Posts

Choose to Challenge! Berani Menantang! Karena Bekerja adalah HAK!

Oleh: Lies Marcoes

Choose to Challenge ! Berani Menantang!

Karena Bekerja adalah HAK !

Untuk perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini (2021), Rumah Kitab memilih tema “Merayakan Keragaman Kerja Perempuan”. Sesuai dengan tema Internasional Women’s Daya (IWD)Choose to Challenge, Rumah Kitab menggarisbawahi  tekanan pada pentingnya untuk “Berani “Menantang”/ “Choose to Challenge”  sebagai pilihan aksi kami. Hal yang hendak ditantang adalah apapun yang menyebabkan perempuan kehilangan hak-hak mereka untuk bekerja.

“Beranti Menantang”/ “Choose to Challenge” dalam pandangan kami adalah segala sesuatu yang menghalangi perempuan bekerja  yang disebabkan oleh prasangka gender, praktik diskriminasi yang berlindung di balik  budaya, tradisi, pandangan agama, atau bahkan infrastruktur yang bias terhadap perempuan. Semua itu secara berkelindan  tekah atau dapat menghalangi hak perempuan untuk bekerja. Dan itulah yang seharusnya ditantang.

Isu perempuan bekerja punya kaitan historis dengan IWD. Di peralihan abad ke 20, setelah  revolusi industri, terjadi perubahan dahsyat dalam  hubungan-hubungan gender di tingkat keluarga akibat munculnya industrialisasi. Lahirnya  mesin-mesin dan terbukanya peluang bekerja bagi perempuan di runag publik ternyata tak secara otomatis menyejahterakannya. Ini disebabkan oleh bias gender yang melahirkan praktik-praktik diskriminasi berbasis prasangka terhadap perempuan. Bagi masyarakat luas pada awal abad ke 20 itu, ditemukannya mesin-mesin industri  telah mengubah hubungan-hubungan  gender dalam keluarga yang sekaligus memunculkan beban ganda kepada perempuan.

Pada tahun 1909, sejumlah perempuan di Inggris yang diinisiasi Partai Buruh mulai menyadari hal itu; perempuan bekerja lebih panjang karena harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebagai bagian dari peran tradisional mereka yang mereka terima sebagai ajaran Gereja. Kaum perempuan bekerja namun dengan aumsi sebagai pencari nafkah tambahan sebagai pencari nafkah utamanya adalah lelaki Perempuan rentan mengalami perumahan ketika produksi pabrik menurun, rentan kekerasan seksual, tak mendapat perlindungan kerja yang sesuai dengan peran reproduksi mereka, tanpa ruang istirahat yang memadai.  Para perempuan pekerja ini kemudian memelopori menggalang hak perempuan bekerja untuk aman dalam menjalankan perannya.

Sebuah demonstrasi besar di Eropa muncul dipicu oleh peristiwa kebakaran pabrik di London yang telah menelan 146 perempuan. Mereka terperangkap di dalam pabkrik akibat sistem pengawasan pekerja yang buruk yang membatasi akses mereka ke luar pabrik.

Dimotori oleh para pekerja sendiri dan oleh gagasan-gagasan pemikiran feminis yang lahir pada awal abad itu, gerakan buruh mendapatkan “suplai pengetahuan, analisis kritis tentang penindasan berbasis prasangka gender sekaligus cara aksinya” yang kemudian membentuk teori dan sekaligus prakis  feminis. Kampanye -kampanye  tentang hak-hak buruh ini terus digulirkan di antara antara kaum pekerja di dua benua Eropa dan Amerika. Tahun 1910 aksi kaum buruh yang dimulai  pada 8 Maret itu dan berlanjut pada hari-hari berikutnya  kemudian ditandai sebagai “Hari Perempuan Internasional”. Namun  secara resmi HPI/ IWD baru diresmikan PBB  lebih dari setengah abad kemudian, pada 8 Maret 1975!.

Dengan melihat sejarahnya,  kita tahu bahwa yang dperjuangkan oleh pada aktivis perempuan pendahulu adalah soal Hak Perempua Bekerja. Pengalaman perempuan di Eropa ini menginspirasai kaum perempuan terpelajar di negara-negara jajahan yang memiliki kontak melalui buku-buku bacaan dan majalah. Namun di negara jajahan seperti India, Indonesia, sejumlah negara di Afrika, serta negara-negara berpendudk Muslim seperti di Mesir,  probem yang dihadapi kaum perempuan itu dirasakan lebih kompleks lagi. Mereka menghadapi budaya dan agama yang lebih kokoh menghalangi kebebasan kaum perempuan. Belum lagi persoalan yang dihadapi sebagai negara jajahan yang memiliki agenda-agenda besar untuk kemerdekaan. Dua kepentingan itu- kebebasan perempuan dari penindasan budaya/ pandangan agam dan tradisi, dan  kebebasan sebagai bangsa, harus dijalin dan dianyam oleh perempuan sebagai agenda ganda perjuangan mereka.

Dalam konteks kekinian, isu itu menjadi semakin relevan dan penting mengingat tantangan yang dihadapi. Tema Choose to Challange dalam IWD tahun ini sangatlah penting mengingat ragam tantangan yang menghalangi perempuan bekerja.

Secara teori, terutama dari teori-teori besar pembangunan, terdapat sebuah asumsi yang  patut diuji.  Teorinya adalah, semakin maju suatu masyarakat, dan semakin baik pendidikan suatu negara, maka dengan sendirinya akan semakin baik keadaan perempuan sebagai  konsekwensi dari akselerasi pendidikan mereka. Akselerasi pendidikan seharusnya terhubung  dengan capaian kesejahteranan mereka. Namun bagi perempuan  hal itu tak senantiasa berkorelasi. Keterbukaan akses pekerjaan kepada perempuan tanpa pendidikan yang memadai  menempatkan mereka menjadi tenaga kerja murah dalam industri-industri masal, atau  menjadi tenaga kerja migran. Namun karena mereka tak mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang hak-haknya sebagai manusia yang seharusnya disediakan oleh negara, mereka kemudian mengalami dehumanisasi. Contoh lain adalah ketika terjadi perubahan  alih  pungsi  dan kepemilikan lahan dari pertanian tradisional ke industri pertanian seperti perkebunan sawit atau tambang, warga di mana terjadinya perubahan itu, secara stuktural mengalami proses pemiskinan.

Capaian pendidikan dan permintaan pasar memberi peluang kepada perempuan untuk bekerja. Namun relasi gender d tingkat keluarga seringkali stagnan, tidak berubah. Hal ini telah memunculkan beban kerja berlipat ganda kepada perempuan. Dan karena pekerjaan perempuan tak selalu dapat dilaju atau dikerjakan secara rangkap, pekerjaan rumah tangga itu kemudian disubstitusikan kepada anak perempuan mereka.

Masalahnya, alih-alih mencari solusi yang logis atas perbahan-perubahan itu, pilihan gampang yang ditempuh adalah menarik mundur perempuan untuk kembali ke peran tradisional mereka. Penarikan mereka itu tak dilandasi oleh perubahan sosial dan di perubahan ruang publik yang telah berubah. Ketika ruang publik tempat perempuan bekerja dianggap tidak aman, mereka tidak diberi pilihan untuk mendapatkan ruang aman mereka yang seharusnya disediakan korporasi dan negara, melainkan ditarik kembali ke peran tradisional yang telah didefinisikan sebelumnya oleh pandangan keagaman dan budaya yang tak responsif terhadap perubahan zaman itu.

Inilah bacaan kami atas  tantangan itu. Untuk itu sangatlah penting untuk kembali ke kredo awal: bekerja adalah hak setiap orang, lelaki maupun perempuan. Norma-norma gender yang diskriminatif, layanan infrastruktur yang bisa gender  yang tidak responif kepada kebutuhan perempuan, serta  menguatnya pandangan keagamaan yang konservatif yang menyebabkan perempuan rentan kehilangan hak haknya untuk bekerja di luar rumah harus dilawan!. Dan itulah tantangan yang harus kita jawab. Sebab, bekerja adalah HAK, tak terkecuali bagi kaum perempuan !

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Penulis merupakan Direktur Rumah KitaB, dan artikel ini merupakan artikel serial International Women’s Day yang dipublikasikan oleh Rumah KitaB.

Menyoal Normalisasi Jilbab bagi Balita & Justifikasi Iklan Jilbab New Normal= Anjuran Bercadar Sejak Balita?

Oleh: Fadilla Putri

Sebuah iklan nyelonong ke timeline Instagram saya. Ini sponsored post dari sebuah akun berjualan jilbab dengan judul jilbab “new normal”. Jelas iklan itu telah memanfaatkan momentum Covid-19 untuk berjualan dengan pilihan diksi “new normal”. Dan itu mungkin dianggap biasa saja, namanya juga iklan. Namun, setelah dipelajari, saya melihat ini tak sekadar iklan jilbab.

New normal itu dikaitkan dengan penggunaan cadar bagi anak-anak. Artinya, dalam iklan itu tersirat sebuah gagasan yang melanggar hak-hak anak. Tulisan ini mengupas beberapa aspek dari iklan itu yang menjelaskan letak pelanggaran hak anak yang berangkat dari ideologi yang menganggap perempuan, bahkan sejak masih anak-anak, telah diberi stigma negatif terkait dengan tubuh (fisik) dan ketubuhannya (pandangan sosial tentang perempuan).

Sebetulnya, iklan itu pada intinya jualan jibab. Namun lebih dari jilbab, ternyata iklan itu menawarkan kelengkapannya berupa baju gamis dan cadar bagi balita perempuan! Dan itulah “new normal” menurut iklan itu. Akun itu mengklaim sebagai penjual baby hijab (hijab bayi). Di post itu, tampak anak perempuan kira-kira usia tiga tahun yang sedang mejeng sebagai model balita berjilbab dan bercadar. Ia mengenakan gamis ungu muda dengan kerudung menutup dada dan cadar dengan warna senada.

Caption post tersebut berbunyi: “Anak Anda susah mengenakan masker? Salah anaknya apa salah maskernya? Jilbab New Normal ini dilengkapi dengan masker cadar yang teruji nyaman dan aman...”

Dalam dunia digital, memasang sebuah iklan di media sosial bisa sangat targeted. Dalam anggapan penjual jilbab new normal bagi balita ini, saya adalah salah satu target audiens yang pas: seorang ibu muda, punya balita.

Hal yang tidak diketahuinya, pertama, anak saya laki-laki, dan kedua, saya adalah aktivis pemenuhan hak-hak anak agar terbebas dari apapun yang mengancam hak-hak mereka sebagai anak untuk berkreasi tanpa stigma, bermain dan beraktivitas tanpa dibebani ideologi apapun yang dianut orang dewasa yang dapat mengakibatkan mereka kehilangan hak-haknya sebagai anak. Karennya bukannya tertarik, saya justru merengut dan bersungut melihat post dengan caption tersebut.

Tak urung saya jadi penasaran atas iklan itu. Seperti dapat diduga, SELURUH anak perempuan yang menjadi modelnya memakai cadar, bukan hanya jilbab. Beberapa anak yang tidak memakai cadar, matanya diburamkan persis seperti pelaku kriminal di televisi. Beberapa post berisikan ilustrasi kartun anak perempuan. Namun lagi-lagi, sosok anak perempuan tersebut tidak diberi wajah.

Saya melihat sejumlah persoalan di sini. Saya seorang Muslimah, kebetulan saya juga pengguna jilbab, ibu dan kakak ipar juga memakai jilbab. Namun jilbab itu kami kenakan sebagai pilihan sadar orang dewasa, jilbab digunakan setelah menimbang banyak hal termasuk hak tubuh saya untuk aman dan nyaman dalam mengenakannya.

Saya tak pernah dipaksa oleh orangtua atau lingkungan saya untuk mengenakannya. Sebab dalam keyakinan saya ini terkait dengan pilihan-pilihan. Namun iklan itu jelas berisi unsur pemaksaan. Anak dinormalisasikan untuk menggunakan jilbab plus cadar!

Kedua, iklan itu telah memanfaatkan peluang dengan cara yang tidak fair. Mereka memanfaatkan situasi yang ditimbulkan oleh wabah Covid-19 untuk mengeruk keuntungan. Kampanye publik untuk menggunakan masker yang diserukan Badan Kesehatan Dunia atau pemerintah dimanfaatkan oleh mereka untuk jualan dengan dalih dakwah tentang kewajiban memakai cadar.

Argumentasi-argumentasi semacam “agama Islam telah lebih dulu menganjurkan menutup wajah” untuk menandingi anjuran memakai masker kerap terdengar. Padahal jika mau jujur, cadar bukanlah masker dan tak pernah diperlakukan atau diuji sebagai alat untuk menghindari penularan dan ketularan virus yang menyebar melalui droplet.

Artinya, kedua argumen tersebut sama sekali tidak berbanding lurus. Anjuran memakai masker didasarkan pada data dan fakta yang berlandaskan ilmu pengetahuan tentang efektivitasnya dalam mencegah tertular maupun menularkan virus Covid-19. Masker adalah upaya universal yang di dalamnya tak termuat isu suku, ras, agama, dan gender, melainkan semata-mata untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Sementara dalam jilbab yang dilengkapi  cadar dan diiklankan sebagai jilbab “new normal” berangkat dari ideologi tentang aurat perempuan.

Iklan itu mengingatkan saya pada penelitian Rumah KitaB tentang pandangan ideologi Islamisme yang berdampak pada kekerasan terhadap perempuan (2020). Penelitian ini menemukan bahwa perempuan menutup seluruh tubuhnya itu termasuk jilbab dan cadar berangkat dari dua konsep tentang: fitnah dan fitrah.

Dalam konsep itu, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah–sumber kekacauan, goncangan, dan godaan bagi laki-laki. Oleh karena itu, perempuan wajib menutup auratnya. Dan karena perempuan adalah sumber fitnah, maka secara fitrah ia harus dikontrol dan diawasi oleh laki-laki di sepanjang hidupnya, baik oleh ayahnya maupun suaminya ketika ia menikah kelak.

Akun Instagram yang berjualan jilbab bercadar bagi balita itu persis menggambarkan gagasan tentang perempuan sebagai sumber fitnah. Dan lebih dari itu, gagasannya ditanamkan sejak masa balita ketika kewajiban syar’i dalam fikih pun belum berlaku baginya. Namun demi beriklan, balita- balita itu telah pula diberi label sebagai sumber fitnah. Sejak bayi mereka dinormalisasikan sebagai sumber kekacauan sosial atau sumber finah.

Sebagaimana dalam iklan, penelitian itu mencatat bahwa normalisasi pemakaian jilbab  yang dilengkapi cadar ditanamkan sejak bayi dan menjadi lebih ketat ketika mereka masuk TK. Saat anak perempuan menginjak bangku SD, seruan untuk semakin menutup tubuhnya seperti memakai cadar semakin kuat. Penelitian kami di berbagai wilayah menemukan anak balita sejak usia tiga tahun telah dinormalisasikan menggunakan jilbab, baik oleh aturan sekolah, pemaksaan orangtua, maupun komunitasnya.

Penelitian ini mengungkapkan, perempuan yang tidak menutup auratnya sesuai syariat mendapatkan stigma sebagai orang yang tak mendapatkan hidayah atau mendapatkan dosa jariyah yag terus menerus karena mengizinkan laki-laki berzina mata padanya, termasuk melalui gambar fisiknya di dunia maya. Dalam  konsep ini, di manapun perempuan berada (baik nyata maupun maya), tidak dibenarkan menampakkan auratnya, tak terkecuali anak-anak perempuan balita sebagaimana saya temukan di akun Instagram tersebut.

Usia balita adalah masa kritis dalam tahapan perkembangan anak. Saya mengalaminya sendiri. Setiap hari saya selalu bernegosiasi dengan anak saya tentang pakaian mana yang hendak ia kenakan. Negosiasi dilakukan karena kerap dia menolak memakai baju pilihan saya.

Sebagai orang dewasa, saya berusaha memahami pilihan-pilihannya sepanjang tidak membatasi hak-haknya untuk bebas bermain. Saya terima pilihanya karena dia sedang belajar tentang otonomi pada dirinya maupun tubuhnya. Sedapat mungkin saya mencoba mengakomodasi pilihan-pilihan yang ia buat sendiri, termasuk pakaian apa yang ingin ia kenakan atau bermain apa di hari itu. Hal yang saya pegang sebagai prinsip adalah, ia memahami bahwa ia seorang manusia yang merdeka.

Dari sana saya belajar memahami bahwa ia dapat membuat pilihan yang ia buat secara sadar yang menurutnya terbaik untuk dirinya, termasuk menerima konsekuensinya. Misalnya, tidak menggunakan baju bepergian untuk bermain karena baju bepergian cenderung kurang luwes, atau keharusan memakai piyama sebelum tidur agar tak kedinginan.

Pertanyaan saya sekarang, apakah anak-anak perempuan yang dipakaikan jilbab new normal itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan? Dan apakah pemakain jilbab new normal telah memenuhi hak anak untuk bebas bergerak, bereskpresi, menunjukkan cita rasa; suka, sedih, marah kecewa, dan gembira? Itu adalah hak yang secara universal harus dilindungi dan dipenuhi oleh orang dewasa!

Penulis merupakan Program Manager Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.

David Graeber, Perempuan, dan Kritik atas Konsep Kerja

Dunia antropologi berduka. Dan ini niscaya suatu duka yang amat dalam. David Graeber, seorang profesor antropologi dari London School of Economics wafat dalam usianya yang masih sangat muda, 59 tahun.

David Graeber bukan antropolog biasa bagi banyak orang. Ia perpaduan antara intelektual dan aktivis yang menggebu-gebu. Ia seorang aktivis yang dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap kapitalisme dan birokrasi, serta pandangannya yang “anarkis” soal ketimpangan sosial yang disebabkan oleh sistem hutang dalam bentuk kredit. Silakan angkat telunjuk , siapa di antara kita yang tak (pernah) berhutang dengan sistem kredit? Bahkan para campaigner anti riba, niscaya pernah berurusan dengan soal ini.

Saya mulai tertarik kepada karya -karya antropologisnya karena ia meneliti dan menulis hal-hal yang tidak biasa dalam dunia antropologi konvensional sejauh yang saya baca .

Cara kerjanya buat saya mengingatkan cara kerja feminis, dialektika teori dan praksis.

Dari berbagai sumber, saya menjadi terpesona oleh “double movement”nya (meminjam istilah secara sembarangan dari Fazlur Rahman). Ia melakukan kajian sekaligus mengadvokasikannya dengan cara terjun langsung sebagai aktivis, sebuah cara yang sebetulnya menjadi ciri khas kerja intelektual feminis. Karenanya ia kerap juga dikenal sebagai antropolog yang anarkis dalam arti melakukan kritik-kritik radikal atas ketimpangan – ketimpangan ekonomi yang sangat sadis di dunia modern saat ini sekaligus menyuarakannya dalam demonstrasi jalanan. Ia menulis beberapa buku dan tulisan yang sangat terkenal. Misalnya:Debt: The First 5000 Years (2011), The Utopia of Rules ( 2015) dan Bullshit Jobs: A Theory (2018). Berangkat dari teori dan penelitiannya ia pun tampil sebagai tokoh terkemuda dalam gerakan “Occupy Wall Street”.

Bukunya “Bullshit Jobs: A Theory”, berangkat dari tanggapan yang berlimpah atas eseinya yang ia tulis tahun 2013 tentang kerja “bullshit” yang ia kumpulkan dari para pekerja kerah putih yang mendefinisikan sendiri apa kerja mereka. Dalam esai itu ia mengatakan bahwa sebagain besar masyarakat bekerja dalam pekerjaan yang sebetulnya nggak penting-penting amat alias “gabut” – mendapatkan upah sangat baik tetapi tidak melakukan pekerjaan yang jelas.

Fatimah F Izzati membuat resensi yang sangat komprehensif dalam Indo PROGRESS (11 April 2020) tentang buku Bullshit Jobs ini. Graber, sebagaimana diulas Izzati memulai pembahasannya dengan menampilkan kontradiksi antara tesis dari seorang ekonom terkenal, John Maynard Keynes, di tahun 1930 dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Keynes memprediksi bahwa seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi pada abad ke-21, negara-negara seperti Amerika dan Inggris akan memberlakukan 15 jam kerja perminggu. Kenyataan, demkian David menegaskan, saat ini ( di tahun 2018 -ketika buku ini diluncurkan) justru membuktikan hal yang sebaliknya. Teknologi membuat sebagian besar pekerjaan level manajer malah bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang dibandingkan para buruh.

Menurut Graeber, teknologi (komunikasi) justru telah membuat manusia bekerja lebih banyak daripada sebelumnya. Meski demikian, dan ini ironinya, pekerjaan itu sebetulnya tidak selalu esensial dan tak juga berarti bagi para pekerja itu. Ia memberikan ilustrasi dengan menampilkan sebuah survei di AS tahun 2016 mengenai pekerjaan kantoran. Survei tersebut menyebutkan bahwa hanya sekitar 39 persen pekerjaan yang berkategori tugas utama, lebih dari 10 persen dihabiskan untuk pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat yang hanya membuang-buang waktu; 8 persen untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tidak penting; dan seterusnya. Artinya, pekerja kantoran dalam survei tersebut justru menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak produktif, kebanyakan “kongkow”.

Pekerjaan-pekerjaan semacam itulah yang disebut oleh Graeber, dan diidentifikasi oleh para pekerja sendiri, sebagai bullshit jobs. Hal yang menarik perhatian saya dari teori Graeber ini adalah laki-laki ternyata lebih banyak melakukan bullshit jobs ketimbang perempuan!

Dalam kajian gender, hal yang pertama dan utama melahirkan kajian gender itu adalah karena ketidakadilan dalam memaknai konsep “kerja”. Sejak revolusi industri awal abad 20, muncul pembagian kerja gender yang tak hanya membedakan siapa kerja apa berdasarkan kepantasan yang dikaitkan dengan jenis kelaminnya, tetapi juga siapa kerja apa, dalam posisi dan di mana dikaitkan dengan kepantasaan lokasi/tempat kerja serta status sosial berdasaran gendernya. Sejak itu, secara teori muncul jenis pekerjaan yang dikaitkan dengan karakter lelaki (maskulin) dan perempuan ( feminin) dan itu menjadi lebih kenceng ketika pandangan agama, adat dan kepentingan politik ikut campur dalam menentukan pekerjaan mana yang pantas bagi lelaki dan mana bagi perempuan. Kerja-kerja bullshit itu kemudian banyak dikaitkan dengan pekerjaan yang secara normatif dianggap sepantasnya dilakukan oleh para lelaki.

Dalam bullshit job sebagaimana diuraikan Graeber, sebenarnya banyak sekali pekerjaan para boss yang dikerjakan dengan rapi oleh para asistennya. Kebanyak dilakukan oleh pekerja-pekerja perempuan dengan status sebagai asisten. Misalnya sekretaris, office manager, hingga istri dan asisten rumah tangga sebagai penyangganya. Andai saja para perempuan ini mogok kerja, niscara para lelaki manajer itu hanya bisa lempar-lempar bola golfnya ke tembok, sebab untuk main golf pun ia butuh caddy yang umumnya perempuan.

Melalui studi gender, orang mengenali bahwa ternyata dalam komunitas, apalagi komunitas di dunia Timur, perempuan sebetulnya melakukan pekerjaan berganda-ganda. Mereka kerja produktif (cari nafkah), kerja reproduktif (pemeliharaan dan perawatan keluarga) serta kerja komunitas (Caroline Moser). Masalahnya pekerjaan-pekerjaan itu – kecuali kerja produksi, kerap tak dikenali sebagai pekerjaan utama bahkan tak dianggap sebagai pekerjaan. Mengurus suami, anak dan rumah tangga yang nyaris 18 jam perhari, tak diakui oleh statistik sebagai pekerjaan.

Ketika covid-19 menyerang seluruh sendi kehidupan masyarakat dan kantor dipaksa stop beroperasi, semakin tampak wajah bullshit job itu. Dunia tetap bergerak tanpa kehadiran mereka, tanpa rapat yang tergopoh-gopoh, tanpa teriakan-teriakan stess di lantai bursa. Namun para perempuan, ibu-ibu rumah tangga harus bekerja nyata agar dunia tetap bergerak; anak-anak tetap bersekolah di rumahnya, dapur dan meja makan menjadi restoran, minimal warteg, dan kamar mandi tetap kering dan harum seperti di kantor. Dan itulah kerja yang sesungguhnya, bukan kerja bullshit!

Selamat jalan David, kamu pergi terlalu cepat!

Penulis merupakan Direktur Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.