Posts

Ringkasan Pidato Kunci “Memilih Peluang Memanfaatkan Kesempatan”

Pidato oleh: DR. (HC). Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum.

Pertama-tama saya ingin menyampaikan SELAMAT HARI PEREMPUAN INTERNSIONAL yang ke 64 – jika dihitung sejak peresmiannya oleh PBB tahun 1975. Atau yang ke 111 jika kita hitung dari awal gerakan kaum permpuan yang mempelopori lahirnya Hari Perempuan Internasional di berbagai belahan dunia. Memakai tahun yang manapun, bagi saya, 8 Maret sangatlah istimewa. Karena bertepatan juga dengan hari ulang tahun saya. Jadi tanpa ada pesta pun, seluruh dunia selalu merayakannya. Dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan pokok-pokok pikiran saya mengenai topik : Memilih Peluang Memanfaatkan Kesempatan.

Dalam suasana pandemi seperti sekarang ini, peran perempuan menjadi sangat penting, karena dalam situasi yang tidak normal, perempuan justru menjadi tumpuan bagi setiap keluarga. Saat para lelaki bingung dan mengalami depresi karena kehilangan pekerjaan, perempuan menjadi penentu keutuhan keluarga. Perempuan menjadi tumpuan kegalauan suami menghadapi tekanan- tekanan hidup. Kalau pemerintah tidak responsif pada perubahan-perubahan ini, dan kalau perempuan tidak kuat, maka keutuhan keluarga bisa terancam. Tapi jika pemerintah responsif gender, memperhatikan perubahan-perubahan relasi yang terjadi yang disebabkan oleh pandemi ini maka perempuan akan tangguh dan kuat, bisa membangkitkan dirinya sendiri dan atau membangkitkan semangat suami (lelaki), membantu menyelesaikan tekanan hidup secara bersama-sama. Perempuan tidak hanya dituntut berperan ganda, tetapi harus menjalankan multi peran; sebagai ibu, istri, pendidik, sekaligus juga tulang punggung keluarga demi kelangsungan hidup rumah tangga dan keluarganya. Dan untuk itu dukungan pemerintah, sistem di dalam masyarakat, sektor usaha serta pandangan sosial keagamaan harus ikut mendukung.

Data Biro Pusat Statistik menunjukkan, jenis pekerjaan perempuan telah menyebar di berbagai profesi, mulai dari sektor jasa sampai sektor kepemimpinan. Survey tahun 2018 dan 2019 menunjukkan gambaran luasnya kesempatan kerja bagi perempuan (Lihat Gambar 1).

Sebagaimana terlihat dalam diagram di atas, sektor jasa merupakan profesi yang paling banyak menyerap tenaga kerja perempuan, sebesar 58,91%, disusul tenaga profesional, tehnisi dan tenaga usaha penjualan (marketing), sekitar 55%, pejabat pelaksana, tenaga tata usaha dan sebagainya, sekitar 50%, tenaga usaha pertanian, perburuhan dan sebagainya 49%, tenaga produksi, operator alat angkutan dan sebagainya 24%, tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan 21,66%, lain-lain 8%.

Data ini menunjukkan, pertama terbukanya berbagai jenis lapangan pekerjaan bagi kaum perempuan. Saat ini hampir tidak ada lagi jenis pekerjaan yang tabu dilaksanakan oleh kaum perempuan, demikian sebaliknya; kedua meningkatnya profesionalitas sebagai ukuran dalam pekerjaan. Artinya penerimaan tenaga tidak lagi mempertimbangkan faktor gender (jenis kelaminnya) tetapi pada profesionalitas seseorang. Ketiga, meningkatnya profesionalitas kaum perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan sehingga bisa berkompetisi dengan kaum laki-laki.

Data-data penyebaran tenaga kerja perempuan di berbagai bidang profesi menunjukkan bahwa saat ini taraf pendidikan dan penguasaan soft skill perempuan sudah meningkat secara signifikan sehingga mampu berkompetisi secara profesional dengan kaum lelaki.

Masuknya perempuan dalam berbagai ragam pekerjaan itu merupakan sesuatu yang membahagiakana dan patut dirayakan, namun bukan berarti hal tersebut menunjukkan hilangnya masalah atau tantangan bagi kaum perempuan.

Paling tidak ada tiga hal pokok yang menjadi tantangan atau masalah bagi tenaga kerja perempuan. Pertama, soal kesetaraan upah antara kaum lelaki dan perempuan terutama disektor pekerjaan informal. Data statistik menunjukkan sejak tahun 1990 hingga 2013 upah/gaji yang dterima oleh pekerja perempuan selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan pekerja lelaki. Kesenjangan upah/gaji rata-rata antara pekerja lelaki dengan perempuan sekitar 30% setiap dekade. (Abdullah, 1995). Kondisi ini mengindikasikan masih adanya konstruksi sosial yang masih menempatkan perempuan secara subordinat dalam berbagai kegiatan ekonomi.

Kedua, soal etos kompetisi dan peningkatan kualitas bagi kaum perempuan. Dalam suasana kompetisi yang sudah terbuka seperti sekarang ini, d imana persoalan seharusnya gender bukan menjadi penghalang untuk memperoleh pekerjaan, maka yang dibutuhkan adalah peningkatan skill dan profesionalitas bagi kaum perempuan agar memiliki kualifikasi yang tinggi sehingga memenangkan kompetisi. Ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi kaum perempuan. Artinya, meski kesempatan sudah terbuka, berbagai lapangan pekerjaan terbuka, tetapi jika kaum perempuan tidak mampu memanfaatkan dengan meningkatkan kualitas diri serta tidak ada daya dukung sosial di keluarga untuk bersama-sama mengatasi beban rumah tangga maka dengan sendirinya perempuan akan tersingkir dan kalah dalam kompetisi. Sehingga pintu yang telah terbuka akan tertutup kembali. Bukan kerena persoalan dia pekerja perempuan tetapi karena tenaga kerja perempuan tersebut tidak memiliki kualifikasi yang memadai, baik akibat beratnya beban karena menghadapi beban ganda maupun kuatnya hal-hal yang menghalanginya untuk berani bersaing. Tantangan ini hanya bisa dijawab dengan meningkatkan kualitas diri naik secara ketrampilan (skill) maupun intelektual serta perubahan di tingkat keluarga yang mendukung mereka.

Ketiga, soal pemahaman keagamaan yang sempit dan dangkal. Ini persoalan serius terkait dengan memilih dan memanfaatkan kesempatan bekerja yang telah terbuka bagi kaum perempuan. Pemahaman agama yang sempit dan dangkal bisa menjadi belenggu bagi kaum perempuan untuk memperoleh kesempatan kerja yang telah terbuka. Saat ini ada sejumlah perempuan berhenti menjadi karyawan dan tenaga profesional setelah mengikuti gerakan hijrah. Ada di antara mereka yang sudah sampai menduduki jabatan manager di suatu bank, menjabat di posisi strategis di suatu perusahaan dan lembaga bergengsi. Tapi mereka keluar dengan alasan perintah agama dan ingin mencari rejeki yang halal. Cara pandang seperti ini telah menutup kesempatan dan pintu bagi kaum perempuan untuk berkarya mengembangkan profesinya yang sebenarnya juga merupakan perintah agama. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman agama yang sempit bisa menutup pintu pekerjaan kaum perempuan yang sudah terbuka.

Tiga tantangan utama inilah yang harus dijawab dan diselesaikan oleh kita bersama terkait dengan upaya memilih peluang dan memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan bagi kaum perempuan. Jika ketiga tantangan tersebut tidak bisa diselesaikan, maka terbukanya pintu dan kesempatan yang sudah terjadi seperti sekarang ini bukan tidak mungkin akan tertutup lagi. Sebaliknya jika kita semua bisa menjawab dan menyelesaikan tiga persoalan dasar di atas, maka kaum perempuan tidak saja bisa mempertahankan kesempatan dan peluang tetapi justru akan menjadi pemenang dalam setiap kesempatan dan peluang. Dengan demikian perempuan bisa benar-benar merayakan ragam perkerjaan yang telah diperolehnya melalui kompetisi yang sehat dan profesional serta kebijakan yang responsif dan sensitif kepada keadaan perempuan dengan peran-perannya yang multifungsi tadi [].

Tulisan ini berdasarkan pidato Ibu Sinta Nuriyah pada 24 Maret 2021 pada Webinar Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja.

Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja: Melintasi Batas-Batas Keterbatasan

Oleh: Nur Hayati Aida

Apakah masih relevan membicaran isu tentang perempuan bekerja di era digital seperti ini?

Pertanyaan pemantik itu dilontarkan oleh Inaya Wahid dalam acara Webinar #ChooseToChallange: Merayakan Keragaman Perempuan Bekerja yang diselenggarakan Rumah KitaB pada tanggal 24 Maret 2021. Acara ini hadiri oleh Allaster Cox (Charge d’Affaires of the Australian Embassy Jakarta), Sinta Nuriyah Wahid, Bintang Puspayoga (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Lies Marcoes (Direktur Eksekutif Rumah KitaB), Nani Zulminarni (Regional Director of Ashoka Southeast Asia), Rinawati Prihatiningsih (Entrepreneur, IWAPI & Kadin Member Committee), Savic Ali (Founder Islami.co), Zukhrufah DA (Writer, Commcap), dan Mutiara Anissa (Biomedical Scientist, Inisiator Pandemic Talks).

Tentu bukan tanpa alasan mengapa Inaya Wahid—yang berperan sebagai moderator— melontarkan pertanyaan itu. Sebab, sejak dalam rangkaian seremonial webinar, sudah muncul banyak data mengapa harus mendukung perempuan bekerja.

Pembukaan yang disampaikan oleh Kedutaan Australia—yang diwakili oleh Allaster Cox— menyampaikan bahwa peran perempuan dalam dunia ekonomi, apalagi di masa pandemi sangat siginifikan. Bagi Cox, melibatkan perempuan dalam dunia kerja dapat menolong Negara keluar dari krisis ekonomi.

Sayangnya, kata Sinta Nuriyah Wahid, perempuan bekerja menghadapi tantangan serius, salah satunya adalah pandangan dan pemahaman agama yang dangkal—yang menganggap perempuan hanya cocok dan pantas di ruang domestik. Tidak sedikit, kata Sinta Nuriyah Wahid, perempuan yang memilih mundur dari dunia kerja setelah mengikuti pengajian dari kelompok ultrakonservatif.

Hal senada juga disampaikan oleh Menteri PPPA, Bintang Puspoyoga, yang menyesalkan anggapan perempuan baik adalah perempuan yang berada di dalam rumah. Dan menganggap dunia luar (kerja) bukanlah tempat perempuan. Anggapan ini, menurut Bintang Puspoyoga, mengecilkan peran perempuan dalam dunia ekonomi, dan mengukuhkan area domestik sebagai ruang perempuan. Padahal dengan memberikan peluang yang sama dalam dunia kerja kepada perempuan, akan muncul kreativitas dan inisiatif yang tak kalah keren.

Lies Marcoes, Direktur Eksekutif Rumah KitaB, menyebut bahwa Webinar ini muncul tidak dalam ruang kosong. Sebab, dalam studi yang dilakukan Rumah KitaB, narasi agama merumahkan dan melemahkan perempuan bekerja kian masif, sehingga perlu adanya narasi tanding yang lebih ramah terhadap perempuan. Oleh karenanya, Rumah KitaB mengusung kampanye #MuslimahBekerja.

Dari rangkaian sambutan dalam resemonial itu, pertanyaan Inaya Wahid menemukan relevansinya. Sebab, meskipun dalam sejarahnya perempuan bekerja di Indonesia adalah sesuatu yang biasa, tetapi sejarah bukanlah benda statis. Ia merupakan ruang terbuka yang bisa diisi dengan berbagai narasi. Kuat dan lemahnya sejarah perempuan bekerja di masa depan bergantung bagaimana peran dan narasi perempuan didengungkan.

Dengan keadaan seperti ini, Nani Zulminarni dengan mengutip laporan Global Gender Gap pada 2020 menyebut bahwa dibutuhkan setidaknya 257 tahun untuk mencapai kesetaraan partisipasi dan kesempatan ekonomi perempuan dengan laki-laki. Sebab, perempuan usia 25-34 tahun, 25% lebih berpeluang untuk hidup dalam kemiskinan ekstrem, dan Kesenjangan gender partisipasi dalam ketenaga kerjaan.

Savic Ali menyoroti menguatnya narasi tentang tempat terbaik perempuan berada di rumah tidak tidak bisa dilepaskan dari banyak kelompok ultrakonservatif di dunia maya. Menurutnya, meski kelompok ultrakonservatif ini tidak mempromosikan kekerasan, tetapi memiliki pandangan yang lebih puritan tentang perempuan dan secara aktif menyuarakan gagasannya via portal media atau website, medis sosial, dan youtube. Oleh karenya, menurut Savic Ali, perlu secara aktif untuk mengkampanyekan kembali ruang aman di berbagai platform media digital.
Menyambung apa yang telah dipaparkan oleh Savic Ali, Zukhrufah DA mengatakan, setidaknya pernah ada tiga kampanye global yang digagas oleh dan dari perempuan yang terbukti berhasil, dan dilakukan via online, di antaranya adalah #ChallengeAccepted, #WomenSupportingWomen, #HeForShe, #AutoCompleteTruth, dan #WomenShould. Sehingga kampanye #MuslimahBekerja bisa dimaksimalkan melalui platform media.

Sementara itu, Mutiara Anissa, seorang Biomedical Scientist, menyebut bahwa support system menjadi pondasi penting dalam mendukung perempuan bekerja. Potensi perempuan, Mutiara Anissa, tidak kalah dari laki-laki apabila diberi kesempatan. Dengan menunjukkan kepemimpinan perempuan dalam mengatasi dan mengendalikan pandemi, Mutiara Anissa membalikkan asumsi negatif terhadap kemampuan perempuan.

Kegiatan webinar yang dilakukan secara daring ini telah menjaring 259 pendaftar dan diikuti oleh 173 peserta dari beragam latar belakang.

Tulisan pernah dipublikasikan di sini.

Memetakan Tantangan Perempuan

Oleh: Lies Marcoes

Tema International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional tahun ini adalah ”Choose to Challenge”. Secara bebas ini bisa diartikan ”berani menantang”.

Ibarat pit stop untuk pelari maraton, bagi perempuan ini adalah momentum untuk sejenak berhenti dan memetakan kekuatannya dalam menghadapi tantangan masa depan.

Secara konsisten, setidaknya ada tiga masalah yang terus muncul sebagai tantangan belakangan ini: peluang bonus demografi, dampak perubahan sosial ekonomi pada relasi jender, serta menguatnya konservativisme budaya dan agama. Ketiga isu ini sangat relevan dilihat dalam konteks penanganan pandemi Covid-19 saat ini.

Perempuan dan Bonus Demografi

Bonus demografi bagi perempuan bisa menjadi peluang. Badan Kependudukan Dunia dan Bappenas telah menghitung bahwa dalam 10 tahun ke depan dan dalam jangka 10 tahun itu (2030-2040) Indonesia akan kelimpahan panen secara demografi. Ini karena jumlah penduduk usia produktif akan mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang separuhnya perempuan. Namun, panen ini hanya bisa dipetik jika kualitas SDM naik.

Covid-19 yang selama satu tahun menghantam dunia, berdampak besar pada proses-proses peningkatan SDM, tak terkecuali di Indonesia. Di lapangan, kita berhadapan dengan soal-soal mendasar untuk capaian pembangunan: angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka partisipasi pendidikan anak perempuan dan partisipasi ekonomi. Ada kemajuan dalam bidang-bidang itu, tetapi cenderung stagnan. Apalagi setelah dihantam Covid-19.

Demikian juga dalam upaya penurunan angka kawin anak. Padahal, kawin anak punya implikasi lanjutan pada angka putus sekolah dan akhirnya berdampak terhadap kualitas SDM. Data Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menunjukkan, satu dari delapan anak perempuan masuk ke perangkap kawin anak. Upaya politik menaikkan usia kawin melalui perubahan Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 19, untuk sementara, malah menaikkan angka dispensasi nikah.

Walhasil, bonus demografi secara nyata berhadapan dengan kesenjangan yang tajam antarwilayah. Pengaruhnya tidak hanya pada kesenjangan capaian Indeks Pembangunan Manusia, tetapi juga pada peluang bonus demografi itu.

Ini contoh kesenjangan dimaksud. Mutiara Anissa MSc adalah perempuan milenial Indonesia ahli biologi molekuler lulusan universitas ternama di London. Dengan memanfaatkan teknologi canggih di bidang komunikasi dan kemampuan bahasa Inggris yang prima, ia fasih menyuarakan secara akademis isu pandemi dan kanker, bidang yang ditekuninya. Ia mengelola pandemic talks melalui ragam platform media sosial sehingga awam pun bisa paham.

Ia kerap menjadi satu-satunya perempuan pembicara paling muda dalam forum ”bapak-bapak” yang ahli dalam isu Covid-19 ini. Bersama sejumlah perempuan seusianya yang menekui bidang sains, ia menjadi aset penting bagi masa depan bio-medical scientist untuk menyongsong bonus demografi dalam 10 tahun mendatang.

Dalam konteks bonus demografi, sosok Mutiara benar-benar menjadi mutiara untuk peluang demografi di negeri ini. Ia berani menerima tantangan dunia sebagai ahli dalam ilmu yang masih langka ini. Ia mendapat pendidikan terbaik sesuai pilihan dan minatnya melalui jalur beasiswa yang disediakan pemerintah. Ia segera mendapat pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kebutuhan di dalam negeri tatkala Covid-19 menghantam dunia kesehatan.
Selain itu, tersedia juga lapangan pekerjaan yang diciptakan pihak swasta dan universitas yang peduli dan paham perlunya teknologi kedokteran di masa depan. Dan tak kalah penting, secara kultural ia tumbuh dalam keluarga yang tak membatasi pilihan-pilihan berdasarkan prasangka jendernya sebagai perempuan.

Namun, di sudut negeri ini, penelitian Rumah Kitab melaporkan kisah Nisa yang lain yang ditemui di Lombok Utara atau Madura. Kisah serupa juga dikonfirmasi oleh Misiyah, peneliti KAPAL Perempuan di Lombok Timur. Nisa, seperti banyak dialami perempuan muda dari kampungnya, ditinggal merantau oleh ibunya sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Ayahnya, atau lelaki seperti ayah Nisa, memilih kawin lagi karena secara kultural lelaki perlu ada yang mengurus.

Sementara adat budaya tak dapat mencegah praktik kawin lari atau kawin siri. Padahal, orang dewasa paham, begitu anak perempuan yang belum lagi khatam sekolah itu dikawinkan, maka bagi bonus demografi mereka bukan lagi sebagai penyumbang, melainkan penghambat peluang demografi. Daya saing seperti apa yang dapat diandalkan dari SDM yang tak mendapatkan capaian pendidikan optimal?

Jurang sosial, politik, dan ekonomi di antara dua kelompok perempuan muda di berbagai wilayah di negeri ini begitu curam. Dan saya tak percaya ini adalah takdirnya. Dari potensi sumber daya ekonomi, NTB merupakan penghasil padi sekaligus potensi wisata yang menjanjikan.

Ini tak beda dengan Papua, Kalimantan, dan Provinsi Aceh yang menjadi penyumbang ekonomi paling penting bagi pundi-pundi negeri ini. Namun, perbedaan akses dan kerumitan-kerumitan sosial politik yang menyertainya tak dengan segera dapat mengatasi kesenjangan antarperempuan di berbagai wilayah di negeri ini.

Gerakan Perempuan dan Relasi Jender

Problem yang dihadapi Nisa dari NTB adalah hilangnya peluang pendidikan dan ekonomi karena dihadang kemiskinan dan kebudayaan yang mengunci nilai-nilai relasi jender di ruang sosial budaya yang semakin konservatif dan regresif.

Relasi jender dalam masyarakat dibiarkan dan bahkan dikukuhkan menjadi relasi yang semakin jenjang, genjang, dan timpang. Banyak lelaki terus berpegang kepada nilai-nilai kolot demi mempertahankan dominasi atas perempuan.

Jika perlu, dilakukan atas nama nilai-nilai agama yang pantang berubah. Ketika perempuan menerima tantangan untuk masuk ke pasar tenaga kerja yang telah terbuka lebar berkat globalisasi ekonomi, di dalam rumah, lelaki dan budaya patriarki tak kunjung siap berubah.

Akibatnya, perempuan dan anak perempuan harus menanggung beban lebih besar atas perubahan-perubahan sosial ekonomi yang telah menciptakan peluang ekonomi yang besar itu.
Ternyata terbukanya peluang tidak dengan sendirinya melahirkan akselerasi kebudayaan yang dapat menopang perubahan akses dan partisipasi perempuan dalam meraih manfaat seoptimal mungkin dari bonus demografi ini.

Jika menengok sejarah gerakan perempuan di mana pun di dunia, sesungguhnya perubahan-perubahan besar ke arah kehidupan yang lebih adil dan demokratis kerap dipicu oleh perubahan relasi jender di ruang publik.
Perubahan itu biasanya digagas perempuan dengan menantang hambatan yang mereka hadapi. Kartini, misalnya, ia menantang kaum feodal patriark sekaligus kebijakan kolonial dengan menuntut agar anak perempuan mendapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya.

Sejarah Hari Perempuan Internasional atau IWD sendiri tak lepas dari keberanian perempuan menantang praktik-praktik penindasan perempuan di ruang publik. Mereka menuntut persamaan hak pekerja, upah, dan hak mendapatkan wakil mereka di parlemen, tempat nasib kaum pekerja, termasuk mereka, diperbincangkan.
Tentu saja manfaat dari keberanian mereka tak dinikmati sendiri. Anak-anak milenial yang lahir dari ibu yang merdeka cenderung menjadi lebih mandiri dan tak takut tantangan.

Di era kekinian, misalnya, kita menyaksikan keberanian Malala menantang kaum pemuja kekuasaan atas nama Tuhan. Atau keberanian Greta Thunberg yang menuntut tanggung jawab dan kesadaran para pebisnis untuk menghentikan pemanasan global lewat usaha-usaha sadar lingkungan. Begitu juga dengan Amanda Gorman, pegiat seni, yang dengan puisinya mengajak rakyat Amerika kembali kepada esensi demokrasi: Amerika untuk semua.
Namun, dalam waktu yang sama, sejarah menyaksikan arus balik bagi keberanian perempuan melawan kebekuan dan kebuntuan itu. Kebudayaan patriarki secara tekun dan mengendap-endap menciptakan gerak yang sebaliknya.
Ketika para patriark gugup dan gagap menyaksikan globalisasi yang memberi peluang dan kemerdekaan kepada perempuan untuk maju, mereka meminjam kekuatan agama untuk menghentikannya melalui kontrol atas tubuh dan eksistensi perempuan. Padahal, bagi banyak perempuan, penggunaan mantra agama dalam mengukuhkan dominasi konservativisme, cukup ampuh melumpuhkan kesadaran kritis mereka.

Sebagai titik pemberhentian sementara dalam memanfaatkan peluang demografi di negeri ini, Hari Perempuan Internasional semestinya menjadi momentum penting untuk membaca ulang dan menjawab persoalan yang dihadapi perempuan di masa depan. Kita harus berani menerima tantangan mereka untuk berubah demi sejarah peradaban yang lebih pantas untuk diingat dan dirayakan!

Naskah yang sama telah diterbitkan dalam Harian Kompas, 8 Maret 2021, hal 6.

Perempuan Santri adalah Perempuan yang Bekerja (Ibuku Perempuan Kepala Keluarga)

Oleh: Jamaluddin Mohammad

Saya hidup dan besar di lingkungan pondok pesantren. Ayah saya seorang guru ngaji sekaligus pimpinan pesantren. Sebelum menjadi PNS, ayah saya sepenuhnya menjadi pengasuh para santri. Sebagai guru ngaji yang tak berpenghasilan tetap, ayah saya pernah nyambi mencari nafkah macam-macam usaha; berjualan bakso keliling, berkebun, hingga berternak ayam.

Untuk mencukupi perekonomian keluarga, ibu saya membuka warung nasi untuk para santri. Ibu pernah bercerita, setiap jam dua malam ia pergi ke pasar belanja keperluan warung sekaligus dilanjutkan untu memasak, menyiapkan sarapan untuk para santri. Setelah beranjak tua dan memiliki enam orang anak, segala urusan warung diserahkan kepada para santri putri senior yang berhidmat kepada pesantren ayah saya. Mereklah yang kemudian mengelolanya.

Ibu saya tipikal perempuan tangguh yang tak mau bergentung pada suami. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ibu saya berdagang, berkebun juga bertani. Seingat saya, selama saya sekolah dan mesantren, saya selalu meminta uang kepada ibu. Jarang sekali meminta kepada ayah. Menurut pengakuan ibu, ia jarang diberi uang oleh ayah. Tapi ibu memaklumi. Hari-hari ayahku  dihabiskan seluruhnya untuk mengajar — dari pagi hingga larut malam nyaris tanpa libur. Ia hanya mengandalkan gaji bulanan PNS guru madrasah yang tak seberapa. Ayah saya dimasukkan PNS oleh paman saya yang ketika itu —- sekitar tahun 70an — pemerintah sedang membutuhkan guru agama.

Dalam kehidupan keluarga, ibu saya praktis berperan sebagai kelapa keluarga.  Hampir seluruh tanggung jawab dan kebutuhan keluarga ditangani oleh ibu dan cara ibu. Secara de facto ibulah kepala keluarga di rumah tangga orang tua saya. Semua persoalan keluarga dipikirkan dan kemudian diputuskan oleh ibu setelah dibicarakan dengan ayah. Ayah biasanya hanya mengamini dan menyetujui. Meskipun demikian, ayah saya tak pernah menunjukkan bahwa beliau merasa dilangkahi atau diambil alih wewenangnya sebagai “kepala keluarga”. Mungkin, secara normatif, ayah saya adalah kepala keluarga. Namun, seluruh tugas dan fungsi kepala keluarga, wewenangnya ada pada ibu saya.

Mungkin, bagi sebagian orang yang cara pandang keagamaannya masih sederhana, perempuan sebagai kepala keluarga masih dianggap aneh, di luar mainstream, bahkan bertentangan dengan norma dan ajaran agama. Pandangan dan pemahaman bahwa suami sebagai kepala keluarga memang sudah melembaga baik dalam Undang Undang Negara maupun agama. Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 31 Ayat 3 menyebut bahwa “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Begitu pun dalam agama, mayoritas ulama menafsiri QS An-Nisa:34 dengan laki-laki sebagai kepala keluarga.

Sebagai kepala keluarga, suami memiliki otoritas dan tanggung jawab penuh terhadap keluarga, termasuk di dalamnya tanggung jawab terhadap kehidupan ekonomi keluarga. Dari sini kemudian lahir pembagian peran dan tugas berdasarkan jender. Suami bekerja di luar (ruang publik) sedangkan istri mengurus rumah tangga (ruang domestik). Pembagian peran dan tugas ini seolah-olah sesuatu yang given alias sudah paten dan tak bisa diganggu gugat. Bahkan ia disebut sebagai prototype keluarga ideal dan idaman.

Padahal, realitasnya tak sesederhana itu. Dalam struktur masyarakat yang masih bersahaja, boleh jadi pembagian kerja yang biner tersebut tak bermasalah. Beban dan tugas keluarga masih bisa ditanggung dan dipikul semuanya oleh seorang suami. Namun, dalam struktur masyarakat dan susunan pembagian kerja yang kompleks, membangun keluarga tak cukup hanya mengandalkan suami. Sebuah keluarga butuh kerjasama suami-istri secara timbal balik, saling mengisi dan memenuhi fungsi dan tugas masing-masing yang kadang-kadang harus bersilangan untuk membangun kesalingan. Karena itu, pembagian kerja berdasarkan jender antara domestik dan publik sulit menemukan relevansinya  lagi. Mengingat kedua ruang tersebut saat ini siapapun bisa saling mengisi dan bertukar tempat.

Demikian halnya  yang dilakukan ibu saya. Ketika semua waktu suaminya dihabiskan untuk mengajar dan mendidik santri-santrinya, maka ruang kosong lain diisi ibu saya. Ibu berdagang dan bertani untuk menopang kehidupan ekonomi keluarga sekaligus membantu para santri yang bagi ibu saya juga dianggap anak-anaknya. Anehnya, hal ini terjadi di sebuah keluarga santri, keluarga yang sangat ketat menjaga norma-norma dan ajaran agama. Sebuah keluarga kiai yang pasti membaca QS An-Nisa:34 itu. Artinya, dalam kehidupan nyata, tafsir keagamaan begitu lentur dan fleksibel, bisa beradaptasi dengan ruang dan waktu. Hal ini sejalan dengan salah satu kaidah fikih: “al-hukmu yadurru ma’a illatihi wujudan awa adaman” (keberadaan hukum bergantung pada ada/tidaknya illat [alasan yang mendasari hukum]). Jika ilat itu berubah, maka hukum pun ikut berubah dan menyeseuaikan diri.

Karena itu, pemahaman dan penafsiran QS An-Nisa: 34 harus dilihat menggunakan kaca mata kesetaraan dan keadilan. Ayat tersebut tidak sedang mensubordinasi perempuan. Jika ayat itu dipahami secara tidak adil dan bias jender, maka akan bertentangan dengan ayat-ayat lain yang mengabarkan dan mengajarkan kesetaraan. Ajaran Tuhan tak mungkin kontradiktif dan saling menegasikan. Sebagaimana disebut dalam QS al-Imran: 195, QS al-Nahl: 97, juga QS An-Nisa 123 yang menyebut bahwa seluruh amal perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapat balasan setimpal dari Allah SWT. Ampunan Allah SWT berlaku sama baik untuk laki-laki maupun perempuan (QS Al-Ahzab: 23-24). Allah SWT juga tak membeda-bedakan jenis kelamin kecuali berdasarkan ketakwaan (QS al-Hujurat: 13).

Stereotype Perempuan

Hasil penelitian Rumah KitaB tentang “Perempuan Bekerja di Ruang Publik” menunjukkan ada semacam trend baru di kalangan muslim perkotaan untuk merumahkan perempuan. Mereka ingin menghidupkan lagi nilai-nilai dan ajaran konservatif yang membatasi aktivitas dan pekerjaan perempuan hanya di dalam rumah. Salah satunya berangkat dari pandangan stereotype bahwa perempuan adalah aurat dan sumber fitnah. Karena itu, bukan hanya tubuhnya yang harus ditutup rapat-rapat, ruang hidupnya pun harus dibatasi. Salah satu alasan kenapa perempuan tak dibolehkan keluar atau bekerja di luar rumah adalah karena alasan ini. Hal ini didukung pula oleh penafsiran dari ayat  “Berdiam dirilah di dalam rumah dan jangan menampakkan perhiasan (aurat) di hadapan orang lain (QS al-Ahzab: 33).

Jika melihat asbab nuzul (konteks) ayat ini, seseungguhnya bukan perintah untuk mendomestikasi perempuan. Ayat ini menyuruh istri-istri Nabi SAW untuk bersikap dan berprilaku sederhana sekaligus memperbanyak ibadah. Namun, mengapa ayat ini dipukul rata untuk semua perempuan? Hal ini tak lain dan tak bukan karena berangkat dari steretoype bahwa perempuan adalah aurat, sumber fitnah, karena itu fitrahnya di dalam rumah.

Jika kita jujur membaca ayat-ayat tentang aurat dan perintah menundukkan pandangan (ghaddul bashar), sesungguhnya tak hanya berlaku bagi perempuan (QS An-Nur: 31), melainkan berlaku juga bagi laki-laki (QS An-Nur: 30). Artinya, kita harus jujur dan proporsional, jika perempuan dianggap sebagai seumber fitnah karena aurat, harusnya laki-laki pun demikian karena sama-sama memiliki aurat. Namun, kenapa hanya perempuan yang disebut suber fitnah? Di sinilah pentingnya bersikap adil sejak dalam pikiran, dengan membaca ayat-ayat Allah dalam kehidupan. Wallahu a’lam bi sawab.

Penulis merupakan peneliti Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Unpaid Care Work: Kerja-Kerja Tersamar Perempuan yang Tak Diakui

Oleh: Fadilla Putri

Awal tahun 2020 lalu, tepat satu bulan sebelum pandemi, saya mengisi sebuah seminar berjudul Research Network Workshop yang diselenggarakan oleh Australia National University (ANU).  Acara ini bertujuan untuk saling berbagi hasil penelitian yang dilakukan oleh sejumlah akademisi, peneliti, aktivis, hingga lembaga non-profit seperti Rumah KitaB. Di sana, saya berbagi pengalaman penelitian Rumah KitaB dan berada dalam satu panel bersama tiga narasumber lainnya, yaitu SMERU Institut, Naima Thalib (mahasiswa ANU), dan Mia Siscawati (Dosen Kajian Gender Universitas Indonesia). Salah satu hasil penelitian yang menarik perhatian saya adalah penelitian SMERU Institut tentang unpaid care work (UCW).

Dalam definisi yang disampaikan SMERU berdasasarkan berbagai sumber[1]unpaid care work mencakupi mengurus anggota keluarga (direct caring), pekerjaan rumah tangga (indirect caring), dan kerja-kerja komunitas (voluntarily doing care). Berdasarkan data Susenas 2014 sebagaimana diolah SMERU, 97% perempuan/istri melakukan unpaid care work, terlepas ia memiliki pekerjaan penuh waktu, dibandingkan laki-laki/suami yang hanya 25% yang melakukannya. Selain istri, perempuan-perempuan yang melakukan UCW di antaranya adalah menantu perempuan (95%), perempuan kepala keluarga (88%), dan ibu mertua (69%).

Dengan data dan penelitian yang menggunakan perspektif feminis, kita bisa melihat bahwa kerja yang dilakukan perempuan jauh lebih berat daripada laki-laki dengan kerja-kerja rangkapnya yang “invisible” (tersamar) dan tidak berbayar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) diukur berdasarkan besarnya persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu negara/wilayah. Ini artinya, TPAK masih belum merekognisi kerja-kerja perempuan di luar pekerjaannya yang secara langsung berkontribusi secara ekonomi. Namun, apakah benar UCW yang dilakukan perempuan tidak memiliki kontribusi terhadap ekonomi?

Saya teringat rekan-rekan perempuan dari Lombok Utara, tepatnya di Kecamatan Tanjung. Mereka merupakan relawan pengajar di PAUD Alam Anak Negeri. Sekolah ini merupakan sayap gerakan Klub Baca Perempuan, yang merupakan mitra Rumah KitaB. Saya sebut mereka relawan karena meskipun mereka tenaga pengajar, hal itu dilakukan secara sukarela. Mereka adalah perempuan-perempuan yang mendedikasikan dirinya untuk pendidikan anak usia dini; Sapminten, Atun, Wahyuni, Sofi, dan Rizka.

Kak Atun merupakan salah seorang pengajar di PAUD Alam Anak Negeri. Dengan lokasi rumahnya yang jauh berada di atas bukit, setiap hari ia harus naik turun bukit menggunakan sepeda motor untuk mengajar. Meskipun di tengah wabah Covid-19 sekolah tidak masuk setiap hari, Kak Atun tetap melakukan kunjungan ke rumah-rumah murid untuk memantau proses belajar dari rumah. Sepanjang pengabdiannya, ia mendapatkan ongkos pengganti bensin yang tidak seberapa, dan honor guru yang datang tak menentu.

Sebenarnya, sekolah ini bukan tidak ingin menghargai jerih payah para guru PAUD. Namun dengan segala keterbatasannya, PAUD Alam Anak Negeri belum mampu membayar jerih payah guru-gurunya secara layak. PAUD ini sejak awal dirancang inklusif, sehingga anak murid yang berasal dari keluarga kurang mampu bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Sebagian besar dari mereka berayah ibu buruh tani, nelayan, atau mantan TKW; penghasilan mereka yang tergantung musim membuat mereka kesulitan untuk membayar biaya sekolah. Alhasil, pihak sekolah pun tidak mematok jumlah sumbangan pendidikan; yang terpenting anak-anak tetap mendapatkan pendidikan berkualitas. Sebagai gantinya, para orangtua diminta berkomitmen untuk turut belajar dan menyekolahkan anaknya hingga lulus.

Kebetulan Klub Baca Perempuan memiliki kebun pangan, sebuah inisiasi untuk ketahanan pangan di tengah wabah Covid-19. Kebun pangan ini kemudian menjadi kurikulum wajib bagi anak-anak PAUD; mereka belajar menanam hingga memahami dari mana makanan yang mereka konsumsi berasal. Bagi para orangtua murid, mereka juga disiapkan kebun pangan khusus, sehingga para orangtua bisa mengisi waktu sembari menunggu anaknya sekolah. Hasil kebun pangan dapat secara gratis dipanen dan dikonsumsi para murid dan orangtua PAUD. Hasil panen kebun pangan juga dimanfaatkan untuk menambah kas PAUD untuk biaya operasional.

Ketika uang kas sekolah berlebih, Kak Atun dan kawan-kawan bisa mendapatkan honor guru, dan kesemuanya selalu dibagi rata berlima. Namun dibandingkan membayar honor atau pengganti transport, mereka lebih senang membelanjakan uang kas untuk membeli bahan-bahan makanan, untuk kemudian mereka jual kembali. Hasilnya mereka kembalikan ke dana kas sekolah untuk membeli perlengkapan belajar.

Jangan bayangkan hidup Kak Atun dan rekan-rekan pengajar penuh dengan latar belakang ekonomi yang bekecukupan. Namun, mereka tidak pernah mengeluh. Bahkan, saat Nursyida, salah satu penggerak PAUD berencana ingin menutup sekolah karena tak ada biaya untuk menggaji guru, mereka berlima-lah (Kak Atun, Sapminten, Rizka, Sofi, dan Wahyuni) yang paling bersikeras menolaknya. Nursyida menceritakan pada saya, “Dengan kemampuan mereka, bisa saja mereka mencari pekerjaan di luar yang bisa memastikan mereka mendapatkan uang, tapi tidak, mereka tetap bertahan karena mereka mencintai apa yang mereka kerjakan.”

Dari cerita lima perempuan di atas, secara kasat mata, tampaknya kerja mereka tidak secara langsung berdampak pada perekonomian. Namun dengan perspektif feminis, kita bisa melihat bahwa mereka mengisi ruang-ruang kosong di komunitas; pemberdayaan dan pendidikan bagi kelompok marjinal. Mereka mendedikasikan ilmu, pikiran, tenaga, waktu, hingga terkadang uang, ada atau tidak ada upah yang dibayar (sebanding) dengan usaha mereka. Dalam jangka panjang, kerja-kerja mereka memiliki kontribusi besar tidak hanya kepada ekonomi, tetapi juga memberikan kesempatan yang sama pada anak-anak untuk memaksimalkan potensinya melalu pendidikan, dan menciptakan generasi yang berdaya dan berkualitas.

Mungkin kerja-kerja mereka berlangsung sunyi dan tidak bermakna secara statistik, namun kerja-kerja ini telah memberdayakan setiap orang yang telah mereka rangkul. Namun, mau sampai kapan kerja-kerja semacam ini tidak diakui? Sebab tanpa rekognisi, kerja mereka pun tidak akan dikenali dalam kebijakan.

[1] Budlender & Lund 2008; OECD 2014; UN Human Rights Council 2013

Penulis merupakan staf Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Khadijah ra Teladan Perempuan Pengusaha

Oleh: Achmat Hilmi Lc., MA.

Khadijah binti Khuwailid adalah perempuan bangsawan yang dicatat sejarah sebagai pendukung utama dakwah Nabi Muhammad Saw. Khadijah lahir pada tahun 555 M dan wafat pada tahun 619M. Usianya terpaut lima belas tahun lebih tua dari usia Nabi Muhammad Saw. Menurut Ibnu Hisyam, Khadijah merupakan seorang saudagar ternama  di Makkah, meskipun banyak pengusaha laki-laki kala itu yang juga berniaga antar wilayah di Jazirah Arab hingga Afrika Utara dan Parsia- di Asia Tengah. Belum tersedia data yang mengkalkulasi kekayaannya. Namun berbagai referensi sejarah menggambarkan, rombongan dagang milik Khadijah merupakan kafilah terbesar di Makkah kala itu.

Sebelum diangkat sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad merupakan salah satu pimpinan rombongan dagang milik Khadijah yang dikirim ke pasar-pasar antar benua hingga ke Persia. Kepandaian Khadijah  dalam mengelola usaha diperkenalkannya kepada masyarakat kota Mekkah, baik laki-laki maupun perempuan. Jika digambarkan masa kini, Khadijah telah berhasil pembangunan jiwa enterprenership, sehingga terbentuklah mitra-mitra dagangnya di berbagai titik persinggahan budaya di luar kota Mekkah. Khadijah dipercaya sebagai pelaku “ekspor-impor” antar benua, mengantarkan barang-barang dagangannya ke berbagai pasar di wilayah kerajaan Persia yang menjadi pusat perdagangan internasional dan lintasan jalur sutera di Timur Tengah.

Khadijah memang memiliki modal berupa materi kekayaan yang besar. Namun sebenarnya aset penting Khadijah adalah kecerdasan, keuletan dalam mengelola usaha dengan memilih para pekerja yang jujur dan pandai bersosialisasi, antara lain seorang pemuda, bernama Muhammad bin Abdullah. Kepadanyalah Khadijah mempercayakan pengelolaan bisnisnya di luar Makkah, menjaga mitra-mitra dagangnya.  Khadijah memiliki kendali dan pengaruh terhadap jaringan-jaringan bisnisnya di level lokal, dan global (Mekkah, Yemen, dan Kerajaan Persia) yang  dikembangkan berkat bantuan seorang “CEO” Muhammad bin Abdullah.

Pada pertengahan millenium pertama masehi, menjadi perempuan pebisnis bukanlah perkara mudah, di tengah budaya patriarki yang sangat kuat di kalangan masyarakat Arab, suku-suku di Afrika Utara, Persia, Yunani, dan sekitarnya. Secara umum posisi perempuan sangat lemah dan tidak diperhitungkan. Kepimpinan perempuan dalam bidang ekonomi tampaknya bukanlah hal yang lazim dan hampir tidak bisa diterima oleh banyak masyarakat, terutama masyarakat Arab Badui dan tradisi Persia. Karenanya jarang  perempuan memegang peranan penting dalam dunia usaha ,terlebih di Mekkah dan di wilayah Persia.

Namun sosok Khadijah dalam kegiatan bisnis besar dipandang sebagai bentuk perlawanan atas tradisi dan cara pandang masyarakat kala itu. Sebab secara kontras sering digambarkan perempuan hanya bekerja di kebun kurma atau menggembala kambing dan unta.

Pernikahan Kanjeng Nabi Muhammad Saw dengan Khadijah dicatat sejarah sebagai peristiwa yang berlawanan dengan tradisi Arab; Pertama, perempuan melamar laki-laki. Khadijah melamar Muhammad melalui sahabatnya Nafisah. Kedua, usia pernikahan Nabi dan Khadijah terpaut jauh. Nabi menikah pada usia 25 tahun sementara Khadijah telah berusia 40 tahun. Ketiga, Nabi menikahi seorang janda, sebuah sikap yang dinilai baik karena tidak membedakan perempuan berdasarkan status perkawinanya. Nilai “kesucian” “kemuliaan” seorang perempuan tidak diletakkan kepada keadaan fisik apalagi kegadisannya. Hal demikian berlawanan dengan perilaku masyarakat setempat yang merendahkan posisi seorang janda dan menilai perempuan berdasarkan status kegadisannya. Keempat, Nabi menikahi perempuan yang sangat aktif di ruang publik, punya waktu yang lebih banyak di ruang publik/di dunia usahanya dan hanya memiliki sedikit waktu di ruang domestik. Setelah menikah pun, Nabi tidak pernah membatasi ruang gerak Khadijah dalam dunia usahanya; Keenam, Khadijah sebagai kepala ekonomi keluarga, sementara Nabi Saw., berperan mendampinginya. Khadijah merupakan tulang punggung ekonomi keluarga Nabi Saw., bahkan Khadijah sebagai sumber finansial dakwah Nabi di Mekkah. Khadijah merupakan orang pertama yang beriman dan meyakinkan misi kenabiannya. Ketujuh, pernikahan Khadijah dengan Nabi Saw., berlangsung selama 25 tahun (28 SH); 15 tahun pertama Pra-Kenabian, dan 10 tahun pertama kenabian., dan selama itu, Nabi tidak pernah poligami. Karena itu banyak sekali hadis-hadis yang berisi pujian terhadap Khadijah, bahkan pujian itu secara langsung diabadikan dalam Al-Quran, dan berbagai literatur sejarah seperti yang ditulis oleh Ibnu Hisyam, Imam Thabari, Ibnu Katsir, sebagaimana kami rujuk dalam tulisan ini.

Berikut adalah salah satu hadis yang populer tentang Khadijah ra sebagaimana diriwayatkan Aisyah.

عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا ذكر خديجة أثنى عليها فأحسن الثناء

“Dari Aisyah ra., dia berkata, ”Nabi Saw., ketika mengingat Khadijah dia pasti memujinya dengan pujian yang paling indah”. (HR. Bukhari)

 

Daftar referensi:

  1. Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, 1423H/2002M, Shahȋh Al-Bukhâri, Dar Ibnu Katsir, Beirut – Lebanon.
  2. Al-Nisaburi, Abu Al-Husain Muslim ibn Al-Hajjâj Al-Qusyairi, 1427H/2006, Shahȋh Muslim, Dar Thayyibah, Riyadh – Saudi Arabia.
  3. An-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya ibn Syarf, tt., Al-Minhâj fȋ Syarh Shahȋh Muslim ibn Al-Hajjâj, Baitul Afkar Al-Dauliyah, Yordania.
  4. Hisyam, Ibnu, 1410H/1990M, Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Darul Kutub Al-Arabi, Beirut-lebanon
  5. Ath-Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir (w. 310H), tt., Tarkh Al-Thabari; Târîkh al-Rusul Wa Al-Muluk, Darul Ma’arif bi Mashri, Kairo – Mesir,
  6. Ibnu Katsir, Ismail bin Umar, 1410H/1990, Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah, Maktabah Al-Ma’arif, Beirut-Lebanon

Penulis merupakan Peneliti Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Surat Kartini Kepada Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat

Oleh: Nur Hayati Aida

Teruntuk kedua Mbakyuku; Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat.

Semoga Mbakyu Shima dan Mbakyu Ratna (Kalinyamat) dalam keadaan sehat dan tidak kurang dari apa.

Saat surat ini sampai di tangan Mbakyu Shima dan Mbakyu Ratna, musim hujan telah sampai di penghujungnya. Tanah-tanah menjadi subur dan pepohonan mulai rimbun dengan dedaunan. Semilir angin hujan tak henti-hentinya menyibakkan anakan rambut kecil di kening, mengingatkan kepada riuh para pekerja di ladang dan sawah.

Tahun telah berganti begitu cepat. Waktu melesat begitu saja dari busurnya. Dan saat ini kita tiba di masa semuanya serba cepat. Sesuatu yang dulu terasa jauh kita bayangkan.  Terkadang saya merasa takjub dengan perkembangan pesat ini. Teknologi telah mengantarkan kita pada peradaban digital. Sungguh tak pernah terbayangkan bisa menulis surat secepat ini melalui email, atau berbalas pesan singkat melalui Whatsaap.

Mbakyu, rasanya senang sekali bisa mengirimkan kabar ini kepada Mbakyu berdua bahwa harapan yang pernah saya utarakan beberapa waktu lalu—yang pernah saya kabarkan beritanya kepada Mbakyu berdua—tentang pendidikan bagi kaum perempuan, telah terwujud.  Saat ini di ruang-ruang kelas sekolah dan perguruan tinggi, jumlah murid perempuan tak kalah banyak dari murid laki-laki. Banyak murid-murid perempuan yang memiliki prestasi yang bagus, rangking, dan nilai di atas rata-tara.

Saya masih ingat isi surat yang saya kirimkan kepada Nyonya Van Kool di Belanda waktu itu. “…untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya”.  Begitu kira-kira tulisan saya kepada Nyonya Van Kool. Dan kini, harapan itu telah nyata.

Keadaan ini tentu jauh berbeda dengan keadaan yang beberapa waktu lalu saya sampaikan kepada Mbakyu berdua. Sungguh ini kabar gembira sekali.

Namun, Mbakyu. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati dan membuat saya gelisah. Ini tentang prasangka yang diarahkan kepada perempuan dianggap sebagi fitnah (godaan) yang bisa menimbulkan kegoncangan stabilitas sosial. Atas dasar itu, Mbakyu, perempuan kemudian “diminta” untuk di rumah saja, dan tidak perlu bekerja di wilayah publik.

Duh, Mbakyu, betapa sedih dan perihnya hati ini mendengar sangkaan itu. Sepertinya mereka tidak melihat Kerajaan Kalingga yang dipimpin oleh Mbakyu Shima. Masyarakatnya jujur dan disiplin, sebab Mbakyu Shima memimpin dengan tegas.

Seorang raja, bernama Ta-Shih,  bahkan sengaja meletakkan sekantung emas di jalanan dekat alun-alun. Ia ingin menguji kedisiplinan rakyat Kalingga. Berminggu-minggu kantung emas itu tak berpindah tempat sama sekali. Mereka tahu bahwa itu bukanlah hak mereka.

Bukan hanya soal ketegasan dan kedisiplinan, Kerajaan Kalingga juga dikenal luas oleh  mancanegara. Hubungan bilateral Kerajaan Kalingga sampai  ke dataran Tiongkok.

Pun, sepertinya mereka lupa dengan apa yang dilakukan oleh Mbakyu Ratna saat memimpin Jepara. Kala itu Jepara mampu keluar dari keterpurukan ekonomi yang terus mendera. Jepara di bawah kepemimpinan Mbakyu Ratna bahkan dianggap sebagai puncak kegemilangan Jepara.

Tak hanya itu, Mbakyu Shima dan Mbakyu Ratna. Perempuan juga dianggap hanya memiliki akal dan iman yang lemah. Saya sendiri sangsi jika anggapan itu datang dari Kanjeng Nabi Muhammad. Mustahil rasanya Nabi yang memiliki julukan al-amin itu bersabda sedemikian buruk pada perempuan, sedangkan agama yang Bagunda Rasul bawa adalah agama rahmat (kasih sayang) kepada seluruh alam, termasuk perempuan.

Saya lalu teringat kepada Mbakyu Ratna dengan kecerdikan strategi dan keberanian melawan penjajah Portugis. Setidaknya empat kali Mbakyu Ratna mengirimkan armada perang membantu Raja Johor dan Sultan Ali Mukhayat Syah dari Aceh untuk melawan Portugis di laut Malaka. Untuk keberanian itu, Diego de Couto  menyebut Mbakyu Ratna sebagai Rainha da Japara, senhora poderosa e rica (Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa). Apakah patut menyebut Mbakyu Ratna sebagai perempuan kurang akal dengan seluruh strategi dan keberanian yang Mbakyu Ratna lakukan?

Jika dikatakan perempuan kurang agama, bagaimana dengan “tapa wuda” yang Mbakyu Ratna lakukan? Meski ada prasangka-prasangka atas “tapa wuda” sebagai laku  mengumbar birahi, tetapi “tapa wuda” tak bisa dimaknai begitu saja sebagai makna lapis pertama. “Tapa Wuda”  bukanlah bertapa tanpa pakaian dalam arti telanjang, melainkan melepaskan segala keterikatan dunia materi yang dimiliki. Sebagai seorang ratu, Mbakyu Ratna tentu memiliki segalanya, tetapi atas kematian suami dan saudaranya di tangan Arya Panangsang. Mbakyu Ratna memilih untuk “uzlah” mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta.

Mbakyu, sungguh hal-hal ini menggelisahkan hati saya. Mbakyu berdualah yang menjadi sumber inspirasi saya. Mbakyu Ratna dan Mbakyu Shima telah berani melawan anggapan umum tentang perempuan yang menjadi sumber fitnah, lemah akal, dan lemah agama.

Saya mengutarakan hal ini juga kepada Nyonya Abendanon di Belanda beberapa waktu lalu, “Kami beriktiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih sukar dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula”.

Semoga Mbakyu berdua selalu dalam lindungan Tuhan.

Adikmu,

R.A. Kartini

Post scriptum:

Ini adalah surat imajiner Kartini (21 April 1879 M-17 September 1904 M) kepada Ratu Shima (w. 732 M)  yang menjadi pemimpin Kerajaan Kalingga (secara geografis keberadaan Kerajaan Kalingga  saat ini berada di wilayah Keling yang merupakan bagian dari Kabupaten Jepara),  dan Ratu Kalinyamat atau Retna Kencana (w. 1579 M).  pemimpin Jepara, yang juga merupakan anak dari Sultan Trenggono, dan cucu dari Raden Patah (Raja Demak). Ketiga perempuan ini  menjadi tokoh sentral di Jepara.

Penulis merupakan peneliti Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Choose to Challenge! Berani Menantang! Karena Bekerja adalah HAK!

Oleh: Lies Marcoes

Choose to Challenge ! Berani Menantang!

Karena Bekerja adalah HAK !

Untuk perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini (2021), Rumah Kitab memilih tema “Merayakan Keragaman Kerja Perempuan”. Sesuai dengan tema Internasional Women’s Daya (IWD)Choose to Challenge, Rumah Kitab menggarisbawahi  tekanan pada pentingnya untuk “Berani “Menantang”/ “Choose to Challenge”  sebagai pilihan aksi kami. Hal yang hendak ditantang adalah apapun yang menyebabkan perempuan kehilangan hak-hak mereka untuk bekerja.

“Beranti Menantang”/ “Choose to Challenge” dalam pandangan kami adalah segala sesuatu yang menghalangi perempuan bekerja  yang disebabkan oleh prasangka gender, praktik diskriminasi yang berlindung di balik  budaya, tradisi, pandangan agama, atau bahkan infrastruktur yang bias terhadap perempuan. Semua itu secara berkelindan  tekah atau dapat menghalangi hak perempuan untuk bekerja. Dan itulah yang seharusnya ditantang.

Isu perempuan bekerja punya kaitan historis dengan IWD. Di peralihan abad ke 20, setelah  revolusi industri, terjadi perubahan dahsyat dalam  hubungan-hubungan gender di tingkat keluarga akibat munculnya industrialisasi. Lahirnya  mesin-mesin dan terbukanya peluang bekerja bagi perempuan di runag publik ternyata tak secara otomatis menyejahterakannya. Ini disebabkan oleh bias gender yang melahirkan praktik-praktik diskriminasi berbasis prasangka terhadap perempuan. Bagi masyarakat luas pada awal abad ke 20 itu, ditemukannya mesin-mesin industri  telah mengubah hubungan-hubungan  gender dalam keluarga yang sekaligus memunculkan beban ganda kepada perempuan.

Pada tahun 1909, sejumlah perempuan di Inggris yang diinisiasi Partai Buruh mulai menyadari hal itu; perempuan bekerja lebih panjang karena harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebagai bagian dari peran tradisional mereka yang mereka terima sebagai ajaran Gereja. Kaum perempuan bekerja namun dengan aumsi sebagai pencari nafkah tambahan sebagai pencari nafkah utamanya adalah lelaki Perempuan rentan mengalami perumahan ketika produksi pabrik menurun, rentan kekerasan seksual, tak mendapat perlindungan kerja yang sesuai dengan peran reproduksi mereka, tanpa ruang istirahat yang memadai.  Para perempuan pekerja ini kemudian memelopori menggalang hak perempuan bekerja untuk aman dalam menjalankan perannya.

Sebuah demonstrasi besar di Eropa muncul dipicu oleh peristiwa kebakaran pabrik di London yang telah menelan 146 perempuan. Mereka terperangkap di dalam pabkrik akibat sistem pengawasan pekerja yang buruk yang membatasi akses mereka ke luar pabrik.

Dimotori oleh para pekerja sendiri dan oleh gagasan-gagasan pemikiran feminis yang lahir pada awal abad itu, gerakan buruh mendapatkan “suplai pengetahuan, analisis kritis tentang penindasan berbasis prasangka gender sekaligus cara aksinya” yang kemudian membentuk teori dan sekaligus prakis  feminis. Kampanye -kampanye  tentang hak-hak buruh ini terus digulirkan di antara antara kaum pekerja di dua benua Eropa dan Amerika. Tahun 1910 aksi kaum buruh yang dimulai  pada 8 Maret itu dan berlanjut pada hari-hari berikutnya  kemudian ditandai sebagai “Hari Perempuan Internasional”. Namun  secara resmi HPI/ IWD baru diresmikan PBB  lebih dari setengah abad kemudian, pada 8 Maret 1975!.

Dengan melihat sejarahnya,  kita tahu bahwa yang dperjuangkan oleh pada aktivis perempuan pendahulu adalah soal Hak Perempua Bekerja. Pengalaman perempuan di Eropa ini menginspirasai kaum perempuan terpelajar di negara-negara jajahan yang memiliki kontak melalui buku-buku bacaan dan majalah. Namun di negara jajahan seperti India, Indonesia, sejumlah negara di Afrika, serta negara-negara berpendudk Muslim seperti di Mesir,  probem yang dihadapi kaum perempuan itu dirasakan lebih kompleks lagi. Mereka menghadapi budaya dan agama yang lebih kokoh menghalangi kebebasan kaum perempuan. Belum lagi persoalan yang dihadapi sebagai negara jajahan yang memiliki agenda-agenda besar untuk kemerdekaan. Dua kepentingan itu- kebebasan perempuan dari penindasan budaya/ pandangan agam dan tradisi, dan  kebebasan sebagai bangsa, harus dijalin dan dianyam oleh perempuan sebagai agenda ganda perjuangan mereka.

Dalam konteks kekinian, isu itu menjadi semakin relevan dan penting mengingat tantangan yang dihadapi. Tema Choose to Challange dalam IWD tahun ini sangatlah penting mengingat ragam tantangan yang menghalangi perempuan bekerja.

Secara teori, terutama dari teori-teori besar pembangunan, terdapat sebuah asumsi yang  patut diuji.  Teorinya adalah, semakin maju suatu masyarakat, dan semakin baik pendidikan suatu negara, maka dengan sendirinya akan semakin baik keadaan perempuan sebagai  konsekwensi dari akselerasi pendidikan mereka. Akselerasi pendidikan seharusnya terhubung  dengan capaian kesejahteranan mereka. Namun bagi perempuan  hal itu tak senantiasa berkorelasi. Keterbukaan akses pekerjaan kepada perempuan tanpa pendidikan yang memadai  menempatkan mereka menjadi tenaga kerja murah dalam industri-industri masal, atau  menjadi tenaga kerja migran. Namun karena mereka tak mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang hak-haknya sebagai manusia yang seharusnya disediakan oleh negara, mereka kemudian mengalami dehumanisasi. Contoh lain adalah ketika terjadi perubahan  alih  pungsi  dan kepemilikan lahan dari pertanian tradisional ke industri pertanian seperti perkebunan sawit atau tambang, warga di mana terjadinya perubahan itu, secara stuktural mengalami proses pemiskinan.

Capaian pendidikan dan permintaan pasar memberi peluang kepada perempuan untuk bekerja. Namun relasi gender d tingkat keluarga seringkali stagnan, tidak berubah. Hal ini telah memunculkan beban kerja berlipat ganda kepada perempuan. Dan karena pekerjaan perempuan tak selalu dapat dilaju atau dikerjakan secara rangkap, pekerjaan rumah tangga itu kemudian disubstitusikan kepada anak perempuan mereka.

Masalahnya, alih-alih mencari solusi yang logis atas perbahan-perubahan itu, pilihan gampang yang ditempuh adalah menarik mundur perempuan untuk kembali ke peran tradisional mereka. Penarikan mereka itu tak dilandasi oleh perubahan sosial dan di perubahan ruang publik yang telah berubah. Ketika ruang publik tempat perempuan bekerja dianggap tidak aman, mereka tidak diberi pilihan untuk mendapatkan ruang aman mereka yang seharusnya disediakan korporasi dan negara, melainkan ditarik kembali ke peran tradisional yang telah didefinisikan sebelumnya oleh pandangan keagaman dan budaya yang tak responsif terhadap perubahan zaman itu.

Inilah bacaan kami atas  tantangan itu. Untuk itu sangatlah penting untuk kembali ke kredo awal: bekerja adalah hak setiap orang, lelaki maupun perempuan. Norma-norma gender yang diskriminatif, layanan infrastruktur yang bisa gender  yang tidak responif kepada kebutuhan perempuan, serta  menguatnya pandangan keagamaan yang konservatif yang menyebabkan perempuan rentan kehilangan hak haknya untuk bekerja di luar rumah harus dilawan!. Dan itulah tantangan yang harus kita jawab. Sebab, bekerja adalah HAK, tak terkecuali bagi kaum perempuan !

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Penulis merupakan Direktur Rumah KitaB, dan artikel ini merupakan artikel serial International Women’s Day yang dipublikasikan oleh Rumah KitaB.