Mutiara Anissa: Pentingnya Representasi Perempuan dan Pemimpin Perempuan di Masa Pandemi
Pada awal 2020, dunia mengalami pandemi Covid-19. Muti, panggilan akrab Mutiara, bersama kedua temannya menginisiasi Pandemic Talks—sebuah akun Instagram yang mengkompilasi dan menyajikan data-data resmi soal pandemi virus corona, memberikan informasi saintifik dan sosial secara terang dan blak-blakan. Para inisiator Pandemic Talks merupakan relawan yang mengisi gap informasi terkait pandemi di Indonesia. Muti sendiri sendiri merupakan seorang ilmuwan biomedikal.
Muti adalah satu-satunya perempuan di Pandemic Talks. Pada Desember kemarin, Pandemic Talks berbicara dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono. Muti sedang hamil tujuh bulan saat itu. Selain melakukan edukasi saintifik di Pandemic Talks, Muti juga seorang saintis biomedikal yang menjadi peneliti biologi molekuler. Mayoritas teman-teman Muti di biomedikal adalah perempuan, terlebih atasannya juga seorang perempuan. Menurut Muti, penting representasi perempuan di dunia sains sehingga banyak perempuan lainnya yang ingin bergabung dan belajar. Tidak ada lagi stigma sains itu maskulin dan susah. Selain peneliti, Muti juga seorang dosen di Indonesia International Institute for Life Science.
Kenapa Muti memilih menjadi saintis yang dianggap susah dan ribet?
Ketika SMA, ia ingin berkarier di bidang yang sangat berguna bagi masyarakat. Karena suka biologi, Muti merasa sains biomedikal unik sekali, jarang dipelajari, dan jarang dipahami. Kesempatan memilih bidang biomedikal ini tidak akan terjadi tanpa support system-nya. Setelah lulus SMA, orang tua Muti percaya dan mendukung pilihannya ini meski kedua orang tuanya tidak ada yang berlatar saintis—ayahnya bekerja di bank dan ibunya seorang konsultan independen dan spesialis gender.
Berada di dunia sains bukanlah sesuatu yang mudah. Selain didukung keluarga, Muti juga didukung suami dan keluarganya ketika sudah menikah. Di rumah, ia dan suami bisa bekerja sebagai sebuah tim. Muti dan suami adalah generasi milenial dan sangat mengenal teknologi. Dengan itu, mereka menjadi lebih terbuka dengan isu kesetaraan. Ia dan suami sadar dengan isu tersebut. Dengan itu, mereka bisa berbagi tanggung jawab dan Muti bisa terus berkarier dan berkarya. Setelah menikah, Muti mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di Inggris dan suaminya menemaninya tinggal di London.
Memang, dunia sains, teknologi, engineering, dan matematika masih didominasi laki-laki. Namun kantor tempat Muti bekerja justru tidak demikian; karena 50 persen lebih adalah perempuan dan atasannya juga seorang perempuan. Tidak semua lab memiliki hal itu. Perempuan membutuhkan usaha dan kerja keras lebih dari laki-laki untuk mencapai posisi decision making. Tantangan perempuan di dunia sains adalah—pengalaman pribadi dan orang lain—memiliki work-life balance ketika perempuan saintis menjadi ibu.
“Banyak perempuan memang tidak sadar dengan potensinya. Hal penting yang harus dimiliki perempuan adalah kepercayaan diri yang tinggi. Kita juga harus memiliki dedikasi dan kerja keras. Lebih dari itu, lingkungan kerja dan rumah yang mendukung juga sangat penting. Kita harus terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak tersebut. Di antara solusinya—dari tempat kerja—adalah jam kerja yang fleksibel, kebijakan manajemen yang ramah perempuan, penilaian yang adil terkait performa, dan bimbingan (mentorship),” tutur Muti.
Muti juga menekankan bahwa representasi perempuan itu penting sekali. Representasi pemimpin perempuan di pandemi sangat penting. Di Hari Perempuan Internasional, Pandemic Talks mengunggah tema women leaders dan pandemi.
Soal komunikasi publik saat pandemi, ternyata pemimpin perempuan jauh lebih baik.
Menurut penelitian profesor ekonomi Inggris 2020, negara yang memiliki pemimpin perempuan lebih sukses menangani pandemi, dengan tingkat kematian dan utangnya lebih rendah daripada negara dengan pemimpin laki-laki. Ini berdasarkan tindakan proaktif yang diambil pemimpin perempuan, bukan karena keberuntungan atau kebetulan. Misalnya, Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen. Dia sangat baik memimpin negaranya melewati pandemi karena dia belajar dari epidemi SARS pada 2006 lalu. Taiwan merupakan salah satu negara yang menutup perbatasannya setelah China pada saat awal pandemi. Dia juga melakukan screening dengan cepat dan menaikkan produksi masker. Karena kebijakan-kebijakannya itu, total kasus positif Covid-19 di Taiwan hingga hari ini hanya seribu kasus.
Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, juga banyak dikagumi banyak orang ketika pandemi. Pada awal pandemi, dia melakukan lockdown ketat dan melarang warga asing masuk ke negaranya di saat baru ada enam kasus. Dengan kebijakan lockdown, dia bisa menekan kasus Covid-19 dan kehidupan di sana sudah berlangsung normal. Pada awal pandemi, Ardern berkomunikasi dengan rakyatnya dengan Facebook Live setiap harinya dan menjawab pertanyaan dari warganya. Hal ini membuat tingkat kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya meningkat.
Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg, juga menggunakan strategi komunikasi yang unik. Dia melakukan jumpa pers dengan mengundang anak-anak. Dia menjawab pertanyaan dari anak-anak dan menjelaskannya dengan sangat simpel dan jelas. Kemudian Kanselir Jerman, Angela Merkel, sejak awal menyampaikan bahwa virus corona adalah virus yang berbahaya. Karena itu, ini harus dihadapi dengan serius. Jerman tidak memiliki fase denial seperti banyak negara lainnya. Uniknya, Merkel bisa menjelaskan konsep-konsep saintifik yang sangat rumit dengan jelas dan sederhana. Sebelum menjadi Kanselir, Merkel adalah seorang saintis. Ini menunjukkan bahwa perempuan bisa terus berkarier sesuai dengan kemampuannya.
“Saya tidak ingin menyampaikan bahwa, semua pemimpin perempuan adalah pemimpin yang baik di saat krisis dan laki-laki adalah pemimpin yang buruk. Namun, penelitian itu menunjukkan bahwa perempuan memiliki kesamaan ciri khas yang sangat baik,” ujar Muti.
Beberapa soft skills yang dimiliki perempuan adalah cara komunikasi yang empati dan peduli, mendengarkan banyak orang, berkolaborasi dengan cara yang unik, dan keterlibatan yang tinggi dengan orang lain. Dulu, ini dianggap sebagai sebuah kelemahan bagi perempuan pemimpin. Namun pandemi menunjukkan bahwa soft skill itu menjadi sangat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk menghadapi krisis.
Sebagai perempuan, kita harus berani menjadi diri sendiri, serta mengikuti naluri dan insting. Jangan menutupi sifat-sifat yang dirasa terlalu feminin atau ragu menjadi sosok pemimpin. Perempuan telah membuktikan berkali-kali bahwa perempuan bisa unggul jika diberikan kesempatan, sebagaimana para pemimpin perempuan tersebut. Kita membutuhkan lebih banyak pemimpin perempuan dan pekerja perempuan.
—
Tulisan ini diolah dari hasil webinar Choose to Challenge: Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja