Posts

Kolom Kang Faqih: Benarkah Muslimah Bekerja Perlu Izin Suaminya?

Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

 

Jawabanya bisa benar dan bisa tidak, karena hukum selalu melihat konteks, kondisi, dan alasan (al-hukm yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman). Kita mengawali penjelasan pertama, yaitu ketika izin suami menjadi ajang transparansi, diskusi, dan antisipasi, maka ia menjadi baik dan perlu. Seorang perempuan muslimah yang mau bekerja, tentu, memerlukan ruang berbagi informasi, dukungan keluarga terutama suami, penguatan, dan bisa jadi antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Izin suami menjadi ajang bagi perempuan untuk hal-hal baik ini, yang akan menopang dan mendukungnya untuk memperoleh yang terbaik dari keputusannya untuk bekerja.

Bisa jadi, melalui ajang izin ini, suami lebih memahami jenis pekerjaan yang akan digeluti istrinya, mengenal lingkungan pekerjaan tersebut, atau orang-orang untuk jenis pekerjaan yang serupa, atau jaringan dan hal-hal lain yang bisa mendukungnya. Minimal, dengan mengetahui istrinya bekerja di suatu tempat, suami dapat mengantisipasi hal-hal tertentu ke depan. Bisa jadi ditanya anak-anak, orang tua, keluarga, atau kolega tentang keberadaan istrinya. Bisa jadi, ada kejadian pada istrinya yang memerlukan bantuanya. Atau antisipasi apapun, yang memang, dalam kehidupan sering terjadi.

Jika izin bekerja ini benar-benar menjadi ruang seperti demikian, maka hukumnya akan mengikuti hukum bekerja itu sendiri. Jika bekerja itu hukumnya wajib bagi seorang perempuan, misalnya karena dibutuhkan masyarakat dan dia satu-satunya orang yang mampu mengerjakan hal tersebut, atau penghasilanya diperlukan untuk kebutuhan primer keluarga, maka izin suami menjadi wajib. Jika hukum bekerjanya turun menjadi sunnah, maka izinnya juga menjadi sunnah. Hal ini didasarkan pada kaidah, bahwa sesuatu yang baik, wajib maupun sunnah, jika tidak sempurna tanpa sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain ini juga menjadi baik dan perlu (ma la yatimm al-hasanu illa bihi fahuwa hasanun).

Izin suami sebagai ajang informasi, diskusi, dan antisipasi mempersyaratkan relasi pasutri (pasangan suami istri) yang mubadalah (kesalingan). Relasi ini, seperti digariskan Al-Qur’an, memiliki lima pondasi. Yaitu, pertama, relasi pasutri dipandang sebagai kemitraan dan berpasangan (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn, QS. 2: 187); kedua, relasi pasturi dipandang sebagai ikatan kokoh yang harus dijaga bersama (mitsaqan ghalizan, QS. An-Nisa, 4: 21); ketiga, relasi harus bertumpu pada perilaku saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf, QS. An-Nisa, 4: 19); keempat, satu sama lain saling bermusyawarah (tasyawurin, QS al-Baqarah, 2: 233), dan kelima, satu sama lain saling mencari kerelaan (taradhin, QS al-Baqarah, 2: 233).

Dengan lima pondasi relasi mubadalah yang Qur’ani ini, tidak hanya izin suami, melainkan izin istri bagi suami yang akan bekerja juga menjadi baik dan perlu. Fungsinya sama, sebagai ajang informasi, diskusi, dan antisipasi. Saat ini, besar kemungkinan, sang istri memiliki pengetahuan yang cukup yang bisa dibagikan kepada suaminya terkait yang akan dikerjakannya. Minimal, sang istri memiliki informasi, sehingga bisa ikut mengantisipasi hal-hal yang bisa saja terjadi pada suaminya atau pekerjaanya. Lebih mulia lagi, jika izin istri dijadikan suami sebagai ajang implementasi dari lima pondasi relasi yang Qur’ani di atas. Sebagai perwujudan relasi berpasangan (zawaj), mengokohkan ikatan pernikahan (mitsaqan ghalizan), memperlakukan istri secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), bermusyawarah (tasyawurin), dan mencari kerelaan istri (taradhin).

Hukum izin suami akan berbeda pada kondisi relasi yang timpang, dimana perilaku suami semena-mena dan menggunakannya sebagai ajang hegemoni terhadap istrinya. Istri dilarang bekerja tanpa sebab, dilarang mengaktualisasikan dirinya demi impuls suami yang tidak jelas, dan ditempatkannya sebagai subordinat yang harus selalu minta izin suami dalam segala urusan. Relasi yang demikian bertentangan dengan lima pondasi relasi Qur’ani di atas, sehingga izin suami yang turun dari relasi timpang ini, juga menjadi tidak Qur’ani. Pada kondisi yang demikian, yang diperlukan bukanlah membiasakan izin suami oleh seorang istri, tetapi mengedukasi suami agar terlebih dahulu memiliki relasi yang Qur’ani dengan lima pondasi mubadalah tersebut di atas.

Tanpa prasyarat relasi mubadalah ini, izin suami justru bisa membuat seorang laki-laki bertambah jumawa, sombong, dan semena-mena. Hak-hak dasar yang dimiliki seorang perempuan, untuk hidup nyaman, belajar, bekerja, berpartisipasi secara sosial, bisa dilarang suaminya secara semena-mena melalui tiket ideologi izin yang dimilikinya. Untuk laki-laki seperti ini, seperti pesan Nabi Muhammad Saw, justru ditolong dengan mengendalikannya dan tidak menggunakan praktik izin untuk menzalimi istrinya.

 

عَنْ أَنَسٍ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ (صحيح البخاري، رقم: 2484).

 

Dari Anas r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kami pasti menolong yang dizalimi, bagaimana menolong yang zalim itu? Rasul Saw menjawab: “Menolong yang zalim itu dengan mengendalikannya (agar tidak berbuat zalim lagi)”. (Sahih Bukhari, no. 2484).

Ketika izin suami digunakan untuk menzalimi hak-hak istri sebagai manusia muslimah yang utuh, maka kita diminta Nabi Saw menolong yang dizalimi dan yang menzalimi. Yaitu dengan melarang praktik izin yang zalim dari suami dan mendukung para perempuan yang dizalimi oleh praktik tersebut. Di antaranya adalah dengan mengedukasi laki-laki (suami) dan perempuan (istri) tentang relasi yang mubadalah dan mendorong mereka mempraktikkan lima pondasi Qur’ani tersebut di atas. Hanya dalam relasi yang demikian, praktik izin suami bisa membawa kebaikan dan keberkahan.

Apakah ada teks hadis yang menuntut seorang muslimah yang mau bekerja meminta izin dari suaminya? Tidak ada. Lalu, darimana pandangan yang cukup populer ini berkembang? Dari ajaran dasar bahwa seorang istri harus selalu patuh kepada suami. Padahal kepatuhan dalam Islam, sebagaimana juga ditegaskan Nabi Saw, harus dalam hal-hal yang akan membawa kebaikan, bukan dalam hal-hal yang justru membawa kemaksiatan, atau keburukan dan kemafsadatan (Musnad Ahmad, no. 1110).

Sebaliknya, untuk hal-hal yang secara mendasar adalah baik, Nabi Saw justru melarang laki-laki menggunakan praktik izin ini bagi menghalangi para perempuan dari hak-hak dasar yang mereka miliki sebagai muslimah. Kita bisa merujuk pada pernyataan Nabi Saw di bawah ini:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَمْنَعْهَا (صحيح البخاري، رقم: 881).

 

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, Abdullah bin Umar ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Jika istri seseorang di antara kalian sudah meminta izin, maka (izinkan dan) janganlah halang-halangi dia”. (Sahih Bukhari, no. 881).

Teks hadis ini secara gamblang meminta laki-laki untuk tidak menghalangi-halangi istrinya, jika sudah meminta izin. Teks hadis ini bersifat umum untuk hal-hal yang secara mendasar adalah baik, seperti beribadah, belajar, bekerja, beramal sosial, dan yang lain. Beberapa riwayat lain memberi contoh tentang izin untuk pergi ke masjid, terutama salat pada malam hari, dimana para suami biasanya merasa khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik, sehingga merasa berhak untuk tidak mengizinkan. Namun, Nabi Saw dengan tegas mengatakan: izinkan dan jangan halangi para perempuan dari masjid-masjid Allah (Sahih Muslim, no. 1019).

Dengan demikian, merujuk pada hadis tersebut dan prinsip-prinsip relasi mubadalah di atas, praktik izin adalah baik di antara pasutri jika diimplementasikan dalam kerangka berbagi informasi di antara mereka, berdiskusi, bermusyawarah, berbagi pengetahuan dan dukungan, sertai antisipasi hal-hal yang justru bisa mendatangkan keburukan bagi kehidupan mereka berdua. Jika tidak dalam kerangka yang demikian, maka praktik izin pasutri perlu ditinjau ulang. Wallahu a’lam.

Kolom Kang Faqih: Bekerja adalah Karakter Dasar Muslim dan Muslimah

Oleh:  Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam al-Qur’an, kata yang semakna dengan bekerja adalah‘amala (عمل) . Kata itu selalu disebut beriringan dengan amana (آمن) artinya beriman. Dengan merujuk kepada Al-Qur’an, kita jadi tahu bahwa bekerja bukan hanya penting dalam Islam, tetapi juga perwujudan langsung dari keimanan terhadap Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw.

Tidak tanggung-tanggung, iring-iringan dua kata ini disebut lebih dari 56 tempat dalam al-Qur’an. Beberapa di antaranya menjadi syarat bagi yang ingin bertaubat dari dosa (seperti QS. Al-Furqan, 25: 70). Dalam ayat lain dua kata itu secara tegas menjadi syarat masuk surga di akhirat kelak (seperti QS. An-Nisa, 4: 124).

Ayat-ayat itu menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang utuh (mukallaf). Mereka adalah hamba Allah Swt yang khalifah fi al-ardh, dan karena itu dituntut beramal shalih, serta berhak atas hasil dan dampak dari semua amal shalih tersebut.

Bahkan dalam empat ayat ini (QS. Ali Imran, 3: 195; an-Nisa, 4: 124; an-Nahl, 16: 97; dan Ghafir, 40: 40), secara tegas dan eksplisit disebutkan subyeknya perempuan. Ini untuk mengikis budaya diskriminatif yang meminggirkan perempuan dari ranah bekerja (‘amala). Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan betapa penting konsep ‘amala, atau bekerja, sebagai salah satu karakter dasar seorang muslim dan muslimah.

 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – ٩٧

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl, 16: 97).

 

Tentu saja, kata ‘amala bermakna luas. Dalam al-Qur’an, kata ini selalu digandengkan dengan atribut shalihan, kebaikan. Dalam bahasa Indonesia, kita sering mendengar kata “amal shalih”. Artinya segala tindakan, perbuatan, dan pekerjaan yang bersifat baik dan melahirkan hasil serta dampak kebaikan bagi kehidupan yang baik. Amal shalih ini bisa berupa ibadah vertikal dan ritual, yaitu relasi seseorang dengan Allah Swt. Atau ibadah horizontal dan sosial yaitu relasi dengan manusia dan alam. Bisa juga merujuk pada keduanya: ibadah vertikal sekaligus horizontal, ritual sekaligus sosial.

Bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, apalagi ditambah agar bisa membantu orang lain merupakan ibadah sosial. Perbuatan itu mungkin hanya bersifat horizontal tanpa ada kaitannya dengan hubungan vertikal kepada Allah Swt. Akan tetapi ketika bekerja diniatkan sebagai bentuk kepatuhan dan ketundukkan kepada-Nya, maka bekerja memiliki nilai ibadah ritual-vertikal, di samping ibadah sosial-horizontal. al-Qur’an (QS. Al-Jum’ah, 62: 9-10) sendiri memanggil orang-orang yang beriman, sesudah beribadah shalat, untuk segera bertebaran di muka mencari rizki dari karunia Allah Swt yang amat luas.

Di dalam ayat lain, seperti (QS. Al-Mulk, 67, 15; Taha, 20: 53-54; dan Al-A’raf: 10), al-Qur’an juga mengisahkan bahwa Allah Swt telah menghamparkan berbagai sumber daya dan jalan bagi manusia, dan meminta mereka untuk mencari rizki guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Ayat-ayat ini, tidak secara khusus hanya menyapa laki-laki.  Sebagaimana ayat-ayat keimanan dan amal shalih yang lain, ayat-ayat yang sama juga menyapa para perempuan muslimah untuk aktif beramal dan bekerja mencari rizki dari anugerah Allah Swt.

Fasilitas dan sumber daya yang dihamparkan Allah Swt. di muka bumi ini, sebagai jalan rizki dan anugerah-Nya, juga dipersiapkan melalui sistem sosial yang ada bagi para perempuan muslimah. Dengan meyakini kemanusian, kehambaan, dan ke-khalifah-an para perempuan, tidak ada alasan syar’i, terutama dari al-Qur’an, untuk meminggirkan mereka dari ruang-ruang bekerja, baik sebagai aktualisasi diri, untuk layanan sosial, termasuk untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Dan itu berlaku bagi perempuan dewasa apapun status perkawinannya: sebagai individu, istri, atau kepala keluarga.

Bekerja merupakan perwujudan dari keimanan, dan beramal shalih. Bekerja juga wujud implementasi rasa syukur atas segala kenikmatan yang kita terima dari kehidupan ini. Nabi Muhammad Saw dalam prilakunya sehari-hari memperlihatkan  bahwa bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri tidak hanya baik, tetapi termasuk teladan kenabiannya. Setiap pekerjaan, dalam bentuk apapun, yang membuatnya terhindar dari meminta kepada orang lain, adalah baik di mata Nabi Muhammad Saw.

 

عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (صحيح البخاري، رقم: 2111).

Dari Miqdam ra., bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, yang lebih baik dari hasil jerih pekerjaan tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri”. (Sahih Bukhkari, no. hadits: 2111).

 

عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، فَيُعْطِيْهِ أَوْ يَمْنَعُهُ. (صحيح البخاري، رقم: 2113).

Dari Abi ‘Ubaid, hamba sahayanya Abdurrahman bin ‘Auf, dia mendengar Abu Hurairah ra. bertutur bahwa Rasul saw. bersabda, bahwa  seseorang yang menggunakan seutas tali, mencari kayu bakar dan mengikatkan ke punggungnya, (lalu menjualnya ke pasar) adalah lebih baik baginya daripada harus meminta-minta kepada orang lain, yang kadang diberi dan terkadang ditolak”. (Sahih Bukhari, no. 2113).

 

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ ونَشَاطِهِ مَا أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنْ كَانَ خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ ‌يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعِفُّها فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وتَفَاخُرًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ)). (المعجم الأوسط للطبراني، رقم الحديث: 6835).

Dar Ka’b bin ‘Ujrah berkata: Suatu saat ada seseorang yang lewat di hadapan Nabi Muhammad Saw, lalu para Sahabat melihat kekuatan dan kecekatanya yang mengagumkan mereka. “Ya Rasulallah, andai saja (semua kekuatan dan kecekatan) ini digunakan untuk jalan Allah”, kata mereka. Lalu Nabi Saw menimpali mereka: “Jika dia keluar bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka dia sesungguhnya berada di jalan Allah, jika dia keluar untuk membantu kedua orang tuanya yang sudah renta, jika dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dirinya maka ia juga sedang berada di jalan Allah, tetapi jika dia keluar bekerja untuk sebuah mempertontonkan (kehebatan diri) dan kesombongan maka ia berada di jalan setan”. (al-Mu’jam al-Awsath Thabrani, no. hadits: 6835).[1]

 

Inti pembelajaran dari ketiga teks hadits di atas adalah bekerja, dalam bentuk apapun, selama halal, untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga adalah perbuatan baik. Ketiga teks hadits ini, sebagaimana ayat-ayat di atas, dan hadits-hadits lain mengenai ‘amal shalih,  menyapa manusia, laki-laki maupun perempuan. Tentu saja, praktik dari bekerja sebagai implementasi ‘amal shalih ini, tergantung pada konteks sosialnya, kapasitas dan kemampuan seseorang, serta pilihan-pilihan yang tersedia. Namun, menyisihkan seseorang, apalagi melarangnya hanya karena statusnya sebagai perempuan adalah sesuatu yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran dasar al-Qur’an, maupun teladan Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam.

 

[1] Ath-Thabrani, Sulayman bin Ahmad al-Lakhmi, al-Mu’jam al-Awsath, ed. Thariq bin ‘Awadh, (Cairo: Dar al-Haramain, tanpa tahun), juz 7, hal. 56.

 

Penulis merupakan dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan pendiri Mubadalah.id.