Kisah Halimah as-Sa’diyah: Muslimah yang Bekerja sebagai Ibu Susuan

Oleh: Nelly Ayu Apriliani

Salah satu tradisi masyarakat Arab yang tidak dimiliki oleh bangsa lain masa itu adalah para ibu yang baru melahirkan mencari jasa ibu susuan (radha’ah) yang berasal dari pedesaan. Pekerjaan ini sudah menjadi profesi bagi para perempuan desa.

Dalam al-Rahiq al-Makhtum karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, tradisi tersebut terjadi dalam sekali setiap musim. Para ibu dari perkampungan Arab Badui pergi ke kota untuk mencari para ibu yang bersedia untuk menggunakan jasa ibu susuan bagi bayi mereka. Menurut KH Munawar Cholil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, tujuan dari tradisi tersebut adalah sang bayi dapat hidup dalam udara padang pasir yang bersih, sehingga kelak bayi tersebut akan tumbuh menjadi anak sehat, cerdas dan mandiri.

Profesi ibu susuan ini banyak digeluti oleh masyarakat perkampungan Arab Badui. Ibnu Ishaq menyebutkan dalam al-Sirah al-Nabawiyahnya di antara Arab Badui yang sebagian besar masyarakatnya menggeluti profesi sebagai ibu susuan adalah para ibu dari Bani al-Adram, Bani Maharib, Bani ‘Amir Ibn Luay dan Bani Sa’d Ibn Bakar. Ibnu Ishaq juga menambahkan bahwa profesi ibu susuan bagi sebagian masyarakat Arab bukanlah profesi yang baik atau terpandang hingga muncul sebuah pepatah Arab:

تَجُوعُ الْمَرْأَةُ وَلَا تَأْكُلُ بِثَدْيَيْهَا

Seorang wanita yang kelaparan tidak akan menggunakan kantung susunya

Namun sebagian yang lainnya menganggap bahwa profesi ibu susuan bukanlah suatu yang buruk, karena masyarakat Arab Mekkah kala itu meyakini bahwa lingkungan persusuan bagi anak juga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan fisik masyarakat Arab layaknya vaksinasi pada era modern saat ini.

Baca juga: Rasulullah dan Pentingnya Bahasa

Dalam al-Hayah al-Ijtima’iyyah fi Makkah karya Ilham Babthin, pekerjaan ibu susuan sudah ada pada zaman Raja Fir’aun, ketika pada saat itu Nabi Musa (bayi) dipersusukan kepada ibu susuan yang sebenarnya ibu kandungnya sendiri. Pada masa jahiliyah, masyarakat Arab perkotaan yang notabennya berasal dari keluarga menegah ke atas selalu mengirimkan bayi mereka kepada ibu susuan di daerah perkampungan Arab Badui. Tradisi ini berlangsung hingga abad ke 13 H, ketika ulama-ulama fikih pada abad itu melihat banyaknya mafsadah yang ditimbulkan dari tradisi tersebut yaitu merebaknya percampuran nasab.

Begitu lah kondisi perempuan saat itu. Dengan keterbatasannya, mereka masih bekerja dan ikut menghidupi keluarganya. Islam tidak melarang hal itu. Bahkan dalam beberapa kitab fikih, hal itu diatur. Rasul SAW sendiri tidak pernah melarang hal itu. Kita juga tidak pernah, bukan, mendengar sebuah hadis yang marah kepada ibu susuannya karena bekerja sebagai ummur radha’ah?

Nabi Muhammad kecil juga disusui oleh ibu radha’ah pasca disusui oleh ibu kandungnya sendiri selama tujuh hari. Siti Aminah, ibu kandung Nabi berniat untuk menitipkan Nabi untuk disusui kepada perempuan Bani Sa’ad. Namun, sambil menunggu kedatangan seorang perempuan dari Bani Sa’ad yang akan menyusui Nabi, Siti Aminah menitipkan Nabi kepada Tsuaibah al-Aslamiyah, budak Abu Lahab untuk disusuinya. Dalam Tarikh ath-Thabari, Imam al-Thabari mengatakan:

أَوَّلُ مَنْ أَرْضَعَ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم ثُوَيْبَةُ

Orang pertama yang menyusui Nabi Muhammad adalah Tsuaibah

Sebagian besar perempuan dari Bani Sa’ad bin Bakar bekerja sebagai ibu radha’ah, karena lingkungan Bani Sa’ad merupakan lingkungan yang terletak di pedesaan dan bahasa Arab mereka sangat fasih.

Dalam al-Sirah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, ketika rombongan perempuan Bani Sa’ad menuju kota Mekah untuk bekerja mencari bayi yang akan dititipkan kepada mereka agar disusui, tidak ada satupun dari mereka yang bersedia menerima Nabi Muhammad. Mereka menolak menyusui Nabi lantaran saat itu beliau seorang bayi yatim, karena mereka beranggapan tidak ada yang bisa diharapkan dari ibu atau kakek seorang anak yatim. Semua perempuan Bani Sa’ad sudah mendapatkan bayi yang akan disusuinya kecuali Halimah binti Abu Dzuaib atau yang lebih dikenal dengan Halimah as-Sa’diyah.

Baca juga: Kisah Rasulullah SAW dan Ibu Susuannya, Halimah as-Sa’diyah

Halimah as-Sa’diyah saat itu bersama suami dan anak laki-lakinya yang masih balita dengan mengendarai keledai putih dan seekor unta betina yang sudah lama tidak bisa diperah susunya. Ketika dia tidak mendapatkan bayi yang akan ia susui, Halimah meminta izin kepada suaminya untuk menerima anak yatim tersebut. Kemudian suamniya mengizinkan dan berharap Allah akan memberkati keluarganya melalui anak yatim tersebut. Halimah kemudian menghampiri dan membawa bayi itu bersama rombongannya pulang.

Halimah as-Sa’diyah termasuk orang terdekat Nabi yang melihat tanda-tanda kebesarannya. Ketika rombongan Bani Sa’ad bersinggah di suatu tempat untuk beristirahat sejenak, Halimah melihat suaminya menuju ke arah unta mereka yang sudah siap diperah susunya. Mereka kemudian memerah dan meminum susunya. Pada pagi harinya, Halimah membawa bayi yatim dengan mengendarai keledai putihnya. Anehnya, keledai putih yang ditumpangi Halimah berlari sangat cepat dan membuat para rombongan yang lain terheran-heran melihatnya.

Sampailah Halimah dan rombongan di desa asal. Pada tahun itu desa tersebut mengalami masa paceklik. Namun kambing-kambing peliharannya datang menghampirinya dalam keadaan kenyang dan siap diperah susunya. Kehidupan Halimah dan keluarganya selalu dimudahkan semenjak kehadiran Nabi Muhammad. Hal ini mengundang kecemburuan warga sekitar.

Setelah dua tahun, Halimah membawa Nabi ke Mekah untuk mengembalikannya kepada ibunya. Namun, karena sangat menyangi Nabi dan berat untuk berpisah dengannya, Halimah membujuk Siti Aminah agar mengizikannya untuk mengurus Nabi Muhammad beberapa tahun lagi. Halimah wafat pada tahun 10 Hijriah dan dimakamkan di Baqi’. (AN)

Artikel ini hasil kerjasama islami.co dengan RumahKitaB

Baca juga tulisan lain tentang Muslimah Bekerja di sini.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *