Posts

Menolak Ceramah Ustadz Khalid Basalamah yang Bilang Perempuan Hanya Berurusan dengan Rumah

Oleh: Nurdiani Latifah

 

Kata Ustadz Khalid Basalamah, perempuan urusannya hanya dengan rumah belaka. Padahal, sejatinya tidak.

Ceramah Ustad Khalid Basalamah tentang 70 kekeliruan wanita masih terus ditonton oleh para pengikutnya. Salah satunya tentang perempuan yang melalaikan urusan rumah. Dalam ceramah tersebut, mendeskripsikan semua urusan rumah adalah urusan perempuan. Mulai dari disimpannya hal-hal kecil di rumah harus diingat dan diurusi oleh perempuan. Sedangkan laki-laki tidak dibebankan oleh urusan rumah.

Bahkan, dalam ceramah tersebut perempuan beribadah tergantung izin suami. Hal ini mirip dengan ajaran Brahmanisme. Serta menandakan jika urusan perempuan adalah urusan rumah. Dan urusannya dibawah urusan laki-laki . Dengan kata lain, Laki-laki atau suami diberikan penghormatan yang tinggi dalam rumah tangga, sehingga perempuan atau istri otorisasinya dibawah laki-laki atau suami.

Bisa dibayangkan, perempuan harus memiliki mengingat yang kuat tentunya untuk mengingat sejumlah perkara yang ada di rumah. Katanya, urusan rumah adalah urusan yang sudah diamanahkan suami, sehingga semuanya harus diingat jelas. Celaka jika seorang istri mengatakan “lupa lagi” atas perkata penyimpanan obeng rumah atau lem aibon.

Selain itu, dalam ceramah tersebut digeneralisir jika urusan rumah yang diurusi istri menjadi urusan perempuan secara perempuan. Dari sana, saya sebagai perempuan yang masih single melihat ingatakan suami-istri sebagai hal yang menakutkan. Apalagi, saya sebagai seseorang yang sering lupa banyak hal. Mengirimkan laporan bulanan kantor saja, seringkali saya lupa kirim padahal sudah selesaikan. Apalagi, saya harus mengingatkan banyak hal yang ada di dalam rumah. Sungguh, otak saya akan bekerja terlalu keras untuk berusaha mengingat barang-barang yang ada di rumah.

Apa yang diungkap dalam ceramah Ustad Khalid Basalamah mengingatkan saya pada Thomas Aquinas, seorang teolog dan filsuf terbesar Gereja Katolik. Aquinas menjelaskan tiga hal alasan perempuan diciptakan dari laki-laki. Hal pertama, agar laki-laki diberikan kehormatan karena Tuhan adalah prinsip utama universum. Kedua menurut Aquinas mungkin laki-laki akan lebih mencintai perempuan dan lebih melekat padanya. Sehingga, dikatakan perempuan adalah bayangan dari laki-laki. Hal ketiga, Aquinas menegaskan jika dalam kehidupan rumah tangga, perempuan memang ditugaskan untuk tugas khusus, yaitu tugas domestik.

Dari penjelaskan Aquinas ini kita semua bisa menangkap jika perempuan bukan diciptakan sebagai produksi pertama. Melainkan penciptaannya tergantung laki-laki. Dari dua penjelasan, baik ceramah Ustad Khalid Basalamah dan Aquinas, nampaknya kita perlu bercermin pada sejumlah budaya di zaman Jahiliyah yang menyebutkan jika perempuan bukan makhluk sesempurna laki-laki.

Seperti pada surat An-Nahl ayat 58-59 dijelaskan jika kabar seorang anak perempuan adalah kabar hitam yang buruk. Serta di tahun 1612 di Inggris, para perempuan dijatuhi hukuman yang sangat berat jika melanggar perintah suami. Dari serangkaian penjelasan tersebut kita perlu kembali mengingat sebuah buku yang tulis oleh MacKinnon dalam buku yang berjudul Feminism, Marxism, Method and the State : An Agenda for Theory, menjelaskan heterosesksualitas merupakan wilayah utama untuk menunjukan kekuasaan laki-laki atas perempuan dan kekuasaan seperti ini dasar dari ketimpangan gender.

Dari buku yang ditulis pada 1982 itu, para feminis menaruh perhatian pada seksualitas terdapat ketidakadilan gender, di mana ada hierarki laki-laki mengatasi perempuan. Terdapat kontruksi sosial dari kekuasaan laki-laki yang didefinisikan oleh laki-laki dan dipaksakan kepada perempuan. Dan pemaksaannya diformulasikan secara gender. Perspektif tersebut, mensubordinasikan peempuan melalui seksualitas.

Di saat yang bersamaan, filsuf perempuan bernama Kate Millet dalam sebuah buku Sexual Politic mengatakan seks adalah politik yang didasarkan pada paradigm kekuasaan yang mendapat legitimasi dari ideology patriarkal. Ideologi patriarkal ini melebih-lebihkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Serta memastikan laki-laki akan selalu dominan dan perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah. Namun, apakah ideologi ini dapat diubah?

Ideologi patriarkal ini sangat kuat dan sulit dilawan. Adapun ketika perempuan melawan, para perempuan akan berurusan dengan pandangan dunia yang menentangnya. Lalu apa yang harus dilakukan? Diakui atau tidak, saat ini ada banyak elemen yang berusaha menciptakan masyarakat baru di mana perempuan dan laki-laki menjadi setara dalam setiap tingkat eksistensinya.

Misalkan dalam hubungan suami-istri bisa menerapkan ajaran yang bersifat qath’i dan dzann. Qath’i merupakan ajaran yang bersifat universal dan fundamental, seperti keadilan, musyawarah dalam hal urusan bersama, dan lainnya. Sedangkan dzann adalah ajaran yang tidak self-evendeny dan terikat oleh ruang dan waktu serta situasi dan kondisi. Sehingga, prinsip kesamaan derajat antar jenis kelamin dan demokrasi keluarga merupakan solusi yang tidak dapat ditawar lagi.

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Islami.co.

Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja: Melintasi Batas-Batas Keterbatasan

Oleh: Nur Hayati Aida

Apakah masih relevan membicaran isu tentang perempuan bekerja di era digital seperti ini?

Pertanyaan pemantik itu dilontarkan oleh Inaya Wahid dalam acara Webinar #ChooseToChallange: Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja yang diselenggarakan Rumah KitaB pada tanggal 24 Maret 2021. Acara ini hadiri oleh Allaster Cox (Charge d’Affaires of the Australian Embassy Jakarta), Sinta Nuriyah Wahid, Bintang Puspayoga (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Lies Marcoes (Direktur Eksekutif Rumah KitaB), Nani Zulminarni (Regional Director of Ashoka Southeast Asia), Rinawati Prihatiningsih (Entrepreneur, IWAPI & Kadin Member Committee), Savic Ali (Founder Islami.co), Zukhrufah DA (Writer, Commcap), dan Mutiara Anissa (Biomedical Scientist, Inisiator Pandemic Talks).

Tentu bukan tanpa alasan mengapa Inaya Wahid—yang berperan sebagai moderator— melontarkan pertanyaan itu. Sebab, sejak dalam rangkaian seremonial webinar, sudah muncul banyak data mengapa harus mendukung perempuan bekerja.

Pembukaan yang disampaikan oleh Kedutaan Australia—yang diwakili oleh Allaster Cox— menyampaikan bahwa peran perempuan dalam dunia ekonomi, apalagi di masa pandemi sangat siginifikan. Bagi Cox, melibatkan perempuan dalam dunia kerja dapat menolong Negara keluar dari krisis ekonomi.

Sayangnya, kata Sinta Nuriyah Wahid, perempuan bekerja menghadapi tantangan serius, salah satunya adalah pandangan dan pemahaman agama yang dangkal—yang menganggap perempuan hanya cocok dan pantas di ruang domestik. Tidak sedikit, kata Sinta Nuriyah Wahid, perempuan yang memilih mundur dari dunia kerja setelah mengikuti pengajian dari kelompok ultrakonservatif.

Hal senada juga disampaikan oleh Menteri PPPA, Bintang Puspoyoga, yang menyesalkan anggapan perempuan baik adalah perempuan yang berada di dalam rumah. Dan menganggap dunia luar (kerja) bukanlah tempat perempuan. Anggapan ini, menurut Bintang Puspoyoga, mengecilkan peran perempuan dalam dunia ekonomi, dan mengukuhkan area domestik sebagai ruang perempuan. Padahal dengan memberikan peluang yang sama dalam dunia kerja kepada perempuan, akan muncul kreativitas dan inisiatif yang tak kalah keren.

Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB, menyebut bahwa Webinar ini muncul tidak dalam ruang kosong. Sebab, dalam studi yang dilakukan Rumah KitaB, narasi agama merumahkan dan melemahkan perempuan bekerja kian masif, sehingga perlu adanya narasi tanding yang lebih ramah terhadap perempuan. Oleh karenanya, Rumah KitaB mengusung kampanye #MuslimahBekerja.

Dari rangkaian sambutan dalam resemonial itu, pertanyaan Inaya Wahid menemukan relevansinya. Sebab, meskipun dalam sejarahnya perempuan bekerja di Indonesia adalah sesuatu yang biasa, tetapi sejarah bukanlah benda statis. Ia merupakan ruang terbuka yang bisa diisi dengan berbagai narasi. Kuat dan lemahnya sejarah perempuan bekerja di masa depan bergantung bagaimana peran dan narasi perempuan didengungkan.

Dengan keadaan seperti ini, Nani Zulminarni dengan mengutip laporan Global Gender Gap pada 2020 menyebut bahwa dibutuhkan setidaknya 257 tahun untuk mencapai kesetaraan partisipasi dan kesempatan ekonomi perempuan dengan laki-laki. Sebab, perempuan usia 25-34 tahun, 25% lebih berpeluang untuk hidup dalam kemiskinan ekstrem, dan Kesenjangan gender partisipasi dalam ketenaga kerjaan.

Savic Ali menyoroti menguatnya narasi tentang tempat terbaik perempuan berada di rumah tidak tidak bisa dilepaskan dari banyak kelompok ultrakonservatif di dunia maya. Menurutnya, meski kelompok ultrakonservatif ini tidak mempromosikan kekerasan, tetapi memiliki pandangan yang lebih puritan tentang perempuan dan secara aktif menyuarakan gagasannya via portal media atau website, medis sosial, dan youtube. Oleh karenya, menurut Savic Ali, perlu secara aktif untuk mengkampanyekan kembali ruang aman di berbagai platform media digital.
Menyambung apa yang telah dipaparkan oleh Savic Ali, Zukhrufah DA mengatakan, setidaknya pernah ada tiga kampanye global yang digagas oleh dan dari perempuan yang terbukti berhasil, dan dilakukan via online, di antaranya adalah #ChallengeAccepted, #WomenSupportingWomen, #HeForShe, #AutoCompleteTruth, dan #WomenShould. Sehingga kampanye #MuslimahBekerja bisa dimaksimalkan melalui platform media.

Sementara itu, Mutiara Anissa, seorang Biomedical Scientist, menyebut bahwa support system menjadi pondasi penting dalam mendukung perempuan bekerja. Potensi perempuan, Mutiara Anissa, tidak kalah dari laki-laki apabila diberi kesempatan. Dengan menunjukkan kepemimpinan perempuan dalam mengatasi dan mengendalikan pandemi, Mutiara Anissa membalikkan asumsi negatif terhadap kemampuan perempuan.

Kegiatan webinar yang dilakukan secara daring ini telah menjaring 259 pendaftar dan diikuti oleh 173 peserta dari beragam latar belakang.

Tulisan pernah dipublikasikan di sini.

David Graeber, Perempuan, dan Kritik atas Konsep Kerja

Dunia antropologi berduka. Dan ini niscaya suatu duka yang amat dalam. David Graeber, seorang profesor antropologi dari London School of Economics wafat dalam usianya yang masih sangat muda, 59 tahun.

David Graeber bukan antropolog biasa bagi banyak orang. Ia perpaduan antara intelektual dan aktivis yang menggebu-gebu. Ia seorang aktivis yang dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap kapitalisme dan birokrasi, serta pandangannya yang “anarkis” soal ketimpangan sosial yang disebabkan oleh sistem hutang dalam bentuk kredit. Silakan angkat telunjuk , siapa di antara kita yang tak (pernah) berhutang dengan sistem kredit? Bahkan para campaigner anti riba, niscaya pernah berurusan dengan soal ini.

Saya mulai tertarik kepada karya -karya antropologisnya karena ia meneliti dan menulis hal-hal yang tidak biasa dalam dunia antropologi konvensional sejauh yang saya baca .

Cara kerjanya buat saya mengingatkan cara kerja feminis, dialektika teori dan praksis.

Dari berbagai sumber, saya menjadi terpesona oleh “double movement”nya (meminjam istilah secara sembarangan dari Fazlur Rahman). Ia melakukan kajian sekaligus mengadvokasikannya dengan cara terjun langsung sebagai aktivis, sebuah cara yang sebetulnya menjadi ciri khas kerja intelektual feminis. Karenanya ia kerap juga dikenal sebagai antropolog yang anarkis dalam arti melakukan kritik-kritik radikal atas ketimpangan – ketimpangan ekonomi yang sangat sadis di dunia modern saat ini sekaligus menyuarakannya dalam demonstrasi jalanan. Ia menulis beberapa buku dan tulisan yang sangat terkenal. Misalnya:Debt: The First 5000 Years (2011), The Utopia of Rules ( 2015) dan Bullshit Jobs: A Theory (2018). Berangkat dari teori dan penelitiannya ia pun tampil sebagai tokoh terkemuda dalam gerakan “Occupy Wall Street”.

Bukunya “Bullshit Jobs: A Theory”, berangkat dari tanggapan yang berlimpah atas eseinya yang ia tulis tahun 2013 tentang kerja “bullshit” yang ia kumpulkan dari para pekerja kerah putih yang mendefinisikan sendiri apa kerja mereka. Dalam esai itu ia mengatakan bahwa sebagain besar masyarakat bekerja dalam pekerjaan yang sebetulnya nggak penting-penting amat alias “gabut” – mendapatkan upah sangat baik tetapi tidak melakukan pekerjaan yang jelas.

Fatimah F Izzati membuat resensi yang sangat komprehensif dalam Indo PROGRESS (11 April 2020) tentang buku Bullshit Jobs ini. Graber, sebagaimana diulas Izzati memulai pembahasannya dengan menampilkan kontradiksi antara tesis dari seorang ekonom terkenal, John Maynard Keynes, di tahun 1930 dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Keynes memprediksi bahwa seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi pada abad ke-21, negara-negara seperti Amerika dan Inggris akan memberlakukan 15 jam kerja perminggu. Kenyataan, demkian David menegaskan, saat ini ( di tahun 2018 -ketika buku ini diluncurkan) justru membuktikan hal yang sebaliknya. Teknologi membuat sebagian besar pekerjaan level manajer malah bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang dibandingkan para buruh.

Menurut Graeber, teknologi (komunikasi) justru telah membuat manusia bekerja lebih banyak daripada sebelumnya. Meski demikian, dan ini ironinya, pekerjaan itu sebetulnya tidak selalu esensial dan tak juga berarti bagi para pekerja itu. Ia memberikan ilustrasi dengan menampilkan sebuah survei di AS tahun 2016 mengenai pekerjaan kantoran. Survei tersebut menyebutkan bahwa hanya sekitar 39 persen pekerjaan yang berkategori tugas utama, lebih dari 10 persen dihabiskan untuk pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat yang hanya membuang-buang waktu; 8 persen untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tidak penting; dan seterusnya. Artinya, pekerja kantoran dalam survei tersebut justru menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak produktif, kebanyakan “kongkow”.

Pekerjaan-pekerjaan semacam itulah yang disebut oleh Graeber, dan diidentifikasi oleh para pekerja sendiri, sebagai bullshit jobs. Hal yang menarik perhatian saya dari teori Graeber ini adalah laki-laki ternyata lebih banyak melakukan bullshit jobs ketimbang perempuan!

Dalam kajian gender, hal yang pertama dan utama melahirkan kajian gender itu adalah karena ketidakadilan dalam memaknai konsep “kerja”. Sejak revolusi industri awal abad 20, muncul pembagian kerja gender yang tak hanya membedakan siapa kerja apa berdasarkan kepantasan yang dikaitkan dengan jenis kelaminnya, tetapi juga siapa kerja apa, dalam posisi dan di mana dikaitkan dengan kepantasaan lokasi/tempat kerja serta status sosial berdasaran gendernya. Sejak itu, secara teori muncul jenis pekerjaan yang dikaitkan dengan karakter lelaki (maskulin) dan perempuan ( feminin) dan itu menjadi lebih kenceng ketika pandangan agama, adat dan kepentingan politik ikut campur dalam menentukan pekerjaan mana yang pantas bagi lelaki dan mana bagi perempuan. Kerja-kerja bullshit itu kemudian banyak dikaitkan dengan pekerjaan yang secara normatif dianggap sepantasnya dilakukan oleh para lelaki.

Dalam bullshit job sebagaimana diuraikan Graeber, sebenarnya banyak sekali pekerjaan para boss yang dikerjakan dengan rapi oleh para asistennya. Kebanyak dilakukan oleh pekerja-pekerja perempuan dengan status sebagai asisten. Misalnya sekretaris, office manager, hingga istri dan asisten rumah tangga sebagai penyangganya. Andai saja para perempuan ini mogok kerja, niscara para lelaki manajer itu hanya bisa lempar-lempar bola golfnya ke tembok, sebab untuk main golf pun ia butuh caddy yang umumnya perempuan.

Melalui studi gender, orang mengenali bahwa ternyata dalam komunitas, apalagi komunitas di dunia Timur, perempuan sebetulnya melakukan pekerjaan berganda-ganda. Mereka kerja produktif (cari nafkah), kerja reproduktif (pemeliharaan dan perawatan keluarga) serta kerja komunitas (Caroline Moser). Masalahnya pekerjaan-pekerjaan itu – kecuali kerja produksi, kerap tak dikenali sebagai pekerjaan utama bahkan tak dianggap sebagai pekerjaan. Mengurus suami, anak dan rumah tangga yang nyaris 18 jam perhari, tak diakui oleh statistik sebagai pekerjaan.

Ketika covid-19 menyerang seluruh sendi kehidupan masyarakat dan kantor dipaksa stop beroperasi, semakin tampak wajah bullshit job itu. Dunia tetap bergerak tanpa kehadiran mereka, tanpa rapat yang tergopoh-gopoh, tanpa teriakan-teriakan stess di lantai bursa. Namun para perempuan, ibu-ibu rumah tangga harus bekerja nyata agar dunia tetap bergerak; anak-anak tetap bersekolah di rumahnya, dapur dan meja makan menjadi restoran, minimal warteg, dan kamar mandi tetap kering dan harum seperti di kantor. Dan itulah kerja yang sesungguhnya, bukan kerja bullshit!

Selamat jalan David, kamu pergi terlalu cepat!

Penulis merupakan Direktur Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.