Memetakan Tantangan Perempuan

Oleh: Lies Marcoes

Tema International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional tahun ini adalah ”Choose to Challenge”. Secara bebas ini bisa diartikan ”berani menantang”.

Ibarat pit stop untuk pelari maraton, bagi perempuan ini adalah momentum untuk sejenak berhenti dan memetakan kekuatannya dalam menghadapi tantangan masa depan.

Secara konsisten, setidaknya ada tiga masalah yang terus muncul sebagai tantangan belakangan ini: peluang bonus demografi, dampak perubahan sosial ekonomi pada relasi jender, serta menguatnya konservativisme budaya dan agama. Ketiga isu ini sangat relevan dilihat dalam konteks penanganan pandemi Covid-19 saat ini.

Perempuan dan Bonus Demografi

Bonus demografi bagi perempuan bisa menjadi peluang. Badan Kependudukan Dunia dan Bappenas telah menghitung bahwa dalam 10 tahun ke depan dan dalam jangka 10 tahun itu (2030-2040) Indonesia akan kelimpahan panen secara demografi. Ini karena jumlah penduduk usia produktif akan mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang separuhnya perempuan. Namun, panen ini hanya bisa dipetik jika kualitas SDM naik.

Covid-19 yang selama satu tahun menghantam dunia, berdampak besar pada proses-proses peningkatan SDM, tak terkecuali di Indonesia. Di lapangan, kita berhadapan dengan soal-soal mendasar untuk capaian pembangunan: angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka partisipasi pendidikan anak perempuan dan partisipasi ekonomi. Ada kemajuan dalam bidang-bidang itu, tetapi cenderung stagnan. Apalagi setelah dihantam Covid-19.

Demikian juga dalam upaya penurunan angka kawin anak. Padahal, kawin anak punya implikasi lanjutan pada angka putus sekolah dan akhirnya berdampak terhadap kualitas SDM. Data Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menunjukkan, satu dari delapan anak perempuan masuk ke perangkap kawin anak. Upaya politik menaikkan usia kawin melalui perubahan Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 19, untuk sementara, malah menaikkan angka dispensasi nikah.

Walhasil, bonus demografi secara nyata berhadapan dengan kesenjangan yang tajam antarwilayah. Pengaruhnya tidak hanya pada kesenjangan capaian Indeks Pembangunan Manusia, tetapi juga pada peluang bonus demografi itu.

Ini contoh kesenjangan dimaksud. Mutiara Anissa MSc adalah perempuan milenial Indonesia ahli biologi molekuler lulusan universitas ternama di London. Dengan memanfaatkan teknologi canggih di bidang komunikasi dan kemampuan bahasa Inggris yang prima, ia fasih menyuarakan secara akademis isu pandemi dan kanker, bidang yang ditekuninya. Ia mengelola pandemic talks melalui ragam platform media sosial sehingga awam pun bisa paham.

Ia kerap menjadi satu-satunya perempuan pembicara paling muda dalam forum ”bapak-bapak” yang ahli dalam isu Covid-19 ini. Bersama sejumlah perempuan seusianya yang menekui bidang sains, ia menjadi aset penting bagi masa depan bio-medical scientist untuk menyongsong bonus demografi dalam 10 tahun mendatang.

Dalam konteks bonus demografi, sosok Mutiara benar-benar menjadi mutiara untuk peluang demografi di negeri ini. Ia berani menerima tantangan dunia sebagai ahli dalam ilmu yang masih langka ini. Ia mendapat pendidikan terbaik sesuai pilihan dan minatnya melalui jalur beasiswa yang disediakan pemerintah. Ia segera mendapat pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kebutuhan di dalam negeri tatkala Covid-19 menghantam dunia kesehatan.
Selain itu, tersedia juga lapangan pekerjaan yang diciptakan pihak swasta dan universitas yang peduli dan paham perlunya teknologi kedokteran di masa depan. Dan tak kalah penting, secara kultural ia tumbuh dalam keluarga yang tak membatasi pilihan-pilihan berdasarkan prasangka jendernya sebagai perempuan.

Namun, di sudut negeri ini, penelitian Rumah Kitab melaporkan kisah Nisa yang lain yang ditemui di Lombok Utara atau Madura. Kisah serupa juga dikonfirmasi oleh Misiyah, peneliti KAPAL Perempuan di Lombok Timur. Nisa, seperti banyak dialami perempuan muda dari kampungnya, ditinggal merantau oleh ibunya sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Ayahnya, atau lelaki seperti ayah Nisa, memilih kawin lagi karena secara kultural lelaki perlu ada yang mengurus.

Sementara adat budaya tak dapat mencegah praktik kawin lari atau kawin siri. Padahal, orang dewasa paham, begitu anak perempuan yang belum lagi khatam sekolah itu dikawinkan, maka bagi bonus demografi mereka bukan lagi sebagai penyumbang, melainkan penghambat peluang demografi. Daya saing seperti apa yang dapat diandalkan dari SDM yang tak mendapatkan capaian pendidikan optimal?

Jurang sosial, politik, dan ekonomi di antara dua kelompok perempuan muda di berbagai wilayah di negeri ini begitu curam. Dan saya tak percaya ini adalah takdirnya. Dari potensi sumber daya ekonomi, NTB merupakan penghasil padi sekaligus potensi wisata yang menjanjikan.

Ini tak beda dengan Papua, Kalimantan, dan Provinsi Aceh yang menjadi penyumbang ekonomi paling penting bagi pundi-pundi negeri ini. Namun, perbedaan akses dan kerumitan-kerumitan sosial politik yang menyertainya tak dengan segera dapat mengatasi kesenjangan antarperempuan di berbagai wilayah di negeri ini.

Gerakan Perempuan dan Relasi Jender

Problem yang dihadapi Nisa dari NTB adalah hilangnya peluang pendidikan dan ekonomi karena dihadang kemiskinan dan kebudayaan yang mengunci nilai-nilai relasi jender di ruang sosial budaya yang semakin konservatif dan regresif.

Relasi jender dalam masyarakat dibiarkan dan bahkan dikukuhkan menjadi relasi yang semakin jenjang, genjang, dan timpang. Banyak lelaki terus berpegang kepada nilai-nilai kolot demi mempertahankan dominasi atas perempuan.

Jika perlu, dilakukan atas nama nilai-nilai agama yang pantang berubah. Ketika perempuan menerima tantangan untuk masuk ke pasar tenaga kerja yang telah terbuka lebar berkat globalisasi ekonomi, di dalam rumah, lelaki dan budaya patriarki tak kunjung siap berubah.

Akibatnya, perempuan dan anak perempuan harus menanggung beban lebih besar atas perubahan-perubahan sosial ekonomi yang telah menciptakan peluang ekonomi yang besar itu.
Ternyata terbukanya peluang tidak dengan sendirinya melahirkan akselerasi kebudayaan yang dapat menopang perubahan akses dan partisipasi perempuan dalam meraih manfaat seoptimal mungkin dari bonus demografi ini.

Jika menengok sejarah gerakan perempuan di mana pun di dunia, sesungguhnya perubahan-perubahan besar ke arah kehidupan yang lebih adil dan demokratis kerap dipicu oleh perubahan relasi jender di ruang publik.
Perubahan itu biasanya digagas perempuan dengan menantang hambatan yang mereka hadapi. Kartini, misalnya, ia menantang kaum feodal patriark sekaligus kebijakan kolonial dengan menuntut agar anak perempuan mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya.

Sejarah Hari Perempuan Internasional atau IWD sendiri tak lepas dari keberanian perempuan menantang praktik-praktik penindasan perempuan di ruang publik. Mereka menuntut persamaan hak pekerja, upah, dan hak mendapatkan wakil mereka di parlemen, tempat nasib kaum pekerja, termasuk mereka, diperbincangkan.
Tentu saja manfaat dari keberanian mereka tak dinikmati sendiri. Anak-anak milenial yang lahir dari ibu yang merdeka cenderung menjadi lebih mandiri dan tak takut tantangan.

Di era kekinian, misalnya, kita menyaksikan keberanian Malala menantang kaum pemuja kekuasaan atas nama Tuhan. Atau keberanian Greta Thunberg yang menuntut tanggung jawab dan kesadaran para pebisnis untuk menghentikan pemanasan global lewat usaha-usaha sadar lingkungan. Begitu juga dengan Amanda Gorman, pegiat seni, yang dengan puisinya mengajak rakyat Amerika kembali kepada esensi demokrasi: Amerika untuk semua.
Namun, dalam waktu yang sama, sejarah menyaksikan arus balik bagi keberanian perempuan melawan kebekuan dan kebuntuan itu. Kebudayaan patriarki secara tekun dan mengendap-endap menciptakan gerak yang sebaliknya.
Ketika para patriark gugup dan gagap menyaksikan globalisasi yang memberi peluang dan kemerdekaan kepada perempuan untuk maju, mereka meminjam kekuatan agama untuk menghentikannya melalui kontrol atas tubuh dan eksistensi perempuan. Padahal, bagi banyak perempuan, penggunaan mantra agama dalam mengukuhkan dominasi konservativisme, cukup ampuh melumpuhkan kesadaran kritis mereka.

Sebagai titik pemberhentian sementara dalam memanfaatkan peluang demografi di negeri ini, Hari Perempuan Internasional semestinya menjadi momentum penting untuk membaca ulang dan menjawab persoalan yang dihadapi perempuan di masa depan. Kita harus berani menerima tantangan mereka untuk berubah demi sejarah peradaban yang lebih pantas untuk diingat dan dirayakan!

Naskah yang sama telah diterbitkan dalam Harian Kompas, 8 Maret 2021, hal 6.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *