Memilih Batas Tepi Antara Angan dan Realitas Kehidupan: Cerita perempuan tanpa suami yang tinggal di lingkungan Salafi
Oleh: Dwinda Nur Oceani
Ummu Putri (36) adalah ibu tunggal untuk Putri, berumur 9 tahun. Kesehariannya mengurus anaknya dan berdagang jajanan seperti onde-onde dan telur asin yang ia produksi sendiri. Untuk memenuhi kebutuhannya ia harus berjualan setiap hari karena kue-kue yang dijual tak bisa disimpan. Selain itu ia juga menjual makanan ringan dititipkan di mana ia hanya mengambil untung kecil dari selisihnya. Keahlian lainnya adalah pijat dan bekam. Keahilan itu ia peroleh dari sesama jemaah yang dimanfaatkan untuk mencari nafkah. Ia tidak menyia-nyiakan keahliannya dengan menjual jasa tersebut sebagai tambahan.
Sejak tiga tahun lalu Ummu Putri memilih bercerai karena suaminya sering melakukan tindakan kekerasan. Ummu mengurus sendiri perceraiannya karena suaminya tidak mau menceraikan. Menjadi seorang janda dan ibu tunggal bagi seorang anak perempuan ternyata bukanlah perkara mudah untuk ia jalani di lingkungan yang menormalisasi ajaran Salafi. Sebutan perempuan mandiri dan independen jelas tidak berlaku di lingkungan ini. Berbagai “aturan” yang diterapkan di lingkungan tempat ia tinggal membatasi ruang gerak dan pikirannya. Namun, ia masih menganggap bahwa batasan-batasan itu merupakan amalan yang sudah seharusnya dijalani oleh perempuan, apalagi seorang janda. Ummu Putri telah memeluk keyakinan yang tumbuh dari pemahaman Salafi melalui proses yang tidak sebentar. Mulai mempelajari ketika semasa ia duduk di bangku SMP/MTs (Madrasah Tsanawiyah), mendapatkan pembelajaran dari teman sekelasnya juga dari melalui majalah Salaf. Setelah dewasa, ia kemudian mencari tempat dan lingkungan yang memegang ajaran Salafi ini. Hal tersebut bagaikan mimpi menjadi kenyataan baginya, setelah mendambakan untuk tinggal di lingkungan yang dikelilingi oleh teman-teman satu komunitas/kelompok yang memiliki pemahaman sama dengannya terkait ajaran agama. Ia pun memilih untuk melanjutkan kehidupannya di lingkungan tersebut.
Perempuan bekerja merupakan hal yang tidak lazim bagi perempuan-perempuan di kelompok Salafi. Tentu saja sedapat mungkin mereka berikhtiar, namun dijalankan dari rumah. Karenanya memiliki keterampilan seperti memijat dan bekam dengan membuka praktik di rumah itu penting. Tapi keahlian itu juga dimiliki perempuan-perempuan lain yang pernah ikut kursus bekam. Dengan anggapan bahwa sebaik-baik perempuan adalah yang tinggal di rumah dan mengurus keluarga, perempuan-perempuan yang ada di dalam komunitas itu umumnya tidak bekerja di luar rumah. Paling jauh mereka jadi guru di dalam lingkungannya.
Dalam keyakinan mereka, tinggal di rumah adalah hal yang diharuskan. Alasan paling umum adalah untuk menjaga kehormatan perempuan dan suaminya yang berkewajiban melindunginya. Keharusan untuk tinggal di rumah juga karena mereka meyakini secara kodrati perempuan adalah sumber fitnah yang dapat menimbulkan kegoncangan di dalam masyarakat. Untuk menghindarinya, perempuan secara fitrah seharusnya tinggal di rumah, mengurus keluarga, mengerjakan hal-hal domestik, dan fokus beribadah saja. Adapun pekerjaan yang diperbolehkan dalam lingkungan atau kelompok Ummu Putri, seperti menjadi pengajar/guru untuk kalangannya dan berdagang namun harus didampingi oleh mahram. Hal tersebut ditujukan salah satunya untuk menghindari ikhtilath (bercampur/interaksi dengan yang bukan mahram) antara perempuan dan laki-laki. Sudah menjadi hukum paten.
Ummu Putri memang memiliki keyakinan yang tumbuh dari ajaran Salafi. Namun realita kehidupannya tidak dapat memenuhi harapan atas pemahaman tersebut. Hal itu membuatnya seakan berada di tengah garis antara harus menjalani yang ia yakini mengenai fitrah perempuan namun mengenyampingkan realita kehidupannya, atau ia menjalani realita hidupnya dengan bekerja sebagai pedagang dan menjual jasanya namun stigma negatif akan terus datang padanya.
Resah yang ia simpan direspon oleh salah satu jemaah yang tinggal di lingkungan yang sama. Awalnya ia merasa bahwa rekannya berada di sisinya untuk mendukung dan memberikan solusi namun nyatanya menjadi buntu. Ia justru diminta untuk introspeksi diri, dianggap sebagai perempuan yang melanggar aturan agama dan menyalahi fitrahnya sebagai perempuan, karena ia berdagang seorang diri tanpa ditemani mahram, dan menjajakan apa yang bisa ia jual dengan usahanya sendiri. Ia justru diceramahi untuk banyak berdoa agar dipermudah mendapatkan suami yang dapat menanggung beban kehidupannya, agar ia dapat kembali ke rumah dan hanya mengurus keluarga sebagai bentuk amalan kehidupan. Ummu Putri merasa bahwa rekannya tidak memiliki rasa empati, padahal ia tahu bagaimana keadaan Ummu Putri.
“Dia tau gimana keadaan aku, kenapa aku kerja keras dan tidak diam saja di rumah. Aku juga tau apa yang aku lakuin bukan sunnahnya perempuan. Tapi ya aku balik lihat keadaanku untuk memenuhi kebutuhan ya harus mencari nafkah. Kalau aku nurutin kata orang dari mana aku dapat penghasilan. Sedih kalo cuma dengerin kata orang, karena orang yang ngomong ke aku secara finansial sudah mapan, makanya mudah saja bilang seperti itu.” Ungkap Ummu Putri. Namun, tekanan tersebut membuat Ummu Putri menjadi resisten dan berpikir bodo amat karena siapa lagi yang akan menolong dirinya kalau bukan dirinya sendiri. Lantaran ia butuh. Angan-angan menjadi istri soleha yang bertugas di ranah domestik dan berkewajiban mengurus suami dan mendidik anak ia kesampingkan dengan perasaan yang berat pastinya. Kembali pada realita kehidupannya menjadi prioritas. Jika hanya mendengarkan orang-orang yang sebenarnya tidak betul-betul peduli dan tidak mengakui kehadirannya sebagai perempuan mandiri hanya akan membuang waktu dan menggerus perasaannya.
Sudah terlalu lelah mendengar dan menanggapi apa yang orang katakan. Ia memilih untuk tidak mendengarkan walau ada perasaan sedih yang tidak diungkap pada orang-orang yang menceramahinya. Dengan memilih untuk terus bekerja, berjuang untuk menghidupi dirinya dan anak perempuan satu-satunya merupakan bukti bahwa ia tidak menyerah dengan keadaan dan pada aturan yang membelenggu ruang gerak dan pikirannya. Ia mencoba menciptakan ruang tak bersekat bagi dirinya untuk dapat bertahan di jalan ridha Allah sesuai yang ia pahami dan ia jalani.
—
Penulis merupakan peneliti Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.