Posts

Photo by Andy Fitzsimon on Unsplash

Sumbangan Kerja Rumah Tangga

Oleh: Sinta Febrina

Dalam rangka Hari Perempuan Internasional saya ingin menurunkan kembali tulisan saya di Kompas beberapa tahun lalu. Hingga saat ini setelah saya pindah ke Amerika untuk melanjutkan studi master saya dengan memboyong dua anak saya, tulian ini tetap relevan. Tulisan ini mempersoalkan inkonsistensinya penghargaan sosial ekonomi kepada perempuan yang memilih karier sebagai IRT – ibu rumah tangga. Terdapat paradoks, di satu pihak IRT diagungkan, dianggap kunci keberhasilan keluarga; di pihak lain, peran itu tak direkognisi secara konkrit dalam pembangunan, pun dalam analisis ekonomi.

Survei Litbang Kompas menjelang Hari Ibu 2015 menggaris bawahi gambaran itu. Sejumlah 1.640 pelajar Menengah Atas dari 12 kota besar menempatkan Ibu sebagai tokoh penting  bagi kehidupan mereka. Sebanyak 47, 1 dari mereka menyebut ibu sebagai tempat curhat dibandingkan ayah, yang hanya mendapat 7,7 persen;  lebih dari lima puluh persen responden remaja memilih membangun komunikasi dengan ibu, dibandingkan ayah (kurang dari 10 %). Bahkan mereka memilih kawan melalui ragam media sosial ketimbang dengan ayah.  Mereka  juga tetap memilih ibu sebagai pahlawan, (46,2%) meskipun mereka menyebut ayah sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. (Litbang Kompas 2015)

Namun hasil survei itu seperti tak terhubung dengan kajian politik ekonomi. Sejauh saya tahu, kajian politik ekonomi Indonesia jarang sekali menganalisa peran dan sumbangan IRT atau merekognisi dengan mengkonversikan sumbangan tenaga kerja mereka dalam mengurus rumah tangga, anak, menunjang karier suami dan mengelola komunitas sebagai sumbangan bagi pembangunan.

Bacaan saya mengantarkan kepada jawaban klasik bahwa persoalan ini berpangkal dari pandangan biner soal peran publik-domestik. Pemisahan ini, dalam konteks masyarakat industri melahirkan pembagian kerja gender yang tak setara. Pembagian kerja gender ini menempatkan perempuan dalam kerja reproduksi seperti pengasuhan dan pemeliharaan keluarga yang diberi label Ibu Rumah Tangga, sementara kerja produktif secara otomatis dihubungan  kepada lelaki sebagai kepala keluarga, pencari nafkah utama. Meskipun kenyataan itu telah lama berubah dan bergeser, namun label peran dan status yang  berangkat dari oposisi biner itu nyaris tak berubah.

Persoalannya, seluruh perhatian politik ekonomi tampaknya hanya meneropong aktivitas manusia di ruang publik dan untuk jenis pekerjaan berbayar. Sementara pekerjaan IRT yang secara normatif dituntut menghasilkan tatanan keluarga yang sehat, aman dan nyaman, tak dibedah oleh pisau analisis ekonomi serupa itu. Sekat biner telah menempatkan IRT di posisi yang sulit diteropong oleh analisis ekonomi yang tersedia.

Adanya pembagian kerja gender juga melahirkan kesenjangan kepada perempuan sebagai IRT. Menjadi IRT pada kenyataannya hanya menghasilkan penghargaan moral sosial atau keagamaan. Sumbangan mereka tak pernah dikalkulasi secara ekonomis. Bandingkan misalnya dengan kerja produktif  yang bukan hanya mendapatkan pengakuan, tetapi juga memiliki peluang untuk mengembangkan diri dan membangun kapasitas. Ini karena peran dan kehadirannya direkognisi dalam politik ekonomi dan karenanya kebutuhan-kebutuhannya relatif lebih diperhatikan dan dipenuhi. Pembagian kerja gender bukan hanya melahirkan kesenjangan tetapi juga tak ada peluang yang setara (equal oportunity).

Lihat saja, banyak pasangan yang semula memasuki Rumah Tangga secara setara kelak memunculkan ketimpangan ketika salah satu memilih tinggal di rumah demi keluarga. Banyak pasangan yang sama-sama lulusan perguruan tinggi, secara sadar melakukan pembagian kerja demi survival mereka. Namun pada akhirnya mereka menghadapi situasi yang menempatkan salah satu pihak jadi subordinat dan stagnan. Suami dapat melanjutkan sekolah, mengembangkan karier dan mencari nafkah, sementara istri menjadi IRT dan hilang dari radar analisis. Ini karena oposisi biner juga bersifat diskriminatif. Ruang publik senantiasa menyediakan segala macam pilihan bagi mereka yang aktif didalamnya untuk bekerja dan naik kelas. Sebaliknya sekeras apapun kerja IRT dalam menjalankan “kariernya” sumbangan mereka tak direkognisi dan dinilai secara konkrit.

Secara sosial, biasanya orang akan berharap bahwa reward akan mereka terima dari suami atau anak-anak. Namun ini mengandaikan setiap pasangan mendapatkan penghargaan atas perannya itu dan negara ikut memastikan terjaminnya reward ini. Lalu bagaimana pula dengan IRT yang secara de facto menjadi orang tua tunggal, atau suami tak bertanggung jawab? Sementara penghargaan yang lebih nyata dari negara atas peran dan sumbangsih mereka nyaris tak terdengar.

Sesungguhnya jika negara punya political will untuk menghitung sumbangan mereka, negara akan diuntungkan dengan bertambahnya nilai jumlah tenaga kerja dan sumbangannya. Misalnya dengan menghitung curahan waktu kerja IRT.  Dan itu sangat dimungkinkan.

Ketika suami saya mendapatkan pendidikan di Australia dan kemudian di Amerika, para ibu rumah tangga, bahkan untuk keluarga  pendatang seperti kami, mendapatkan peluang  untuk tumbuh kembang dalam fungsinya sebagai IRT. Mereka direkognisi dan dipenuhi kebutuhannya sesuai perannya sebagai IRT. Mereka dimudahkan untuk bekerja mencari nafkah baik paruh waktu atau penuh sambil tetap berstatus sebagai IRT. Seseorang yang memilih profesi sebagai IRT masih dapat mengembangkan diri karena negara mengakui keberadaan mereka. Berbagai fasilitas yang ramah pada kebutuhan IRT seperti teknologi, industri makanan cepat saji yang sehat dan murah,  dan sistim dukungan yang menimbang peran dan kebutuhan IRT tersedia. Tempat penitipan anak yang dilindungi pengawasannya tersedia di mana-mana. Negara juga menyediakan  fasilitas antar jemput sekolah serta fasilitas bermain yang aman. Sementara itu di tiap lingkungan ada perpustakaan yang referensinya selalu diperbaharui dan ramah kepada kondisi dan kebutuhan IRT terutama yang membawa anak-anak.

Meskipun hanya kerja sampingan, pendapatan IRT di kedua negara itu dapat mencukupi kebutuhan keluarga muda seperti kami. Ketika pasangannya tak ikut mencari nafkah karena harus menulis disertasi atau harus riset penuh waktu, mereka masih tetap terjamin kesejahteraannya dengan income yang diperoleh IRT.  Ini juga karena model dan sistem pengupahan memungkinkan bagi IRT menjadi pekerja sesuai dengan waktu yang mereka punyai yang menggabungkan antara pengurus rumah tangga dan pencari nafkah.

Di Indonesia, setelah kami pulang, dan saya memilih menjadi IRT saya kehilangan fasilitas serupa itu. Kemacetan di kota besar, keterbatasan fasilitas bagi IRT untuk mengembangkan diri dengan biaya murah sulit diperoleh. Selain itu, sistem pengawasan bagi keselamatan anak-anak di ruang publik sangat buruk, demikian halnya pengawasan pada produk makanan di luar rumah. Situasi itu mengharuskan IRT bekerja penuh waktu hanya untuk keluarga. Namun akibatnya, makin menempatkan IRT pada situasi yang tak dikenali peran dan sumbangannya. Kini, mengingat jumlah IRT cukup besar, sudah saatnya negara memiliki kebijakan yang mengakui peran IRT. Dan itu harus berangkat dari kerangka  teoretis yang  mampu menghidung  kehadiran dan sumbangan IRT bagi pembangunan.

Penulis merupakan anggota jaringan peneliti Rumah Kita Bersama, dan artikel ini pernah diterbitkan di Harian Kompas dan Rumah KitaB.

Dicari: Cara Radikal Atasi Problem Perempuan Saat Pandemi

Oleh: Lies Marcoes

Tujuh bulan sudah kita disetop paksa oleh virus corona. Disetop dari kegiatan beraktivitas di luar rumah bagi sebagian orang; disetop dari pekerjaan mencari nafkah yang mengandalkan mobilitas; disetop dari kegiatan masif proses pembelajaran; disetop dari kegiatan rutin: bangun, sarapan, berangkat kerja, mulai stres karena jadwal ketat sementara jalanan macet (terutama di Jakarta dan kota-kota besar), bertemu kolega, klien, nasabah, teman, bersosialisasi, handai taulan dan seterusnya. Disetop dari melakukan mobilitas fisik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bicara berpikir atau kongkow dari satu isu ke isu lain.

Kini, semuanya berhenti. Secara mendadak pula. Tanpa aba-apa tanpa pelatihan ketrampilan untuk menghadapi perubahan ini. Lalu kehidupan pun bertumpu dan berpusat kepada “rumah” dan “penguasanya” yang secara normatif dinisbahkan kepada perempuan.

Bagi sebagian perempuan yang tadinya sehari-hari di rumah bekerja sebagai ibu rumah tangga, dalam tujuh bulan ini mereka dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan baru yang semula dipercayakan kepada pihak lain: kepada negara atau kelembagaan semi negara, swasta, badan non-negara, komunitas, bahkan pasar. Kini, secara mendadak, mereka, harus mengambil-alih semua peran itu dengan nyaris tanpa persiapan dan tanpa keterampilan. Mereka harus menciptakan kenyamanan di rumah yang tiba-tiba berubah menjadi kantor, sekolah, madrasah, musala, lapangan bermain, restoran/warung, kamar mandi umum, layanan kesehatan dasar dan tempat rekreasi sampai sarana relaksasi.

COVID-19 memaksa kita berubah. Namun perubahan bukanlah sebuah kacamata netral. Selama ini, dengan  menggunakan perspektif ekonomi, dengan segera akan tampak dampaknya, mulai dari tataran ekonomi global sampai ke dompet di dapur pada masing-masing rumah tangga.

Pada kelas sosial tertentu, perubahan ekonomi mungkin tidak terlalu terasa karena lapisan-lapisan lemak dalam cadangan kalori ekonominya cukup tebal. Namun pada kebanyakan orang, ini benar-benar bencana. Saya berani bertaruh pemintaan macam-macam utangan, dari skema kredit lunak dan murah sampai rentenir bertaring hiu, meningkat tajam.

Perubahan paling dahsyat namun jarang sekali terlihat karena alat baca untuk mengamati itu tak tersedia atau buram pekat, adalah pada kehidupan ibu rumah tangga. Dan ini tak hanya pada mereka yang benar-benar terdampak laksana gempa dan tsunami, tetapi juga pada ibu rumah tangga kelas menengah yang secara normatif  dianggap tak telalu terguncang.

Senior saya, yang saat ini menekuni isu lanjut usia (lansia), melalui pesan WhatsApp mengajak saya berpikir: Ini ibu-ibu lansia mau bagaimana? Sudah tujuh bulan mereka tidak bertemu teman, anak-anak dan cucu-cucu, tak beraktivitas kelompok, tak keluar rumah, dan ini akan mempercepat proses kepikunan. Apalagi jika ia masih memiliki suami yang sehari hari laksana balita. Banyak dari kelompok lansia yang tidak menguasai teknologi komunikasi visual, sementara anak-anak mereka sibuk mengurus sekolah cucu-cucu di rumah. Bayangkan perempuan lansia pada keluarga miskin yang hidupnya  menumpang dengan anak atau menantu. Tak mustahil sebagian beban anak menantu perempuannya akan berpindah, minimal mendapat bagian tambahan.

Perempuan setengah baya dari keluarga mapan biasanya sangat sibuk dengan segala aktivitas bergaul dan sosialnya. Selain mengurus rumah tangga yang dalam banyak hal dialihkan ke asistennya, mereka tak memiliki kesibukan lain selain mengurus keluarga kecilnya karena anaknya telah berkeluarga. Selepas itu, mereka bertemu teman dan sahabat melanjutkan hobi dan kesehariannya. Datangnya COVID-19 membuat mereka berhenti bergerak. Padahal bagi mereka, menjadi soliter itu nyaris tak masuk akal. Eksistensi mereka  bukan pada kediriannya tetapi selalu bersama komunitasnya. Tak kumpul, ya tak muncul.

Namun di antara itu semua, buat perempuan miskin, usia muda, beranak minimal satu, baik yang semula bekerja di luar rumah atau ibu rumah tangga, COVID-19 benar-benar membuat dunia mereka jungkir balik. Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dan membantu rumah tangganya normal, seperti sekolah, madrasah, dan tempat bermain anak-anak, tidak lagi berfungsi seperti biasa sehingga sekarang semuanya berpusat kepada mereka.

Beruntunglah mereka yang masih memiliki asisten atau ibu yang  tinggal bersama, serta memiliki cukup pengetahuan dan kreativitas, plus suami yang ikut memikirkan dan membantu atau mengambil alih pengasuhan dan pendidikan anak. Guncangan itu akan ditahan bersama-sama. Hal yang umum terjadi adalah karena secara normatif rumah tangga adalah urusan perempuan, maka ketika seisi rumah stop tertahan, maka perempuan yang menjadi ibu guru, manajer kantor, sekretaris, koki,  sampai janitor yang mengurus kebersihan kamar mandi. Ini  benar-benar bencana nyata namun dianggap tak pantas dikeluhkan. Karenanya, kita mungkin tak terkejut jika jumlah permohonan cerai dalam era COVID-19 ini meningkat tajam.

Sudah tujuh bulan kita begini, dan entah sampai kapan. Saya sungguh berempati kepada perempuan muda, paruh baya dan lansia yang terguncang oleh gempa COVID-19. Lebih prihatin lagi karena  guncangan itu tak dihiraukan, tak dianggap ada oleh penyelenggara negara, karena alat baca gempanya tak cukup peka dalam menangkap guncangan-guncangan itu.

Padahal jika alat bacanya sensitif, maka seharusnya keluarga-keluarga yang memiliki anak sekolah mendapatkan pendampingan intensif bagaimana menjadi ibu atau bapak guru di rumah. Mereka seharusnya mendapatkan uang pengganti gaji guru dan biaya pendidikan karena mereka pembayar pajak dan warga negara yang berhak atas “Bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya” yang menjadi sumber kehidupan anak bangsa.

Bagi ibu bekerja, mereka seharusnya mendapatkan pengganti uang kebersihan, listrik, sewa ruang kerja dan alat-alat kantor. Begitu juga bagi lansia, atau perempuan paruh baya. Harus ada jalan keluar atas kebuntuan yang mereka hadapi akibat berhentinya aktivitas mereka. Bukankah selama ini mereka telah menyumbang bagi bergeraknya ekonomi dan sosial?

Setelah tujuh bulan dan entah masih berapa lama lagi kita akan tetap begini, terberkatilah perempuan-perempuan yang tak terdampak guncangan pandemi ini. Namun bagi yang lain  harus ada perubahan radikal dalam cara melihat problem perempuan sang pengurus rumah tangga.

Ditulis oleh Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB, diterbitkan pertama kali di halaman Facebook-nya dan diolah oleh Magdalene.co.