Posts

Dicari: Cara Radikal Atasi Problem Perempuan Saat Pandemi

Oleh: Lies Marcoes

Tujuh bulan sudah kita disetop paksa oleh virus corona. Disetop dari kegiatan beraktivitas di luar rumah bagi sebagian orang; disetop dari pekerjaan mencari nafkah yang mengandalkan mobilitas; disetop dari kegiatan masif proses pembelajaran; disetop dari kegiatan rutin: bangun, sarapan, berangkat kerja, mulai stres karena jadwal ketat sementara jalanan macet (terutama di Jakarta dan kota-kota besar), bertemu kolega, klien, nasabah, teman, bersosialisasi, handai taulan dan seterusnya. Disetop dari melakukan mobilitas fisik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bicara berpikir atau kongkow dari satu isu ke isu lain.

Kini, semuanya berhenti. Secara mendadak pula. Tanpa aba-apa tanpa pelatihan ketrampilan untuk menghadapi perubahan ini. Lalu kehidupan pun bertumpu dan berpusat kepada “rumah” dan “penguasanya” yang secara normatif dinisbahkan kepada perempuan.

Bagi sebagian perempuan yang tadinya sehari-hari di rumah bekerja sebagai ibu rumah tangga, dalam tujuh bulan ini mereka dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan baru yang semula dipercayakan kepada pihak lain: kepada negara atau kelembagaan semi negara, swasta, badan non-negara, komunitas, bahkan pasar. Kini, secara mendadak, mereka, harus mengambil-alih semua peran itu dengan nyaris tanpa persiapan dan tanpa keterampilan. Mereka harus menciptakan kenyamanan di rumah yang tiba-tiba berubah menjadi kantor, sekolah, madrasah, musala, lapangan bermain, restoran/warung, kamar mandi umum, layanan kesehatan dasar dan tempat rekreasi sampai sarana relaksasi.

COVID-19 memaksa kita berubah. Namun perubahan bukanlah sebuah kacamata netral. Selama ini, dengan  menggunakan perspektif ekonomi, dengan segera akan tampak dampaknya, mulai dari tataran ekonomi global sampai ke dompet di dapur pada masing-masing rumah tangga.

Pada kelas sosial tertentu, perubahan ekonomi mungkin tidak terlalu terasa karena lapisan-lapisan lemak dalam cadangan kalori ekonominya cukup tebal. Namun pada kebanyakan orang, ini benar-benar bencana. Saya berani bertaruh pemintaan macam-macam utangan, dari skema kredit lunak dan murah sampai rentenir bertaring hiu, meningkat tajam.

Perubahan paling dahsyat namun jarang sekali terlihat karena alat baca untuk mengamati itu tak tersedia atau buram pekat, adalah pada kehidupan ibu rumah tangga. Dan ini tak hanya pada mereka yang benar-benar terdampak laksana gempa dan tsunami, tetapi juga pada ibu rumah tangga kelas menengah yang secara normatif  dianggap tak telalu terguncang.

Senior saya, yang saat ini menekuni isu lanjut usia (lansia), melalui pesan WhatsApp mengajak saya berpikir: Ini ibu-ibu lansia mau bagaimana? Sudah tujuh bulan mereka tidak bertemu teman, anak-anak dan cucu-cucu, tak beraktivitas kelompok, tak keluar rumah, dan ini akan mempercepat proses kepikunan. Apalagi jika ia masih memiliki suami yang sehari hari laksana balita. Banyak dari kelompok lansia yang tidak menguasai teknologi komunikasi visual, sementara anak-anak mereka sibuk mengurus sekolah cucu-cucu di rumah. Bayangkan perempuan lansia pada keluarga miskin yang hidupnya  menumpang dengan anak atau menantu. Tak mustahil sebagian beban anak menantu perempuannya akan berpindah, minimal mendapat bagian tambahan.

Perempuan setengah baya dari keluarga mapan biasanya sangat sibuk dengan segala aktivitas bergaul dan sosialnya. Selain mengurus rumah tangga yang dalam banyak hal dialihkan ke asistennya, mereka tak memiliki kesibukan lain selain mengurus keluarga kecilnya karena anaknya telah berkeluarga. Selepas itu, mereka bertemu teman dan sahabat melanjutkan hobi dan kesehariannya. Datangnya COVID-19 membuat mereka berhenti bergerak. Padahal bagi mereka, menjadi soliter itu nyaris tak masuk akal. Eksistensi mereka  bukan pada kediriannya tetapi selalu bersama komunitasnya. Tak kumpul, ya tak muncul.

Namun di antara itu semua, buat perempuan miskin, usia muda, beranak minimal satu, baik yang semula bekerja di luar rumah atau ibu rumah tangga, COVID-19 benar-benar membuat dunia mereka jungkir balik. Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dan membantu rumah tangganya normal, seperti sekolah, madrasah, dan tempat bermain anak-anak, tidak lagi berfungsi seperti biasa sehingga sekarang semuanya berpusat kepada mereka.

Beruntunglah mereka yang masih memiliki asisten atau ibu yang  tinggal bersama, serta memiliki cukup pengetahuan dan kreativitas, plus suami yang ikut memikirkan dan membantu atau mengambil alih pengasuhan dan pendidikan anak. Guncangan itu akan ditahan bersama-sama. Hal yang umum terjadi adalah karena secara normatif rumah tangga adalah urusan perempuan, maka ketika seisi rumah stop tertahan, maka perempuan yang menjadi ibu guru, manajer kantor, sekretaris, koki,  sampai janitor yang mengurus kebersihan kamar mandi. Ini  benar-benar bencana nyata namun dianggap tak pantas dikeluhkan. Karenanya, kita mungkin tak terkejut jika jumlah permohonan cerai dalam era COVID-19 ini meningkat tajam.

Sudah tujuh bulan kita begini, dan entah sampai kapan. Saya sungguh berempati kepada perempuan muda, paruh baya dan lansia yang terguncang oleh gempa COVID-19. Lebih prihatin lagi karena  guncangan itu tak dihiraukan, tak dianggap ada oleh penyelenggara negara, karena alat baca gempanya tak cukup peka dalam menangkap guncangan-guncangan itu.

Padahal jika alat bacanya sensitif, maka seharusnya keluarga-keluarga yang memiliki anak sekolah mendapatkan pendampingan intensif bagaimana menjadi ibu atau bapak guru di rumah. Mereka seharusnya mendapatkan uang pengganti gaji guru dan biaya pendidikan karena mereka pembayar pajak dan warga negara yang berhak atas “Bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya” yang menjadi sumber kehidupan anak bangsa.

Bagi ibu bekerja, mereka seharusnya mendapatkan pengganti uang kebersihan, listrik, sewa ruang kerja dan alat-alat kantor. Begitu juga bagi lansia, atau perempuan paruh baya. Harus ada jalan keluar atas kebuntuan yang mereka hadapi akibat berhentinya aktivitas mereka. Bukankah selama ini mereka telah menyumbang bagi bergeraknya ekonomi dan sosial?

Setelah tujuh bulan dan entah masih berapa lama lagi kita akan tetap begini, terberkatilah perempuan-perempuan yang tak terdampak guncangan pandemi ini. Namun bagi yang lain  harus ada perubahan radikal dalam cara melihat problem perempuan sang pengurus rumah tangga.

Ditulis oleh Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB, diterbitkan pertama kali di halaman Facebook-nya dan diolah oleh Magdalene.co.