Cerita Jadi Muslimah Bekerja: Tidak Berjilbab Dinyinyirin, Kerja Disuruh Berhenti Jika Ingin Hamil (2-Habis)
Oleh: Dedik Priyanto
Ia memang memilih untuk tidak berjilbab. Di rumah, ia dan suaminya sepakat untuk berbagi beban. Keduanya juga sama-sama bekerja. Suami juga tidak masalah dengan pilihan istri yang ingin mengejar karir. Tapi, suatu ketika ia berkumpul dengan keluarga besar, eh ada yang nyeletuk.
“Itu Sheena kerja terus, kapan hamilnya?” tukas salah seorang saudara.
Sheena—bukan nama sebenernya tentu saja—awalnya terbiasa bilang ‘belum dikasih’ atau paling banter cuma menjawab‘minta doanya atau selemah-lemahnya Cuma bisa tersenyum. Tapi, itu saja teryata masih belum cukup. Ada komenter yang membuat ia sebal juga.
“Kurang-kuranginlah kerjanya. Perbanyak doa biar hamil. Biarin aja suami yang kerja. Toh hidup sudah cukup.”
Ya ya. Hamil tidak segampang itu, Tante-tante. Begitu komentarnya dalam hati. Toh, orang-orang ini tidak tahu perjuangan ia dan suaminya. Mereka pun tidak tahu cita-cita dan terjalnya hidup yang harus dihadapinya.
“Mungkin karena masih ‘terbuka’. Mulai aja ditutup itu tubuhnya,” tukas yang lain.
Dan, kalimat itu yang bikin kuping ia panas.
Bukan karena fakta ia memilih tidak berjilbab dengan alasan yang benar-benar ia pahami. Tapi, ia jengkel karena celetukan itu datang dari perempuan, sesama Muslimah. Bukankah harusnya sesama perempuan harus lebih peka?
*
Saat itu ia datang bersama suaminya, kawanku, dan ia menceritakan kisah yang ia alami. Saya pesan susu latte dingin, mereka pesan kopi dan pelbagai kudapan. Obrolan kami memang tidak melulu tentang jilbab, rumah tangga maupun segala pernik kehidupan urban yang kami jalani. Tapi, harus diakui, obrolan ini
“Bayangin saja ya, gue kan memang tidak pandai memasak. Eh ada loh yang nyinyir. Perempuan apaan gak bisa masak. Jadi apa keluarganya,” katanya bersemangat,”ya ague jawab ‘ya bisa bayar cicilan kartu kreditlah, bisa lebih sering jalan-jalan’ hahaha,” tambahnya.
Saya tersentak. “Beneran bilang gitu?” tanya saya.
Mereka berdua tertawa. “Mana berani dia,” celetuk suami.
“Hahaha, iye Cuma dalam hati. Mana berani jawab kalau ada so called tante-tante di rumah gue udah gitu. Daripada panjang urusan hahaha,” kelakarnya.
“Pasti lu ngalaminlah,” tukas temanku.
Tentu saja, jawabku, meskipun levelnya mungkin tidak sampai kena nyinyir seperti mereka. Apalagi, istri saya pun tidak berjilbab dan itu berdasarkan pilihan kenyamanan dan teologis. Saya percaya, tafsir tentang jilbab ini tidak tunggal. Kami sering membahas pilihan-pilihan ini dan mendiskusikan pelbagai tafsir terkait muslimah dan jilbab ini.
Saya percaya, manusia punya pilihan bebas dan kehendak atas apa pun pilihan hidup yang akan dijalaninya dan bersiap atas segala konsekwensi. Tak terkecuali muslimah. Mereka dalam Islam mendapatkan begitu banyak penghormatan bahkan dalam hadis lebih harus dihormati tiga kali lebih banyak dari seorang ayah, juga harusnya mendapatkan hak untuk mengekspresikan kebebasannya.
Dalam sejarah Islam toh kita melihat nama muslimah-muslimah yang bebas berkehendak hingga akhirnya tercatat dengan tinta emas sebagai pelopor perkembangan Islam. Mulai dari Siti Khadijah yang menjadi pedagang dan supporter utama Rasulullah hingga saintis seperti Aisyah yang juga menjadi kekasih yang paling dicintai Rasulullah.
Meski begitu, sayangnya di beberapa sebagian Muslim kita masih berpendapat bahwa suara Muslimah ini terbatas. Ya, terbatas oleh ajaran tafsir agama dan lingkungan. Bahkan, dengan kecenderungan sekarang ini, mereka yang berbeda pendapat seperti soal jilbab terkadang harus mendapatkan nyinyirin dan mungkin diskriminasi.
Sesuatu yang saya bayangkan tidak akan terjadi jika mereka lebih mengenal sosok seperti Khadijah, misalnya. Permasalahan itu kian kompleks ketika Gerakan untuk menertibkan tubuh perempuan dan Muslimah mulai santer belakangan ini, khususnya di kota-kota besar.
“Apalagi di Grup WA keluarga, yang muda-muda gini harus siap-siap dah diem aja udah jika sudah ngomongin jilbab,” tuturnya.
“Apalagi gue disuruh berhenti kerja jika ingin hamil. Apa korelasinya? Gue akan stress kali kalau di rumah dan nggak ada kerjaan,” tambah Istri.
Kami bertiga pun hanya bisa tertawa-tawa. Pilihan menjadi Muslimah yang bekerja dan anda belum dikasih karunia berupa kehamilan memang terkadang rumit. Apalagi jika berjumpa dengan lingkungan yang tidak asyik seperti yang kami alami. Padahal, jadi perempuan saja menurutku sudah berat: kamu harus mengalami menstruasi bulanan yang sakitnya saya yakin setara dengan sunat bagi laki-laki.
Bedanya, sakitnya disunat itu cuma sekali seumur hidup bagi laki-laki, tapi sakitnya menstruasi bagi perempuan itu terjadi tiap bulan. Sekali lagi, tiap bulan. Belum lagi jika ia sudah hamil dan melahirkan dan terus bekerja demi menafkahi keluarga, demi merengkuh mimpinya sebagai manusia, sebagai perempuan.
Makanya, pilihan bagi Muslimah untuk bekerja dan karir adalah sebuah jalan ninja yang luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya. Dan pilihan terbaik bagi kita sebagai manusia adalah menghormatinya dengan sepenuh-penuhnya penghormatan seperti halnya Nabi begitu menghormati sosok Khadijah yang juga bekerja membangun mimpinya.
—
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Islami.co.