijah menolak perintah karibnya dengan penuh kewibawaan agar meletakkan berhala atau patung-patung yang biasa disembah oleh penduduk Mekkah di rumahnya.

Baca juga: Khadijah, Wanita yang Alim

Khadijah mendengar pesan tentang Nabi yang akan diutus Allah untuk memberi petunjuk manusia dari bacaan Taurat dan Injil yang dilantunkan oleh putra pamannya, Waraqah. Khadijah berharap bisa melihatnya, menjadi pengikutnya, dan mempersembahkan apa yang ia miliki untuk menolong agamanya. Namun, Allah malah memilih Khadijah sebagai pendamping hidup laki-laki yang akan diangkat menjadi Nabi tersebut, yang tak lain adalah Nabi Muhammad saw.

Para suami yang melarang istrinya bekerja atas alasan agama, sepertinya perlu belajar banyak dari sosok satu ini. Pasalnya, setelah menjadi istri Nabi Muhammad SAW, Khadijah masih melanjutkan bisnisnya. Belum ada sumber yang menjelaskan bahwa Nabi melarang Khadijah melanjutkan pekerjaannya.

Fakta sejarah ini menjadi salah satu bukti otentik bahwa Nabi SAW sama sekali tidak melarang perempuan bekerja. Bahkan Khadijah lah yang menjadi ‘investor’ utama dakwah nabi. Nabi pun tidak pernah melarang istrinya untuk berhenti dari pekerjaannya dan fokus mengurus rumah tangga saja. (AN)

Wallahu a’lam.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di islami.co

Ummu Kultsum binti Ali: Cucu Rasul SAW yang Menjadi Bidan

Oleh: Fera Rahmatun Nazilah

Sebagian orang akan menganggap bahwa perempuan harusnya di rumah saja. Tapi tidak bagi Ummu Kultsum, ia menjadi bidan walau suaminya seorang Khalifah.

Profesi bidan memang baru ada di masa kini, namun sejatinya, pekerjaan membantu persalinan telah ada sejak lama, termasuk di masa Nabi Saw dan generasi setelahnya. Salah satu sahabat perempuan yang bekerja sebagai “bidan” adalah Ummu Kultsum binti Ali.

Ummu Kultsum merupakan putri Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra. Cucu Rasulullah Saw ini lahir pada tahun 6 H dan sempat bertemu kakeknya, sang utusan Allah Swt. Maka dari itu Ummu Kultsum tergolong sahabat, meskipun saat kakeknya wafat ia masih amat belia.

Istri Amirul Mukminin, Umar bin Khattab

Ummu Kultsum adalah perempuan cerdas dan mulia. Di samping itu, ia memiliki nasab yang begitu mulia, kakeknya adalah Nabi Muhammad Saw, sang khātimul anbiyaā, ayahnya adalah Ali bin Abi Thalib, sang bābul ilm, ibundanya adalah Fatimah az-Zahra, pemimpin perempuan ahli surga, dan dua kakaknya, al-Hasan dan al-Husein adalah pemimpin pemuda ahli surga.

Baca juga: Mengenal Putra-Putri Rasulullah SAW

Kemuliaan yang dimiliki Ummu Kultsum ini membuat Umar bin Khattab tertarik padanya. Khalifah kedua ini pun akhirnya meminangnya dan menikahinya pada bulan Dzul Qa’dah 17 H. Kala itu, Umar bin Khattab tengah menjabat sebagai amīrul mukminin.

Piawai dalam mengurus proses persalinan

Ummu Kultsum dikenal piawai dalam mengurus proses persalinan. Ia kerap kali membantu perempuan yang hendak melahirkan.

Ada suatu kisah menarik antara Ummu Kultsum dan Umar. Suatu malam, seperti biasa, sang suami, Umar bin Khattab keluar untuk mengontrol keadaan rakyatnya. Tatkala Umar melewati tanah lapang Madinah, ia mendengar suara rintihan perempuan dari dalam tenda. Di depan tenda itu ada seorang laki-laki yang sedang duduk kebingungan. Umar lalu menyapa laki-laki itu dan menanyakan apa yang sedang terjadi.

“Siapakah Anda? Ada apa gerangan?” tanya Umar.

“Aku adalah penduduk Badui (kampung) yang datang untuk meminta kemurahan hati dari Amirul Mukminin,” jawab lelaki itu. Ia tak menyadari bahwa sosok di hadapannya adalah Amirul Mukminin yang hendak ia temui.

“Lalu siapakah perempuan yang sedang merintih di sana?” Umar bertanya lagi

“Pergilah, urus saja urusanmu dan jangan menanyakan sesuatu yang bukan urusanmu,” jawab lelaki itu.

Akan tetapi, Umar tak mau pergi dan terus saja menawarkan bantuan. Ia berjanji akan membantu selama ia mampu. Akhirnya lelaki itu pun menjawab:

“Sesungguhnya ia adalah istriku, ia sedang mengalami kontraksi dan akan segera melahirkan, namun tak ada siapa pun di sini yang bisa membantu kami (mengurus persalinan),” jawab si lelaki itu dengan wajah murung dan kebingungan.

Baca juga: Adakah Nifas Setelah Operasi Sesar?

Mendengar hal itu, Umar langsung teringat pada istrinya, Ummu Kultsum yang menjadi bidan dan memiliki kemampuan membantu persalinan. Umar pun segera bergegas kembali ke rumahnya dan meninggalkan lelaki itu, ia berjanji akan kembali dengan seseorang yang bisa membantu mereka. Sesampainya di rumah, Umar langsung menceritakan peristiwa tadi kepada istri tercintanya, Ummu Kultsum.

Tanpa pikir panjang, Ummu Kultsum langsung menyanggupi tawaran Umar untuk membantu perempuan itu. Ia pun segera bersiap-siap, tak lupa ia juga membawa segala keperluan persalinan. Sedangkan Umar mengumpulkan makanan yang ada di rumahnya, mulai dari mentega hingga biji-bijian. Keduanya kemudian pergi ke tempat suami istri itu berada.

Sesampainya di sana, Ummu Kultsum segera masuk ke tenda dan dengan cekatan membantu persalinan sang ibu hamil. Sedangkan Umar bin Khattab menunggu di depan tenda bersama lelaki itu, sambil memasak makanan yang dibawa tadi.

Tatkala sang bayi lahir, Ummu Kultsum refleks berkata dengan suara keras “Kabar baik wahai Amirul mukminin, kawanmu dikaruniai seorang anak laki-laki”

Laki-laki itu terkejut mendengar ucapan Ummu Kultsum, ia baru tahu, rupanya lelaki yang sedang memasak dan meniup tungku di depannya adalah sang Amirul Mukminin. Demikian pula istrinya, ia pun kaget begitu mengetahui bahwa perempuan yang membatu persalinannya adalah istri dari Amirul Mukminin.

Pasangan suami istri ini pun berterima kasih pada Umar dan Ummu Kultsum. Mereka sungguh tak menyangka dapat menemui pemimpinnya di tengah malam gelap gulita. Bahkan tak tanggung-tanggung, sang Amirul Mukminin dan istrinya nya lah yang langsung membantu mereka.

Demikianlah kepiawaian Ummu Kultsum dalam bidang persalinan. Usianya memang masih muda, namun kemampuannya tak diragukan lagi. Posisi menjadi istri seorang Amirul Mukminin tidak menjadikan Ummu Kultsum berpangku tangan. Walaupun ia seorang perempuan, ia masih bisa keluar rumah dan bekerja sebagai bidan, membantu para perempuan lain untuk melahirkan.

Baca juga: Kisah Cinta Dua Putri Rasulullah SAW: Diceraikan Dua Anak Abu Lahab dan Dinikahi Utsman

Begitupun sikap Umar. Ia tidak melarang Ummu Kultsum duduk diam di rumah saja. Ia mengerti bahwa istrinya juga memiliki kemampuan. Bahkan ia sendiri yang meminta Ummu Kultsum memanfaatkan bakat yang ia miliki.

Nasib Ummu Kultsum ini mungkin berbeda dengan sebagian perempuan masa sekarang yang dilarang bekerja oleh suaminya, padahal ia memiliki kemampuan yang bisa jadi tidak dimiliki oleh orang lain. Semoga kisah ini bisa jadi ibrah bagi kita semua untuk terus belajar dan memanfaatkan kemampuan yang diberikan Allah SWT kepada kita. (AN)

Referensi: al-Ishabah fit Tamyiz as-Shahabah (h.463) Nisa Haular Rasul karya Khalid Muhammad Khalid.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Islami.co.

Feni Husna Alfiani: Support System untuk Menjalankan Bisnis sambil Bekerja Penuh Waktu

Husna Alfiani atau yang akrab disapa Feni ialah co-founder dari Maraca Books and Coffee, yang terletak tepat di pusat Kota Bogor. Konsep dari kafe ini adalah sebuah tempat ngopi yang dipadukan dengan koleksi buku-buku dari berbagai genre. Konsep tersebut diusung untuk menjaring pelanggan yang tersegmentasi; senang ngopi dan senang membaca. Kebetulan “maraca” sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti “membaca bersama-sama”. Konon di kota Bogor belum ada tempat ngopi yang bisa meminjamkan buku (untuk dibaca di tempat) dalam satu tempat yang sama; dari situlah Feni terdorong untuk membangun usahanya.

Usaha tersebut ia rintis bersama dengan suami dan teman semasa SMA-nya. Husna membagi ceritanya mengenai tantangan dan hambatan dalam memulai bisnisnya. Saat memulai bisnis, uang menjadi tantangan dan hambatan tersendiri. Meski tidak banyak, modal yang dikeluarkan harus terus berputar. Sebab para karyawan yang bekerja menggantungkan penghasilannya pada usaha tersebut. Kemudian penting juga baginya belajar mengelola waktu, energi, dan sumber daya.

Ketika pandemi datang, coffee shop serupa Maraca sangat terdampak. Dengan kebijakan pemerintah seperti pembatasan kapasitas yang hanya boleh 50% dan penyesuaian jam operasional, penjualan pun menurun dan banyak hal yang perlu disesuaikan. Hal lain yang harus disesuaikan adalah administrasi; kontrak para karyawan, jam operasional, dan skema THP (take home pay) harus turut berubah. Selain itu, cashflow perlu diatur sedemikian rupa karena kapasitas coffee shop dibatasi hingga 50%.

Agar usaha tersebut dapat terus berjalan, Feni dan rekan bisnisnya sedikit beralih untuk menjual sembako, tokonya ia beri nama Toko Iboek dan melayani penjualan via Instagram dan marketplace. Toko sembako ini rupanya dapat membantu pemasukan dan membuat coffee shop yang ia rintis terus berjalan walau tertatih. Karena di masa pandemi ini, belanja kebutuhan pokok secara online rupanya menjadi salah satu alternatif guna mengurangi mobilitas.

Selain memiliki bisnis coffee shop dan toko groceries online, sebenarnya Feni sehari-hari setiap Senin-Jumat bekerja penuh waktu sebagai seorang karyawan. Feni kemudian membagi kisahnya sebagai seorang ibu, istri, pekerja, dan individu dalam keluarga. Ia adalah ibu yang bekerja penuh waktu dan pengusaha perempuan pertama dalam keluarganya. Di keluarganya, sebagian besar perempuan bekerja, namun belum ada satu pun yang menjadi pengusaha. Hal tersebut menjadi tekanan tersendiri karena ada pandangan dengan kesibukannya, apakah keluarganya dapat terurus? Mengingat Feni bekerja sebagai seorang karyawan dari pukul 09.00-16.00 setiap Senin-Jumat dan memiliki usaha coffee shop.

“Saya sangat beruntung memiliki keluarga dan suami yang tidak pernah membatasi ruang gerak saya sebagai Ibu, istri, dan individu.” Ungkap Feni.

Menurutnya, faktor pola pengasuhan dan latar belakang pendidikan menjadi pengaruh terbesar cara pandang keluarganya. Ia dan suaminya memiliki kesepakatan bahwa hanya ada tiga hal yang tidak bisa dilakukan oleh suaminya sebagai seorang laki-laki, yaitu hamil, melahirkan, dan menyusui. Sehingga mengurus anak dan rumah tangga jelas dapat dikelola bersama. Tidak ada yang bebannya lebih besar dan lebih kecil. Namun, pembagian tugas itu dibagi berdasarkan kemampuannya dan suaminya dalam mengerjakan sesuatu. Misal, Feni lebih baik dalam mengelola keuangan, dan suaminya lebih rapi dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, maka mereka membagi tugas secara merata sesuai dengan keahliannya masing-masing.

Memiliki support system merupakan hal yang disyukuri oleh Feni. Dengan berbagai kegiatan yang ia jalani, kerap ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul, apakah keluarganya akan terurus? Namun, komunikasi menjadi kunci bagi Feni. Ia berusaha berkomunikasi dengan orang tuanya yang juga tinggal dalam satu kota. Ketika tidak ada yang membantu mengasuh anaknya, orang tuanya bersedia hadir mendukung dan membantu keluarga kecil Feni. Suaminya juga saat ini bekerja sebagai seorang freelancer sehingga lebih memiliki fleksibitas jam kerja dibandingkan Feni.

“Terkait komunitas, saya lebih condong pada support system komunitas yang bukan berafiliasi agama.” Ujar Feni. Seperti saat ini, misalnya, Feni cukup aktif sebagai anggota komunitas Ibu Ibu Kota Hujan. Ia juga beberapa kali membuka kelas brush lettering untuk saling berbagi dengan perempuan-perempuan yang memiliki hobi sama. Coffee shop-nya sendiri, saat sebelum pandemi, kerap dijadikan lokasi acara-acara komunitas dengan beragam tema, seperti isu keuangan, parenting, hingga bedah buku.

Karena menurutnya hal tersebut menjadi satu faktor yang membuka sudut pandangnya dan keluarganya mengenai perempuan sebagai individu yang memiliki ruang untuk aktualisasi diri. Ia mendapatkan banyak hal dan pandangan-pandangan yang progresif dari beragam sudut pandang setelah ia menjadi relawan dalam berbagai kegiatan, membuat event, dan lain sebagainya.

Menurut Feni ada hal penting yang perlu digarisbawahi, yaitu menjadi perempuan pengusaha pertama di keluarga besar tidak serta merta membuat keluarganya tidak terurus. Menurutnya itu bisa dia jalani karena Feni dan suami saling bekerja sama sehingga komunikasi terbangun dengan baik dan lebih terbuka. Pembagian tugas dalam mengelola coffee shop terkelola dengan baik, begitu pun dalam mengurus anak dan rumah tangga.

Salah satu hal terpenting dalam menjalani bisnis dan bekerja penuh waktu adalah support system yang selalu mendukungnya. Baik itu berupa komunikasi positif, pembagian tugas domestik yang seimbang antara suami dan istri, juga komunitas Feni yang hadir dari beragam latar belakang sehingga membuatnya dan orang-orang di sekitanya lebih terbuka pada perbedaan dan keragaman.

If it is stupid but it works, it is not stupid”.