Posts

Muslimah Bekerja: Pekerjaan Memiliki Jenis Kelamin (?)

Oleh: Anifa Hambali

Kenapa sih perempuan selalu disuruh memilih antara bekerja atau di rumah saja? Kenapa perempuan diharuskan memilih jika perempuan bisa melakukan semuanya? Menjadi pekerja sekaligus Ibu rumah tangga, misalnya. Tidak ada yang dikorbankan atau bahkan berkorban. Namun memang ada tantangan tersendiri yang harus dihadapi. Karena segala sesuatu tentu ada konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan, bukan? Tentu soal pertanggungjawaban ini harusnya tidak memandang jenis kelamin, baik laki-laki dan perempuan harus memiliki tanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya.

Dalam Islam sendiri tidak pernah ada larangan bagi muslimah untuk bekerja atau berkarier. Dalam kisah yang sangat populer dan pasti semua muslimah tau adalah Sayyidah Khadijah, istri Rasulullah saw., pebisnis perempuan yang menjadi role model banyak muslimah untuk berkarier dalam dunia bisnis. Sangat relevan dengan isi dalam Al-Qur’an surat al Kahfi ayat 110 yang artinya “Siapa saja yang mengharap bertemu dengan Tuhan maka hendaklah dia bekerja dengan baik dan tidak menyekutukan pengabdiannya kepada Tuhan dengan yang lain”. Istri Rasulullah saw. telah memberikan teladan untuk muslimah bekerja dengan baik agar tidak mudah menyekutukan Allah.
Dari Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud ra., ia pernah mendatangi Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apa pun.” Ia juga bertanya tentang nafkah yang saya berikan kepada mereka (suami dan anak). Rasul menjawab, “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka.” (HR. Imam Baihaqi). Hadist tersebut sangat jelas menggambarkan bagaimana kondisi seorang muslimah dibolehkan bekerja, bahkan mendapatkan pahala kebaikan dari pekerjaanya.

Jadi, muslimah bekerja itu boleh. Karena bekerja untuk kebaikan dan kemaslahatan. Kalaupun ada sebuah kasus ibu bekerja yang akhirnya terlihat kurang bertanggung jawab atas rumah tangganya atau urusan domestik, harusnya tidak hanya perempuan yang bertanggung jawab dan dihakimi begitu saja. Sebab kita juga perlu mencari tau dan kritis apa alasan dibalik itu. Bisa saja suaminya sangat patriarki dan tidak mau berbagi peran domestik, akhirnya perempuan bekerja sudah capek kerja, ditambah beban urusan rumah (double burden). Bisa juga karena suatu kondisi perempuan tersebut menjadi ibu rumah tangga sekaligus kepala rumah tangga karena ditinggalkan suami pergi sebab meninggal atau lainnya. Tentu kita membayangkan saja tidak mudah bukan menjadi orang tua tunggal dengan berbagai tanggung jawab yang harus diambil alih. So, jangan mudah kita menghakimi perempuan bekerja.

Dalam sebuah pernikahan, jika muslimah bekerja, penting bagi keluarga untuk hadir mendukung, terutama pasangan. Dukungan tersebut bisa berupa semangat dan juga kesadaraan untuk berbagi atau bertukar peran. Di mana urusan rumah adalah urusan bersama, termasuk pengasuhan anak. Begitupun dengan sebuah pekerjaan, jika perempuan bisa mengembangkan potensi diri dengan bekerja tanpa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai orang tua, why not?

Muslimah harus merdeka bekerja, menentukan karier ataupun profesinya. Karena setiap diri muslimah memiliki potensi luar biasa yang perlu dikembangkan. Potensi ini harus diberi dukungan tanpa melihat jenis kelamin atau gendernya. Jika laki-laki diberi ruang untuk bekerja, perempuan pun harusnya sama diberi ruang bekerja. Pekerjaan tidak memiliki jenis kelamin. Salah satu contoh, masih banyak orang yang menganggap pekerjaan supir untuk laki-laki meski perempuan bisa melakukan itu. Terlihat sekali pekerjaan saja ada klasifikasi gender, yang mana menjadikan pekerjaan publik seringkali hanya diperuntukkan laki-laki, sedangkan perempuan dibatasi dalam urusan domestik saja.

Dukungan untuk muslimah bekerja tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam lingkungan pekerjaan agar tidak tumpang tindih dengan menomerduakan pekerja perempuan. Tidak ada diskriminasi perempuan dalam dunia kerja. Upah yang dibayarkan harus sesuai antara pekerja laki-laki dan perempuan, kekerasan verbal ataupun fisik pada perempuan bekerja harus dihentikan. Perempuan merdeka bekerja artinya merdeka dari diskriminasi berbasis gender, kekerasan verbal ataupun fisik, bahkan kekerasan seksual yang seringkali dialami oleh perempuan bekerja. Muslimah merdeka bekerja untuk rahmatan lil’aalamin.

Penulis merupakan peserta lomba #MuslimahMerdekaBekerja kategori blog.