Kolom Kang Faqih: Kodrat Perempuan dalam Islam

Oleh: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam berbagai obrolan, perempuan sering dianggap memiliki kodrat yang berbeda dari kodrat laki-laki. Misalnya, banyak orang menyatakan bahwa pada perempuan melekat kodrat untuk dikejar laki-laki, dicari, diperhatikan dan dicintai. Sementara pada laki-laki, melekat kodrat untuk mengejar, mencari, memperhatikan dan mencintai. Sehingga ketika ada laki-laki yang mengejar-ngejar perempuan, dianggap wajar, sementara kalau perempuan mengejar laki-laki, dianggap tidak wajar karena menyalahi kodratnya sebagai perempuan.

Kita juga sering mendengar ungkapan bahwa di antara kodrat perempuan adalah hamil, melahirkan, menyusui,dan memelihara anak. Jika ada perempuan yang enggan untuk hamil atau menyusui, ia akan dianggap orang yang mengingkari kodrat penciptaanya. Begitupun, tinggal di rumah dan mengurus keluarga adalah kodrat perempuan. Sehingga, ketika ia memilih bekerja di luar rumah atau berkarir di ruang publik, seringa dianggap sebagai perempuan yang menyalahi kodratnya sebagai perempuan.

Benarakah demikian?

 

Makna Kodrat secara Bahasa

Kata ‘kodrat’ berasal dari bahasa Arab, yaitu al-qudrah, yang berarti kekuasaan dan kemampuan. Ketika ‘dicintai dan dikejar’ merupakan ‘kekuasaan perempuan’, kita tidak tepat menyatakan bahwa perempuan yang mengejar dan tidak dikejar adalah perempuan yang menyalahi kekuasaannya. Perempuan yang bekerja di dalam rumah, atau berkarir di luar rumah, adalah sama-sama orang yang menjalankan kodrat kemampuanya untuk memperoleh kebaikan-kebaikan hidup. Di dalam atau di luar rumah, adalah sama-sama bagian dari kodrat, dengan makna kemampuan dan kapasitas perempuan diperlukan untuk melakukan aktivitas di dua ranah tersebut.

Seperti yang ditulis dalam Kamus Arab yang cukup populer, ‘al-Mu’jam al-Wasith’, kata al-qudrat  berarti ath-thâqah (kekuatan), al-quwwatu ‘ala asy-sya’i wa at-tamakkun minhu (kekuatan untuk mengendalikan sesuatu) dan al-ghina wa ats-tsara (harta kekayaan). Dengan menggunakan tiga makna al-qudrah ini, ungkapan ‘kodrat perempuan’ hanya bagi peran-peran seperti hamil, melahirkan, dicintai, menjadi ibu, bekerja di dalam rumah dan peran-peran lain, bisa dikatakan tidak tepat. Tetapi kata ‘kodrat’ di sini mungkin mengambil makna dari kata yang lain dalam bahasa Arab, yaitu al-qadru yang berarti ukuran, batasan dan kehormatan. Atau dari kata al-qadaru, yang berarti kondisi yang telah ditetapkan sejak awal oleh Allah Swt terhadap seseorang. Dalam ungkapan lain juga disebut takdir, atau taqdir. Kodrat perempuan dalam hal ini, sering juga disebut takdir perempuan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kodrat diartikan dengan sifat yang asli atau sifat bawaan. Makna ini dekat dengan makna dari dua kata bahasa Arab yang terakhir, al-qadru dan al-qadaru. Kodrat perempuan juga kemudian dimaknai sebagai sesuatu yang melekat secara penciptaan dalam diri perempuan. Atau lebih dikenal juga dengan istilah fitrah perempuan. Jika kodrat artinya demikian, sebenarnya yang melekat secara penciptaan dalam diri perempuan, yang membedakannya dari laki-laki, hanya beberapa hal. Yaitu kelamin perempuan atau vagina, rahim dan kelenjar payudara. Selain itu adalah soal peran-peran sosial yang secara kasat mata selalu bertukar antara laki-laki dan perempuan.

 

Makna Kodrat secara Sosial

‘Kodrat perempuan’ dalam kamus sosial masyarakat Indonesia, lebih merupakan istilah bagi norma-norma yang semestinya melekat pada diri perempuan. Bukan murni dari penciptaan biologis yang selalu melekat pada diri perempuan selamanya. Karena merupakan norma, maka persepsi tentang kodrat perempuan juga berbeda-beda dari satu suku ke suku yang lain, bahkan antara satu keluarga dengan keluarga yang lain, dan juga pasti berbeda dari satu masa ke masa yang lain. Misalnya, persepsi masyarakat tentang perempuan atau istri yang bekerja, berbeda antara masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan, antara suku Jawa dengan suku Minangkabau, antara lima puluh tahun yang lalu dengan masa kita sekarang ini. Padahal semuanya, biasanya diungkapkan dengan pernyataan ‘kodrat perempuan’.

Istilah ‘kodrat perempuan’ kemudian lebih banyak digunakan untuk mengecilkan peran sosial perempuan dalam masyarakat, membatasi, mengekang, bahkan melecehkan mereka. Misalnya, ungkapan bahwa kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga, sering digunakan sebagian orang untuk mengekang perempuan agar tinggal di dalam rumah saja dan tidak banyak keluar sekalipun untuk belajar atau bekerja. Ketika bekerjapun, pekerjaan perempuan dianggap sambilan untuk membantu suami, karena itu ia digaji ‘sambilan’ dan tidak utuh. Persepsi kodrat seperti ini, yang menyebabkan perempuan pembantu rumah tangga misalnya, digaji sangat kecil sekalipun jenis pekerjaanya cukup melelahkan dan melebihi batas kewajaran. Jika dibandingkan, pasti upah pembantu rumah tangga lebih kecil dari gaji supir yang hanya melakukan pekerjaan antar-jemput majikan.

Masih banyak lagi persepsi kodrat yang berkembang di masyarakat, yang pada praktiknya sering merugikan perempuan. Mereka seringkali diharuskan untuk hidup sesuai kodrat yang diasumsikan, padahal peran mereka sudah tidak lagi bisa disesuaikan dengan kodrat tersebut. Ketika dipaksakan, yang terjadi adalah keburukan, pelecehan, dan kezaliman. Seperti kodrat keibuan, lemah lembut, dipilihkan, dan dikawinkan, dilindungi, pendamping suami, pasivitas dalam hal kebutuhan seks, dinafkahi dan tidak menafkahi, emosional dalam membuat keputusan, hidup di dalam rumah dan menjadi figur penggoda bagi masyarakat.

Dengan semua persepsi, yang dianggap kodrat ini, perempuan lalu sering disalahkan ketika harus bekerja, atau memilih bekerja di luar rumah. Ketika perempuan berada di ruang publik, untuk bekerja atau yang lain, karena dianggap melanggar kodrat, lalu dianggap wajar menjadi korban kekerasan. Perempuan menjadi tidak dilindungi ketika melakukan hal-hal yang menjadi haknya di ruang publik, untuk belajar, bekerja, travelling, membantu orang, atau yang lain.

 

Kodrat Perempuan dalam Islam

Perempuan dalam Islam, sebagaimana laki-laki adalah khalifah fil ardh, yang memperoleh mandat untuk memakmurkan kehidupan di bumi, dengan melakukan segala kebaikan. Mandat pemakmuran ini dilakukan dengan merujuk pada visi rahmatan lil ‘alamin, agar menjadi anugerah bagi yang lain, dan pada misi akhlaq karimah. Sebagai pemegang mandat ini, perempuan berhak atas segala penguatan dan pemerdayaan agar mampu mengimplementasikan mandatnya. Pada saat yang sama, juga berhak menerima segala kebaikan hidup di dunia, kerahmatan, dan akhlaq karimah dari yang lain.

Dengan demikian, segala persepsi, norma, atau pandangan-pandangan yang justru akan melemahkan peran perempuan sebagai khalifah fil ardh harus diluruskan. Termasuk persepsi kodrat di atas, yang tidak hanya melemahkan perempuan, bahkan menempatkannya pada posisi rentan menjadi korban kekerasan, baik fisik, mental, maupun seksual. Upaya-upaya untuk meluruskan persepsi ini, dan mengembalikan peran perempuan sebagai khalifah fil ardh menjadi wajib dilakukan. Karena persepsi-persepsi buruk mengenai kodrat perempuan inilah, wasiat Nabi Saw pada saat Haji Wada’ menjadi relevan sampai sekarang.

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الأَحْوَصِ حَدَّثَنِى أَبِى أَنَّهُ شَهِدَ حِجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ ثُمَّ قَالَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ (سنن ابن ماجه، رقم: 1924).

Dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwas, berkata: ayahku bercerita kepadaku, bahwa ia mengikuti Haji Wada’ (Perpisahan) bersama Rasulullah Saw, (dan di antara yang disampaikan pada saat itu), setelah memuji Allah, memberi peringatan dan nasihat, Rasul Saw berkata: “Saling berpesan di antara kalian semua untuk selalu berbuat baik kepada perempuan, karena mereka (sering diperlakukan buruk laksana) tawanan saja. Padahal, kalian tidak berhak atas mereka, kecuali untuk kebaikan mereka”. (Sunan Ibn Majah, no. 1924).

 

Pernyataan Nabi Saw ini merupakan peneguhan terhadap dua hal; pertama bahwa realitas sosial dalam banyak hal sering tidak bersahabat terhadap perempuan, seperti persepsi kodrat tersebut di atas. Dan hal ini bertentangan dengan misi Islam yang rahmah dan akhlaq karimah. Kedua bahwa pada kondisi yang seperti itu, pemihakan terhadap perempuan menjadi sebuah keniscayaan sebagai wujud dari perlakuan baik terhadap perempuan. Bahkan merupakan jihad yang paling baik. “Sebaik-baik jihad adalah menyatakan kebenaran di hadapan kekuasaan yang zalim” (Sunan Turmudzi, no. 2329). Persepsi masyarakat mengenai kodrat perempuan, seperti digambarkan di atas, merupakan kezaliman yang harus diluruskan. Pelurusan ini yang mudah-mudahan termasuk dalam katagori jihad yang paling baik di mata Allah Swt. Wallahu a’lam.

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *