Posts

Kolom Kang Faqih: Benarkah Muslimah Bekerja Perlu Izin Suaminya?

Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

 

Jawabanya bisa benar dan bisa tidak, karena hukum selalu melihat konteks, kondisi, dan alasan (al-hukm yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman). Kita mengawali penjelasan pertama, yaitu ketika izin suami menjadi ajang transparansi, diskusi, dan antisipasi, maka ia menjadi baik dan perlu. Seorang perempuan muslimah yang mau bekerja, tentu, memerlukan ruang berbagi informasi, dukungan keluarga terutama suami, penguatan, dan bisa jadi antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Izin suami menjadi ajang bagi perempuan untuk hal-hal baik ini, yang akan menopang dan mendukungnya untuk memperoleh yang terbaik dari keputusannya untuk bekerja.

Bisa jadi, melalui ajang izin ini, suami lebih memahami jenis pekerjaan yang akan digeluti istrinya, mengenal lingkungan pekerjaan tersebut, atau orang-orang untuk jenis pekerjaan yang serupa, atau jaringan dan hal-hal lain yang bisa mendukungnya. Minimal, dengan mengetahui istrinya bekerja di suatu tempat, suami dapat mengantisipasi hal-hal tertentu ke depan. Bisa jadi ditanya anak-anak, orang tua, keluarga, atau kolega tentang keberadaan istrinya. Bisa jadi, ada kejadian pada istrinya yang memerlukan bantuanya. Atau antisipasi apapun, yang memang, dalam kehidupan sering terjadi.

Jika izin bekerja ini benar-benar menjadi ruang seperti demikian, maka hukumnya akan mengikuti hukum bekerja itu sendiri. Jika bekerja itu hukumnya wajib bagi seorang perempuan, misalnya karena dibutuhkan masyarakat dan dia satu-satunya orang yang mampu mengerjakan hal tersebut, atau penghasilanya diperlukan untuk kebutuhan primer keluarga, maka izin suami menjadi wajib. Jika hukum bekerjanya turun menjadi sunnah, maka izinnya juga menjadi sunnah. Hal ini didasarkan pada kaidah, bahwa sesuatu yang baik, wajib maupun sunnah, jika tidak sempurna tanpa sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain ini juga menjadi baik dan perlu (ma la yatimm al-hasanu illa bihi fahuwa hasanun).

Izin suami sebagai ajang informasi, diskusi, dan antisipasi mempersyaratkan relasi pasutri (pasangan suami istri) yang mubadalah (kesalingan). Relasi ini, seperti digariskan Al-Qur’an, memiliki lima pondasi. Yaitu, pertama, relasi pasutri dipandang sebagai kemitraan dan berpasangan (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn, QS. 2: 187); kedua, relasi pasturi dipandang sebagai ikatan kokoh yang harus dijaga bersama (mitsaqan ghalizan, QS. An-Nisa, 4: 21); ketiga, relasi harus bertumpu pada perilaku saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf, QS. An-Nisa, 4: 19); keempat, satu sama lain saling bermusyawarah (tasyawurin, QS al-Baqarah, 2: 233), dan kelima, satu sama lain saling mencari kerelaan (taradhin, QS al-Baqarah, 2: 233).

Dengan lima pondasi relasi mubadalah yang Qur’ani ini, tidak hanya izin suami, melainkan izin istri bagi suami yang akan bekerja juga menjadi baik dan perlu. Fungsinya sama, sebagai ajang informasi, diskusi, dan antisipasi. Saat ini, besar kemungkinan, sang istri memiliki pengetahuan yang cukup yang bisa dibagikan kepada suaminya terkait yang akan dikerjakannya. Minimal, sang istri memiliki informasi, sehingga bisa ikut mengantisipasi hal-hal yang bisa saja terjadi pada suaminya atau pekerjaanya. Lebih mulia lagi, jika izin istri dijadikan suami sebagai ajang implementasi dari lima pondasi relasi yang Qur’ani di atas. Sebagai perwujudan relasi berpasangan (zawaj), mengokohkan ikatan pernikahan (mitsaqan ghalizan), memperlakukan istri secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), bermusyawarah (tasyawurin), dan mencari kerelaan istri (taradhin).

Hukum izin suami akan berbeda pada kondisi relasi yang timpang, dimana perilaku suami semena-mena dan menggunakannya sebagai ajang hegemoni terhadap istrinya. Istri dilarang bekerja tanpa sebab, dilarang mengaktualisasikan dirinya demi impuls suami yang tidak jelas, dan ditempatkannya sebagai subordinat yang harus selalu minta izin suami dalam segala urusan. Relasi yang demikian bertentangan dengan lima pondasi relasi Qur’ani di atas, sehingga izin suami yang turun dari relasi timpang ini, juga menjadi tidak Qur’ani. Pada kondisi yang demikian, yang diperlukan bukanlah membiasakan izin suami oleh seorang istri, tetapi mengedukasi suami agar terlebih dahulu memiliki relasi yang Qur’ani dengan lima pondasi mubadalah tersebut di atas.

Tanpa prasyarat relasi mubadalah ini, izin suami justru bisa membuat seorang laki-laki bertambah jumawa, sombong, dan semena-mena. Hak-hak dasar yang dimiliki seorang perempuan, untuk hidup nyaman, belajar, bekerja, berpartisipasi secara sosial, bisa dilarang suaminya secara semena-mena melalui tiket ideologi izin yang dimilikinya. Untuk laki-laki seperti ini, seperti pesan Nabi Muhammad Saw, justru ditolong dengan mengendalikannya dan tidak menggunakan praktik izin untuk menzalimi istrinya.

 

عَنْ أَنَسٍ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ (صحيح البخاري، رقم: 2484).

 

Dari Anas r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kami pasti menolong yang dizalimi, bagaimana menolong yang zalim itu? Rasul Saw menjawab: “Menolong yang zalim itu dengan mengendalikannya (agar tidak berbuat zalim lagi)”. (Sahih Bukhari, no. 2484).

Ketika izin suami digunakan untuk menzalimi hak-hak istri sebagai manusia muslimah yang utuh, maka kita diminta Nabi Saw menolong yang dizalimi dan yang menzalimi. Yaitu dengan melarang praktik izin yang zalim dari suami dan mendukung para perempuan yang dizalimi oleh praktik tersebut. Di antaranya adalah dengan mengedukasi laki-laki (suami) dan perempuan (istri) tentang relasi yang mubadalah dan mendorong mereka mempraktikkan lima pondasi Qur’ani tersebut di atas. Hanya dalam relasi yang demikian, praktik izin suami bisa membawa kebaikan dan keberkahan.

Apakah ada teks hadis yang menuntut seorang muslimah yang mau bekerja meminta izin dari suaminya? Tidak ada. Lalu, darimana pandangan yang cukup populer ini berkembang? Dari ajaran dasar bahwa seorang istri harus selalu patuh kepada suami. Padahal kepatuhan dalam Islam, sebagaimana juga ditegaskan Nabi Saw, harus dalam hal-hal yang akan membawa kebaikan, bukan dalam hal-hal yang justru membawa kemaksiatan, atau keburukan dan kemafsadatan (Musnad Ahmad, no. 1110).

Sebaliknya, untuk hal-hal yang secara mendasar adalah baik, Nabi Saw justru melarang laki-laki menggunakan praktik izin ini bagi menghalangi para perempuan dari hak-hak dasar yang mereka miliki sebagai muslimah. Kita bisa merujuk pada pernyataan Nabi Saw di bawah ini:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَمْنَعْهَا (صحيح البخاري، رقم: 881).

 

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, Abdullah bin Umar ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Jika istri seseorang di antara kalian sudah meminta izin, maka (izinkan dan) janganlah halang-halangi dia”. (Sahih Bukhari, no. 881).

Teks hadis ini secara gamblang meminta laki-laki untuk tidak menghalangi-halangi istrinya, jika sudah meminta izin. Teks hadis ini bersifat umum untuk hal-hal yang secara mendasar adalah baik, seperti beribadah, belajar, bekerja, beramal sosial, dan yang lain. Beberapa riwayat lain memberi contoh tentang izin untuk pergi ke masjid, terutama salat pada malam hari, dimana para suami biasanya merasa khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik, sehingga merasa berhak untuk tidak mengizinkan. Namun, Nabi Saw dengan tegas mengatakan: izinkan dan jangan halangi para perempuan dari masjid-masjid Allah (Sahih Muslim, no. 1019).

Dengan demikian, merujuk pada hadis tersebut dan prinsip-prinsip relasi mubadalah di atas, praktik izin adalah baik di antara pasutri jika diimplementasikan dalam kerangka berbagi informasi di antara mereka, berdiskusi, bermusyawarah, berbagi pengetahuan dan dukungan, sertai antisipasi hal-hal yang justru bisa mendatangkan keburukan bagi kehidupan mereka berdua. Jika tidak dalam kerangka yang demikian, maka praktik izin pasutri perlu ditinjau ulang. Wallahu a’lam.

Kolom Kang Faqih: Memahami Frasa “Al-Ummu Madrasatul Ula”

Oleh: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

 

Saat ini sering sekali kita dengar sebuah istilah yang seolah mengalahkan ujaran Nabi atau Hadits “Al Ummu Madrasatul Ula”. Frasa itu seperti mengunci peran perempuan sebagai “madrasah” namun dalam makna yang sangat sempit yang seolah-olah cukup menjadi madrasah pemula yang tak membutuhkan aktivitas lain dalam mencari ilmu.

Padahal begitu banyak sabda Nabi yang mewajibkan perempuan, sebagaimana lelaki untuk memcari ilmu. Salah satu hafalan wajib di Pesantren bagi para pemula adalah teks hadits Nabi Muhammad Saw bahwa belajar adalah kewajiban seorang muslim dan muslimah. Satu lagi, yaitu teks populer lain, bahwa belajar adalah jalan bagi setiap orang menuju surga yang diridhoi Allah Swt.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “‌طَلَبُ ‌الْعِلْمِ ‌فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (سنن ابن ماجه).

Dari Anas bin Malik ra, berkata: Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Belajar mencari ilmu itu kewajiban setiap muslim (laki-laki maupun perempuan)”. (Sunan Ibn Majah).

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ ‏”  (سنن الترمذي).

Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang merambah suatu jalan, untuk mencari ilmu pengetahuan, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (Sunan Turmudzi).

Dua teks hadits ini merupakan dasar argumen paling kokoh yang menegaskan bahwa perempuan dalam Islam, sebagaimana laki-laki, memiliki kewajiban, sekaligus menjadi haknya untuk belajar mencari ilmu. Sebagai sama-sama pengikut teladan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana laki-laki, tidak ada satupun ulama yang mengecualikan perempuan dari hak dasar ini.

Apalagi jika dikaitkan dengan prinsip bahwa perempuan dan laki-laki, sama-sama  sebagai hamba Allah Swt yang beriman, adalah disapa dan diminta untuk mengamalkan semua ajaran al-Qur’an. Sementara di antara ajaran al-Qur’an yang paling dasar adalah membaca dan belajar (QS. Al-‘Alaq, 96: 1-5), berupaya keras agar selalu beriman dan berpengetahuan (QS. Al-Mujadilah, 58: 11), menggunakan ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (QS. Fathir, 35: 28).

Ditambah lagi, sebagai manusia pemegang mandat khalifah fi al-ardh dari Allah Swt, dengan tugas menghadirkan segala kebaikan dan kemakmuran di muka bumi ini, perempuan dan laki-laki tentu saja memerlukan berbagai pengetahuan dan keahlian. Seseorang tidak akan bisa sukses mengemban suatu amanat, apalagi untuk memakmurkan kehidupan, mulai dari kelularga, sosial, dunia, dan semesta, kecuali dengan ilmu pengetahuan dan keahlian.

Dalam kaidah hukum Islam yang sangat populer di kalangan pesantren disebutkan  maa laa yatimm al-wajibu illaa bihii fahuwa wajibun. Suatu kewajiban yang tidak terlaksana tanpa suatu hal yang lain, maka hal yang lain ini juga menjadi wajib hukumnya. Tugas memakmurkan bumi, mendatangkan kebaikan hidup, mendidik dan mensejahterakan keluarga, mengendalikan dan mengelola diri, dan yang lain, tidak akan bisa terlaksana dengan baik tanpa belajar ilmu dan keahlain terlebih dahulu, maka belajar juga menjadi wajib. Ini persis dengan teks popoluer lain, di kalangan pesantrren, yang digubah oleh Imam Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i, wafat tahun 204 H) rahimahullah, bahwa:

Barangsiapa yang menghendaki (kebaikan) dunia, maka ia harus memiliki ilmu pengetahuan (terlebih dahulu). Barangsiapa yang menghendaki (kebahagiaan) akhirat juga harus dengan ilmu pengetahuan. Begitupun, bagi siapapun yang ingin (kebaikan dan kebahagiaan) dunia dan akhirat, ia harus memiliki ilmu pengetahuan. (Imam Syafi’i).

Dengan teks-teks yang terang benderang di atas seharusnya narasi-narasi yang menghambat hak dasar perempuan dalam pendidikan tidak perlu dihiraukan. Namun, banyak umat yang terkecoh dengan narasi bahwa perempuan adalah madrasah pemula bagi anak-anaknya, sehingga pendidikan bagi perempuan hanya sebatas untuk menjadi madarasah pemulatersebut. Padahal pernyataan ini bukan hadits melainkan sebuah frasa atau kata-kata mutiara, sehingga nilainya tidak bisa menegasikan asas kekhalifahan perempuan di muka bumi, dan haknya untuk belajar sebagaimana diungkapkan teks-teks hadits di atas.

Ungkapan perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anakny a, jikapun diterima, lebih tepat dipahami sebagai pentingnya anak-anak memliki lingkungan belajar yang kondusif sejak dari rumah. Madrasah di sini artinya adalah lingkungan, dan perempuan di sini hanya contoh saja. Tentu saja, menjadi ibu yang mendidik anak-anaknya adalah peran yang baik dan ibadah. Namun, ini bukan peran satu-satunya bagi perempuan sebagai khalifah fi al-ardh. Juga ini bukan peran perempuan semata.

Karena, lingkungan belajar yang kondusif bagi anak-anak merupakan tanggung-jawab bersama antara perempuan, sebagai ibu atau istri, dan laki-laki, sebagai ayah dan suami. Anak-anak memerlukan figur kedua orang tua sebagai pendidi, ayah dan ibu mereka. Bukan hanya ibu semata. Secara praktis, memang anak-anak juga akan belajar dari teladan kedua orang tuanya di rumah mereka. Tidak hanya dari ibu mereka belaka. Apalagi dalam Islam, tanggung-jawab pendidikan berada di pundak kedua orang tua, ayah dan ibu, dari anak-anak. Bukan hanya tanggung-jawab perempuan semata. Karena itu, ungkapan yang lebih tepat, daslam hal ini, adalah “Kedua orang tua adalah madrasah pertama bagi anak-anak mereka”, bukan hanya perempuan.

Dalam Islam, belajar adalah hak dasar perempuan sebagai manusia yang bermartabat, hamba Allah Swt, dan khalifah-Nya di muka bumi ini yang dituntut untuk berperan dalam segala kerja-kerja kemaslahatan. Baik di dalam rumah, dengan keluarga besar, masyarakat luas, publik dunia, maupun semesta. Semua kerja-kerja kemaslahatan ini, selama berlandaskan keimanan kepada Allah Swt, dan nyata memberikan kebaikan, adalah ibadah dan jihad fi sabilillah. Baik dilakukan laki-laki maupun perempuan.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – ٩٧

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl, 16: 97).

Tentu saja, untuk bisa melakukan kerja-kerja kebaikan secara efektif dan maksimal, yang bisa memberikan perubahan yang nyata, seseorang memerlukan ilmu pengetahuan yang relevan. Karena itu, mereka yang terus belajar akan didoakan para malaikat dan segenap makhluk Allah Swt.

Dari Abu Darda’ ra, berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang merambah suatu jalan, untuk mencari ilmu pengetahuan, maka Allah akan melempangkan baginya jalan ke surga. Para malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka di atasnya, sebagai bentuk dukungan padanya. Sesungguhnya, orang yang berilmu pengetahuan itu akan didoakan segala makhluk di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di lautan. Keutamaan orang berilmu pengetahuan, seperti keutamaan sinar cahaya bulan dibanding dengan (sinar) bintang-bintang yang lain. Para ulama itu adalah para pewaris Nabi, dan para Nabi itu tidak mewariskan harta, dirham maupun dinar, melainkan ilmu pengetahuan. Barangsiapa yang memperoleh ilmu pengetahuan, maka ia telah memperoleh bagian yang istimewa”. (Sunan Turmudzi).

Karena kita yakin bahwa perempuan adalah umat Nabi Muhammad Saw yang diajak untuk meneladani ajaran kenabian, agar jalannya lempang ke surga dan didoakan para malaikan dan seluruh makhluk jagat raya. Teladan kenabian, dalam konteks hadits di atas, adalah belajar mencari ilmu pengetahuan. Karena itu, pendidikan adalah hak dasar perempuan dalam Islam, untuk memenuhi hakikat diri sebagai manusia bermartabat, hamba Allah Swt, khalifah-Nya di muka bumi untuk kerja-kerja kemaslahatan, dan juga sebagai umat Nabi Muhammad Saw yang diminta mengerjakan segala kebaikan hidup yang sangat luas, di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Kolom Kang Faqih: Bekerja adalah Karakter Dasar Muslim dan Muslimah

Oleh:  Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam al-Qur’an, kata yang semakna dengan bekerja adalah‘amala (عمل) . Kata itu selalu disebut beriringan dengan amana (آمن) artinya beriman. Dengan merujuk kepada Al-Qur’an, kita jadi tahu bahwa bekerja bukan hanya penting dalam Islam, tetapi juga perwujudan langsung dari keimanan terhadap Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw.

Tidak tanggung-tanggung, iring-iringan dua kata ini disebut lebih dari 56 tempat dalam al-Qur’an. Beberapa di antaranya menjadi syarat bagi yang ingin bertaubat dari dosa (seperti QS. Al-Furqan, 25: 70). Dalam ayat lain dua kata itu secara tegas menjadi syarat masuk surga di akhirat kelak (seperti QS. An-Nisa, 4: 124).

Ayat-ayat itu menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang utuh (mukallaf). Mereka adalah hamba Allah Swt yang khalifah fi al-ardh, dan karena itu dituntut beramal shalih, serta berhak atas hasil dan dampak dari semua amal shalih tersebut.

Bahkan dalam empat ayat ini (QS. Ali Imran, 3: 195; an-Nisa, 4: 124; an-Nahl, 16: 97; dan Ghafir, 40: 40), secara tegas dan eksplisit disebutkan subyeknya perempuan. Ini untuk mengikis budaya diskriminatif yang meminggirkan perempuan dari ranah bekerja (‘amala). Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan betapa penting konsep ‘amala, atau bekerja, sebagai salah satu karakter dasar seorang muslim dan muslimah.

 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – ٩٧

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl, 16: 97).

 

Tentu saja, kata ‘amala bermakna luas. Dalam al-Qur’an, kata ini selalu digandengkan dengan atribut shalihan, kebaikan. Dalam bahasa Indonesia, kita sering mendengar kata “amal shalih”. Artinya segala tindakan, perbuatan, dan pekerjaan yang bersifat baik dan melahirkan hasil serta dampak kebaikan bagi kehidupan yang baik. Amal shalih ini bisa berupa ibadah vertikal dan ritual, yaitu relasi seseorang dengan Allah Swt. Atau ibadah horizontal dan sosial yaitu relasi dengan manusia dan alam. Bisa juga merujuk pada keduanya: ibadah vertikal sekaligus horizontal, ritual sekaligus sosial.

Bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, apalagi ditambah agar bisa membantu orang lain merupakan ibadah sosial. Perbuatan itu mungkin hanya bersifat horizontal tanpa ada kaitannya dengan hubungan vertikal kepada Allah Swt. Akan tetapi ketika bekerja diniatkan sebagai bentuk kepatuhan dan ketundukkan kepada-Nya, maka bekerja memiliki nilai ibadah ritual-vertikal, di samping ibadah sosial-horizontal. al-Qur’an (QS. Al-Jum’ah, 62: 9-10) sendiri memanggil orang-orang yang beriman, sesudah beribadah shalat, untuk segera bertebaran di muka mencari rizki dari karunia Allah Swt yang amat luas.

Di dalam ayat lain, seperti (QS. Al-Mulk, 67, 15; Taha, 20: 53-54; dan Al-A’raf: 10), al-Qur’an juga mengisahkan bahwa Allah Swt telah menghamparkan berbagai sumber daya dan jalan bagi manusia, dan meminta mereka untuk mencari rizki guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Ayat-ayat ini, tidak secara khusus hanya menyapa laki-laki.  Sebagaimana ayat-ayat keimanan dan amal shalih yang lain, ayat-ayat yang sama juga menyapa para perempuan muslimah untuk aktif beramal dan bekerja mencari rizki dari anugerah Allah Swt.

Fasilitas dan sumber daya yang dihamparkan Allah Swt. di muka bumi ini, sebagai jalan rizki dan anugerah-Nya, juga dipersiapkan melalui sistem sosial yang ada bagi para perempuan muslimah. Dengan meyakini kemanusian, kehambaan, dan ke-khalifah-an para perempuan, tidak ada alasan syar’i, terutama dari al-Qur’an, untuk meminggirkan mereka dari ruang-ruang bekerja, baik sebagai aktualisasi diri, untuk layanan sosial, termasuk untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Dan itu berlaku bagi perempuan dewasa apapun status perkawinannya: sebagai individu, istri, atau kepala keluarga.

Bekerja merupakan perwujudan dari keimanan, dan beramal shalih. Bekerja juga wujud implementasi rasa syukur atas segala kenikmatan yang kita terima dari kehidupan ini. Nabi Muhammad Saw dalam prilakunya sehari-hari memperlihatkan  bahwa bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri tidak hanya baik, tetapi termasuk teladan kenabiannya. Setiap pekerjaan, dalam bentuk apapun, yang membuatnya terhindar dari meminta kepada orang lain, adalah baik di mata Nabi Muhammad Saw.

 

عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (صحيح البخاري، رقم: 2111).

Dari Miqdam ra., bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, yang lebih baik dari hasil jerih pekerjaan tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri”. (Sahih Bukhkari, no. hadits: 2111).

 

عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، فَيُعْطِيْهِ أَوْ يَمْنَعُهُ. (صحيح البخاري، رقم: 2113).

Dari Abi ‘Ubaid, hamba sahayanya Abdurrahman bin ‘Auf, dia mendengar Abu Hurairah ra. bertutur bahwa Rasul saw. bersabda, bahwa  seseorang yang menggunakan seutas tali, mencari kayu bakar dan mengikatkan ke punggungnya, (lalu menjualnya ke pasar) adalah lebih baik baginya daripada harus meminta-minta kepada orang lain, yang kadang diberi dan terkadang ditolak”. (Sahih Bukhari, no. 2113).

 

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ ونَشَاطِهِ مَا أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنْ كَانَ خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ ‌يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعِفُّها فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وتَفَاخُرًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ)). (المعجم الأوسط للطبراني، رقم الحديث: 6835).

Dar Ka’b bin ‘Ujrah berkata: Suatu saat ada seseorang yang lewat di hadapan Nabi Muhammad Saw, lalu para Sahabat melihat kekuatan dan kecekatanya yang mengagumkan mereka. “Ya Rasulallah, andai saja (semua kekuatan dan kecekatan) ini digunakan untuk jalan Allah”, kata mereka. Lalu Nabi Saw menimpali mereka: “Jika dia keluar bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka dia sesungguhnya berada di jalan Allah, jika dia keluar untuk membantu kedua orang tuanya yang sudah renta, jika dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dirinya maka ia juga sedang berada di jalan Allah, tetapi jika dia keluar bekerja untuk sebuah mempertontonkan (kehebatan diri) dan kesombongan maka ia berada di jalan setan”. (al-Mu’jam al-Awsath Thabrani, no. hadits: 6835).[1]

 

Inti pembelajaran dari ketiga teks hadits di atas adalah bekerja, dalam bentuk apapun, selama halal, untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga adalah perbuatan baik. Ketiga teks hadits ini, sebagaimana ayat-ayat di atas, dan hadits-hadits lain mengenai ‘amal shalih,  menyapa manusia, laki-laki maupun perempuan. Tentu saja, praktik dari bekerja sebagai implementasi ‘amal shalih ini, tergantung pada konteks sosialnya, kapasitas dan kemampuan seseorang, serta pilihan-pilihan yang tersedia. Namun, menyisihkan seseorang, apalagi melarangnya hanya karena statusnya sebagai perempuan adalah sesuatu yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran dasar al-Qur’an, maupun teladan Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam.

 

[1] Ath-Thabrani, Sulayman bin Ahmad al-Lakhmi, al-Mu’jam al-Awsath, ed. Thariq bin ‘Awadh, (Cairo: Dar al-Haramain, tanpa tahun), juz 7, hal. 56.

 

Penulis merupakan dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan pendiri Mubadalah.id.

Muslimah Merdeka itu Dapat Memilih Pekerjaan yang Ia Suka

Oleh: Ririn Erviana

Saya ingat betul waktu pertama kali akan kuliah, orang tua menyarankan untuk mengambil jurusan guru saja. Sebab itu lebih cocok bagi saya yang seorang perempuan. Saat itu saya ingin sekali mengambil jurusan hukum. Entah mengapa saya ingin menjadi seorang hakim, jaksa, atau pengacara. Keinginan itu jelas ditolak mentah-mentah oleh orang tua. Sampai akhirnya saya kuliah di jurusan guru seperti keinginan orang tua saya.

Saya kurang paham apakah memang kebanyakan orang tua seperti itu, senantiasa menyarankan anak perempuannya menjadi guru atau tidak. Tapi yang jelas ketika saya sudah menikah, dan kelak memiliki anak, saya punya keinginan untuk membebaskan pekerjaan yang akan anak saya pilih, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Saya merasa arahan tentang pekerjaan perempuan sebaiknya menjadi guru, sebaiknya begini atau begitu justru lambat laun membunuh cita-cita perempuan. Anggapan tentang tipe-tipe pekerjaan yang lebih cocok diperankan perempuan seperti guru, desainer pakaian, baby sitter, koki masak, dan lain sebagainya yang sering dianggap cocok untuk perempuan itu sedikit aneh. Sementara ada beberapa deretan pekerjaan yang lebih cocok untuk laki-laki seperti pilot, tentara, direktur, marketer, programmer dan seterusnya. Betapa terlihat, kalau dunia tempat kita hidup selalu sibuk mendikotomikan sesuatu.

Pengkelompokan jenis pekerjaan gender itulah yang nantinya membentuk kelas atau hierarki di tengah masyarakat. Jika sudah begitu, akan ada satu pihak yang nantinya lebih dimuliakan, dianggap tinggi, dan minta dilayani. Begitu juga sebaliknya, akan ada pihak yang lebih rendah, boleh diperlakukan semena-mena, dan harus melayani. Padahal proses penciptaan manusia tidak bertujuan untuk saling menunjukkan siapa yang paling tinggi.

Hal itu barangkali disebabkan karena kodrat biologis laki-laki dan perempuan yang berbeda. sehingga pekerjaan yang dianggap berat lebih cocok untuk laki-laki sementara yang lebih ringan lebih cocok untuk perempuan. Padahal laki-laki dan perempuan punya kemampuan berpikir dan berdaya guna yang sama. Namun, takdir biologis yang ada pada perempuan juga semestinya diterima dengan keadilan yang hakiki.

Tapi kemudian, perempuan dipinggirkan dengan beberapa pekerjaan yang dianggap sebagai pelengkap saja, digaji tidak sama karena produktivitasnya terganggu dengan takdir biologis, dan hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan saja. Perempuan dengan setiap takdirnya yang meliputi menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui semestinya diterima dengan dukungan dan ruang aman. Bukan karena takdirnya itu, justru dimarginalkan dari peluang menggunakan potensinya untuk mengejawantahkan kebaikan di muka bumi ini.

Adanya ruang aman dan dukungan kepada perempuan untuk bebas memilih profesi yang cocok dengannya adalah salah satu langkah untuk maju, baik secara individu maupun kolektif. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menjelaskan, penghasilan perempuan secara ekonomi akan menunjang kemajuan bagi sebuah negara. Namun, karena pengelompokkan pekerjaan ini juga sering kali membuat perempuan hanya memiliki kesempatan pendidikan yang kecil. Akibatnya, mereka akan lebih rentan mengalami pemiskinan dibandingkan laki-laki.

Perempuan yang seringkali tidak diberi pilihan, bahkan peluang, akhirnya hanya ditelan tugas-tugas domestik. Bukan berarti tugas domestik tidak penting, melainkan semestinya tugas tersebut dapat dipilih dan dilakukan secara sadar bagi perempuan. Namun nyatanya, masih banyak perempuan yang terpaksa di rumah saja karena suami memintanya tidak bekerja dan fokus mengurus anak dan rumah tangga. Padahal si perempuan merasa rutinitas di rumah membosankan, ia merindukan aktivitasnya seperti dahulu saat kuliah dan masih lajang. Bertemu dengan teman-teman, bertukar pikiran, menjadi relawan, serta menebar kebaikan yang luas.

Bukan berarti perempuan yang di rumah saja tidak menebar kebaikan, tapi jika ia punya keinginan untuk beraktivitas di ranah publik, dan lingkungan justru mengekangnya, saya rasa saat itulah perempuan gagal merdeka. Namun, jika perempuan sedari awal memilih untuk di rumah saja mengurus anak dan ranah domestik, hal itu yang membuatnya nyaman dan dia punya privilege untuk melakukan itu, maka ia dapat merdeka dengan menjalani apa yang sudah menjadi keinginannya.

Di sekitar kita mungkin banyak juga profesi yang diambil oleh perempuan, seperti bankir, dokter, tenaga kesehatan, karyawan swasta, pedagang ikan, tukang parkir, ojek online, petani, polisi, petugas kebersihan, hingga nelayan. Tapi saya tidak yakin tentang jaminan kelangsungan kerja, kontrak kerja yang jelas, cuti menstruasi dan melahirkan, dispensasi ketika anak sakit. Perempuan dengan segala potensi yang ada tentu saja membutuhkan pemenuhan hak dari kebijakan yang adil secara hakiki, yaitu peraturan yang memperhatikan setiap kebutuhan dan pengalaman biologisnya perempuan.

Mungkin dapat kita temui, beberapa pekerja perempuan yang belum mendapat upah yang setara dengan laki-laki, padahal beban kerjanya sama. Hal itu disebabkan status perempuanya sering kali dianggap sebagai pencari nafkah tambahan saja. Sehingga jika digaji tidak full pun tidak apa-apa. Padahal hal itu seharusnya mulai digeser dengan penyetaraan. Demi terciptanya ekonomi yang seimbang dan merata.

Perempuan hari ini sedang memperjuangkan kemerdekaannya secara utuh, merdeka untuk memilih jalan hidup, jalan karir, dan pekerjaan apa yang ia sukai. Sementara masih banyak pihak yang belum bisa menerima kenyataan bahwa hari ini perempuan sudah paham dirinya
harus berdaya. Maka dari itu, jika tulisan ini dibaca oleh laki-laki atau siapapun yang belum setuju bahwa perempuan berhak memilih pekerjaan yang ia suka, maka kalian harus menyadari bahwa toxic masculinity sejatinya mengakibatkan banyak kesulitan. Baik untuk perempuan maupun laki-laki itu sendiri.

Penulis merupakan pemenang lomba #MuslimahMerdekaBekerja kategori blog.

K. H. Ahmad Ishomuddin dan Pandangan-Pandangan Ulama Soal Perempuan Bekerja

Oleh: K.H. Ahmad Ishomuddin

Saya sangat tertarik dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Lies Marcoes terkait kemenangan Taliban di Afghanistan yang sangat konservatif. Saya teringat tahun 2014, saya ikut serta dalam konvensi Internasional tentang hak-hak perempuan di Kabul. Saya menyampaikan satu makalah yang berjudul Perempuan dan Posisinya serta Hak-haknya dalam Syariat Islam dan Perundang-undangan. Dalam makalah tersebut, saya mengutip sebuah disertasi dari Universitas Al-Azhar, saya juga mengutip ayat-ayat Al-Qur’an yang memicu perdebatan dengan salah seorang menteri dari Taliban yang tidak menyetujui usulan saya agar perempuan-perempuan Afganistan diberi kebebasan  untuk belajar memperoleh pendidikan yang layak dan pekerjaan yang sesuai seperti guru, perawat dan dokter. Namun mereka tetap pada pandangan yang bersumber dari ayat Al-Qur’an bahwa perempuan menetap saja di rumah, tidak keluar-keluar dari rumah (ayat wa qarna fii buyutikunna yang dipahami dengan pemahaman yang sangat sempit).

Saya mengucapkan terima kasih karena sudah diberi kesempatan untuk memberikan pengantar dalam kegiatan yang sangat bermanfaat bagi para juru dakwah. Saya perlu menyampaikan bahwa NU mendukung perempuan yang saat ini masih termarginalkan dan masih banyak laki-laki masih tidak menghormati dan mendiskriminasi hak-hak perempuan. Membicarakan soal perempuan bukan persoalan mudah, para ahli fikih klasik masih mempersoalkan bukan hanya terkait perempuan bekerja, namun juga terkait perempuan keluar rumah untuk bekerja.

Saya pernah membaca kitab al-Fatawa al-Kubro al-Fiqhiyyah (bab An-Naafaqah, juz 4, hal. 205) yang ditulis oleh Ibnu Hajar Al-Haitami. Ibnu Hajar ditanya, “apakah perempuan boleh keluar dari rumah suaminya untuk meminta fatwa dan bekerja? Ibnu Hajar menjawab, “perempuan boleh keluar rumah tanpa perlu meminta izin pada suaminya dalam kondisi darurat (seperti takut rumahnya runtuh, takut kepada musuh, takut rumahnya terbakar dan tenggelam)”. Yang menarik di dalam kitab itu dijelaskan, “dan perempuan boleh keluar rumah tanpa izin suami karena ada keperluan untuk mencari penghidupan (bekerja mencari nafkah), apabila seorang suami tidak mencukupi kebutuhan si istri. Istri juga boleh keluar rumah tanpa izin suami ketika seorang istri meminta fatwa kepada ulama, kecuali si suami dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang dihadapi istri”.

Kitab ini penting menjadi sebuah rujukan. Saya ingin mengambil kesimpulan dari apa yang disampaikan oleh Ibnu Hajar, ternyata sejak dahulu perempuan boleh bekerja bahkan dalam situasi darurat karena suami tidak mampu menafkahi, memberikan jawaban (fatwa) kepada istrinya. Tetapi untuk menghindari pertengkaran dengan suami, tidak ada salahnya istri meminta izin terlebih dahulu kepada suami.

Dalam kitab lain yaitu Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Al Fadzi Al Minhaj (juz 3, hal. 582-583) dikatakan bahwa perempuan mempunyai hak untuk keluar dari rumahnya dalam waktu yang terbatas (di siang hari) untuk memperoleh nafkah (penghasilan) dengan bekerja atau berbisnis atau meminta kepada yang mampu dan suami tidak boleh menghalanginya istrinya yang fakir (tidak memiliki penghasilan) atau termasuk perempuan kaya. Suami tidak boleh melarang karena adanya kemampuan untuk mengerti posisinya sebagai suami dan ketaatan istri kepada suami yang mengharuskan suami memberikan nafkah kepada istri yang merupakan haknya. Apabila suami tidak mampu mencukupinya, maka suami tidak boleh menahan (memenjarakan) di dalam rumah. Tetapi seorang istri sebagai ibu rumah tangga, harus kembali ke dalam rumah di waktu malam karena waktu untuk beristirahat bukan untuk bekerja.

Saya juga teringat kitab fikih madzhab Dawud Azh-Zhahiri yang tidak banyak oleh umat Islam Indonesia yaitu kitab Al-Muhalla Bil Atsar yang ditulis Ibnu Hazm. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa ada satu orang suami bangkrut dan tidak memiliki penghasilan, sehingga tidak cukup untuk menafkahi istri dan suaminya. Ibnu Hazm memberikan penjelasan, “jika seorang istri dalam kondisi kaya dan mampu, maka wajib bagi istri memberikan nafkah kepada suaminya yang dalam kondisi bangkrut dan itu tidak dianggap sebagai hutang suami yang wajib dikembalikan kepada istrinya”.

Dalam kitab madzhab Imam Syafi’i yaitu di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhadzab menjelaskan penjelasan yang berbeda dengan pendapat Imam Dawud Azh-Zhahiri, “apabila seorang suami bangkrut dan istrinya mampu, ia wajib memberikan nafkah kepada suaminya dalam madzhab Imam Syafi’i dihitung bahwa nafkah yang telah dikeluarkan oleh istri kepada suami dihitung sebagai hutang yang wajib dikembalikan”.

Bekerja merupakan hak bagi setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan. Bekerja juga merupakan suatu kewajiban, karena sebagai sarana agar manusia bisa tetap hidup dan memakmurkan kehidupan di sekitar kita. Adapun lapangan kerja saat ini sangat banyak baik di dalam dan di luar rumah. Yang menjadi persoalan saat ini adalah perempuan yang bekerja di luar rumah. Sementara seluruh ulama juga memberikan arahan bahwa diantara tugas istri adalah mengurus hal yang penting di dalam rumah tangga seperti mengurus anak. Di rumah maupun di luar rumah perempuan wajib bekerja karena Islam tidak menyukai manusia yang senang menganggur.

Adapun bekerja di dalam bahasa Arab disebut al-amal (bekerja)Kata ini banyak dipakai di dalam istilah-istilah yang berkaitan dengan urusan ukhrawi (akhirat). Bekerja berkaitan dengan ibadah kita dan pengabdian kita kepada Allah Swt dengan melaksanakan yang fardhu dan hal-hal yang disunnahkan di dalam agama, meskipun bekerja yang tidak menghasilkan materi. Akan tetapi di sisi lain, bekerja ada yang bermakna duniawi, bekerja adalah mengerahkan kemampuan secara maksimal baik yang berkaitan dengan tubuh manusia (menggunakan fisik) maupun akalnya (menggunakan kecerdasannya) untuk meraih rizki dan memperoleh penghidupan. Inilah makna bekerja dalam perspektif ekonomi. Yang demikian ini banyak sekali ayatnya di dalam Al-Qur’an (surat Al-Mulk ayat 15).

Perintah bekerja ada di dalam Al-Qur’an dan perintahnya itu bukan hanya untuk kaum laki-laki tetapi juga untuk perempuan. Dalam surat Yaasin ayat 35, “supaya mereka dapat makan dari buahnya dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?”. Ayat ini mengisyaratkan tentang adanya perkebunan buah dan pertanian di mana laki-laki dan perempuan dapat bercocok tanam.

Bekerja bagi perempuan di luar rumah dalam semua aspek pekerjaan merupakan sesuatu yang niscaya di dalam Islam. Karena para Nabi terdahulu yaitu Nabi Syuaib memiliki kedua putri yang membantunya menggembalakan ternak (bekerja sebagai penggembala). Dengan berkembangnya zaman, pekerjaan menjadi lebih beragam bukan hanya menjadi penggembala. Hal ini terus berlangsung hingga masa Nabi Muhammad Saw. dimana perempuan terus bekerja di luar rumah seperti meuntut ilmu dan mencari penghidupan.

Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, ada seorang perempuan yang bernama Asma binti Abi Bakar Ash-Shidiq, ia adalah istri Zubair bin Awwam. Asma bekerja untuk memberikan makan kepada unta dan kuda. Hal ini tidak diingkari oleh Nabi Muhammad Saw. Di dalam kitab lain juga dijelaskan bahwa Asma bekerja menjadi seorang penggembala untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di Mekkah. Selain itu, Asma juga bekerja untuk mengantarkan kebutuhan Rasulullah dan kebutuhan sahabat dekatnya yang menemaninya di Gua Tsur ketika akan hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Perempuan yang paling terkenal adalah Sayyidah Khadijah binti Khuwailid. Sayyidah Khadijah adalah seorang pembisnis, sehingga Ibnu Hisyam dalam kitabnya Sirah Nabawiah menuliskan, “Sayyidah Khadijah merupakan perempuan dengan nasab menengah di kalangan orang Quraisy dan perempuan paling mulia di kalangan orang Quraisy. Dan Sayyidah Khadijah adalah seorang yang sangat kaya karena ia menjadi pedagang yang sukses.

Dalam kehidupan sehari-hari baik secara teori maupun praktik, perempuan bekerja menjadi suatu kenyataan bahwa mereka akan selalu bekerja hingga hari kiamat. Tidak patut bagi laki-laki menghalangi perempuan untuk bekerja. Meskipun di antara para ulama memberikan syarat-syarat yang tetap, sedang dan longgar. Perempuan adalah penyempurna laki-laki, sebagaimana laki-laki juga penyempurna bagi perempuan. Mereka hidup bersama-sama di muka bumi.

Terkait apa yang telah disampaikan oleh ibu Lies Marcoes bahwa akan dikaji dukungan terhadap perempuan bekerja melalui metodologi dan teori-teori maslahah yang dikemukakan oleh para ulama ahli tentang al-maslahah (maqasid syariah). Saya teringat dalam Tafsir Al-Manar, Jamaluddin Al-Qasimi seorang ulama memberikan catatan, “Apabila ada problem bagi para peneliti atau bagi orang yang sedang mencari jalan kebenaran tentang suatu hukum, apakah sesuatu itu boleh atau diharamkan”. Misalnya pertanyaan terkait hukum perempuan keluar rumah untuk bekerja. Pertanyaan ini terkait dua hal yaitu hukum keluar rumahnya itu bagaimana dan hukum bekerjanya bagaimana. Akan ada dua jawaban dari ulama, ada ulama yang membolehkan, juga ada ulama yang mengharamkan. Untuk mencari jalan keluarnya, hendaklah para peneliti mencari dan melihat hukum itu pada kerusakannya (apakah ada faktor-faktor yang merusakkannya), hasilnya dan tujuan yang ingin dicapainya (kalau tujuannya kemafsadatan, tentu saja tidak dibolehkan). Apabila suatu perbuatan itu mengandung mafsadat yang kuat dan nyata, maka mustahil bagi Allah Swt memerintahkan sesuatu yang merusak dan tidak mungkin bagi Allah membolehkan sesuatu yang mengandung kemafsadatan. Bahkan pasti syariat agama juga akan mengharamkan sesuatu yang dibenci oleh Allah Swt.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang digeluti perempuan baik di dalam maupun di luar rumah harus sesuatu pekerjaan yang tidak diharamkan agama, tidak membahayakan dirinya dan keluarganya. Para tokoh agama dalam training ini dapat merujuk ke kitab-kitab lama dari kalangan umat Islam yang di dalamnya masih sangat kaya memberikan informasi yang akan memberikan maslahat bagi kemajuan perempuan, karena majunya suatu negara tergantung kepada majunya perempuan di dunia pendidikan, ilmu maupun ikut sertanya perempuan bersama laki-laki tanpa mengabaikan aturan agama yang menyebabkan kerusakan seperti rusaknya rumah tangga karena terlalu sibuk bekerja tetapi tidak memiliki tanggung jawab di dalam rumah tangganya.

Semoga training ini menjadi kegiatan yang memberikan pengaruh pikiran kepada para peserta untuk senantiasa menghargai perempuan yang bekerja di dalam maupun di luar rumah.

Naskah ini merupakan sambutan pembukaan (keynote speech) K.H. Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU, dalam Penguatan Kapasitas Tokoh dan Penceramah Agama untuk Membangun Narasi Hak Perempuan Bekerja di Wilayah Bandung

Membaca Fikih Perempuan Bekerja dari Kacamata Dr. Muhamad Ali

Tulisan ini diolah berdasarkan hasil diskusi buku Fikih Perempuan Bekerja, 21 Juli 2021

Oleh: Fadilla Putri

Dr. Muhamad Ali merupakan seorang Associate Professor of Religious Studies and Director of Middle East and Islamic Studies Program di University of California, Riverside, Amerika Serikat. Salah satu materi yang beliau ajarkan adalah terkait perempuan dan gender dalam sejarah, dalam agama-agama dan budaya, juga dalam konteks perkembangan gerakan pembebasan dan kesetaraan gender Muslim di Timur Tengah, Barat, dan Indonesia. Dr. Ali sangat mengapresiasi isi buku Fikih Perempuan Bekerja karena topik dalam buku ini sangat penting dan bisa menjadi bahan dan data kajian-kajian empiris bagaimana kenyataan sikap laki-laki dan perempuan terhadap perempuan bekerja di Indonesia. Menurutnya, ini adalah buku pertama yang membahas perempuan bekerja dalam konteks Indonesia. Ada beberapa poin hasil bacaan Dr. Ali, dan beliau fokus di Bab 3 tentang penggunaan maqashid syariah dalam mendukung perempuan bekerja.

Sebelumnya, Dr. Ali menggambarkan bagaimana kajian gender di Amerika. Meskipun kajian ini lebih dulu ada di Amerika daripada Indonesia, tetapi ini bisa berjalan bersamaan dan saling memengaruhi. Kajian-kajian di Amerika bisa memengaruhi di Indonesia, begitu juga sebaliknya. Artinya, kita masih mempunyai potensi yang luar biasa untuk melahirkan perempuan-perempuan sebagai penafsir. Misal bukunya Ibu Lies Marcoes yang berjudul Merebut Tafsir. Itu adalah salah satu contoh kita membutuhkan penafsir-penafsir baru dalam Islam. Karena di Amerika juga penafsir Islam masih didominasi oleh laki-laki. Beliau berharap buku ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga bisa mewarnai gerakan dan wacana kesetaraan gender khususnya perempuan bekerja di Amerika dan Indonesia.

Masalah perempuan bekerja bukan masalah komunitas Muslim saja, melainkan juga di komunitas agama lain. Di Amerika juga ada kajian yang menarik soal public role of women in America dan diskusinya juga mirip; mereka menggunakan teks-teks dan institusi agama yang cenderung patriarkal dan misoginis, karena memang majelis agama yang mengeluarkan aturan keagamannya kebanyakan laki-laki.

Kita biasa menggunakan kata Jahiliah, termasuk juga dalam buku ini. Kita membedakan antara masa Jahiliah dengan masa Islam, seolah-olah masa Islam (masa diturunkannya Al-Qur’an) itu sudah final dan dalam masa Jahiliah posisi semua perempuan kurang baik. Namun, kita perlu membaca juga sejarah pra-Islam. Kalau di dalam buku ini, perempuan sebelum Islam mengalami diskriminasi (tidak bisa bekerja, sulit menginisiasi perceraian, sulit menjadi pemimpin). Namun, dalam buku-buku sejarah pra-Islam, di masa pra-Islam (Jahiliah) banyak juga perempuan mempunyai posisi yang kuat dan mereka bekerja. Contohnya Siti Khadijah, ia bekerja sebelum menikah dengan Nabi Muhammad saw. Pada masa pra-Islam, perempuan yang independen dan mandiri itu sudah ada. Namun memang dominannya masih patriarkal. Tapi jangan mengatakan bahwa seluruh Jahiliah itu tidak memberikan peran perempuan yang setara.

Dulu, sebelum Islam, bukan hanya di Timur Tengah tetapi juga di Yunani, Romawi, Byzantium dan lainnya, sebetulnya mereka juga memiliki praktik yang beragam. Perempuan yang menjadi Nabi, menjadi Tuhan, dan figur Tuhan perempuan (female Goddess) cukup populer di beberapa peradaban sebelum Islam. Namun dalam peradaban Islam, Yahudi, dan Kristen, Tuhan digambarkan laki-laki, dan bahasa teks tentang Tuhan adalah laki-laki.

Selama ini kita kerap menyangka, Barat selalu baik dari pada Timur, begitu juga dalam kesetaraan gender. Nyatanya tidak begitu. Menurut Aristoteles, seorang filsuf Yunani, fungsi dan peran perempuan adalah memproduksi keturunan. Artinya, ia masih menganggap perempuan lebih rendah. Ia juga membandingkan bahwa perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah seperti jiwa dan badan, seperti berpikir rasional dan emosional. Hal inilah yang dikritik oleh para feminis di Barat. Mereka mengkritik sejarah yang misoginis, patriarkal, dan anti kesetaraan gender. Hal inilah yang perlu disampaikan pada tokoh agama; ini bukan persoalan Barat, bukan persoalan kita ingin meminjam Barat secara sepenuhnya dan dipaksakan untuk memahami persoalan Islam dan Timur.

Contoh lain tentang pra-Islam yang berkaitan dengan perempuan bekerja adalah, di buku ini ditulis transaksi ekonomi begitu kompleks untuk perempuan. Oleh karenanya, perempuan dianggap tidak pandai mengurus keuangan. Artinya, yang harus mengurus keuangan adalah laki-laki. Pandangan ini muncul dari hukum Athena dan Yunani, yang artinya di Barat pun menghadapi persoalan yang sama. Hal inilah yang kemudian dikritik oleh para feminis di Barat.

Beberapa catatan penting Dr. Ali dari buku Fikih Perempuan Bekerja adalah:

  1. Teks sebagai nash. Apakah teks seperti arrijalu qawwamuna ‘alannisa itu deskriptif atau preskriptif? Deskriptif itu hanya mendeskripsikan memang pada waktu turunnya ayat itu adalah arrijalu qawwamuna ‘alannisa. Namun kalau preskriptif, maka itu normatif. Kalau memahaminya secara preskriptif, maka laki-laki harus menjadi pemimpin. Memahami deskriptif dan preskriptif adalah dua paradigma yang berbeda. Inti yang secara umum dipahami adalah arrijalu qawwamuna ‘alannisa bukan sekedar khabar, tetapi insya’i. Ini adalah dua perspektif yang bisa saling menguatkan. Meskipun di dalam buku ini, arrijalu bisa jadi adalah perempuan dan rijal bukan berarti perempuan biologis. Makna rijal di dalam buku ini adalah penafsiran yang menarik dan progresif. Penafsiran seperti ini bisa terus dikembangkan.
  2. Apakah nash termasuk Al-Qur’an itu final atau sebagai proses. Kalau kita melihat Al-Qur’an sebagai final, kita akan sering mentok. Karena bagaimanapun di dalam Al-Qur’an tertulis tentang perbudakan atau tentang poligami. Kalau kita memahami teks sebagai final, perdebatannya akan sangat panjang karena mereka juga akan menganggap hal itu adalah preskriptif. Jadi memahami mana yang prinsipal, fundamental, dan furu’iyyah akan berbeda-beda. Oleh karenanya, muncul kelompok konservatif dan progresif karena teks itu sendiri yang dipahami secara final. Kalau kita menganggap Al-Qur’an sebagai proses, mungkin akan lebih baik. Menurut saya, perlu dikedepankan memahami teks Al-Qur’an (bukan hanya hadis) sebagai proses dan respons pada masa itu.
  3. Berkaitan dengan maqashid syariah, ada lima hak yang ditulis di buku ini. Maqashid syariah bisa konstruktif dan destruktif. Baik Salafi maupun Islamis juga ada yang menggunakan maqashid syariah untuk melanggengkan ketidaksetaraan gender. Tantangannya adalah bukan antara konservatif dan progresif, tetapi progresif yang Islamis dan progresif non-Islamis.
  4. Terakhir, tafsir kita masih komunalisme (berpikir tentang komunitas) yang mengandung unsur conformity, yaitu bagaimana meng-conform terhadap yang mayoritas (mainstream). Menurut beliau, salah satu tantangannya adalah bagaimana perempuan diberikan ruang seluas-luasnya untuk memiliki agensi dan memiliki otonomi individual. Boleh saja perempuan itu sebagai pribadi berbeda dari orang lain, termasuk berbeda dari keluarga atau Hal yang dijamin dalam konsep feminis Barat adalah otonomi individual sehingga perempuan menjadi kritis, mandiri, dan bisa menafsirkan ulang teks-teks sesuai dengan apa yang ia rasakan sebagai kebenaran berdasarkan pengalamannya. Karena menurut beliau, maqashid syariah bukan hanya soal proteksi, tetapi persoalan kebebasan.

Menolak Ceramah Ustadz Khalid Basalamah yang Bilang Perempuan Hanya Berurusan dengan Rumah

Oleh: Nurdiani Latifah

 

Kata Ustadz Khalid Basalamah, perempuan urusannya hanya dengan rumah belaka. Padahal, sejatinya tidak.

Ceramah Ustad Khalid Basalamah tentang 70 kekeliruan wanita masih terus ditonton oleh para pengikutnya. Salah satunya tentang perempuan yang melalaikan urusan rumah. Dalam ceramah tersebut, mendeskripsikan semua urusan rumah adalah urusan perempuan. Mulai dari disimpannya hal-hal kecil di rumah harus diingat dan diurusi oleh perempuan. Sedangkan laki-laki tidak dibebankan oleh urusan rumah.

Bahkan, dalam ceramah tersebut perempuan beribadah tergantung izin suami. Hal ini mirip dengan ajaran Brahmanisme. Serta menandakan jika urusan perempuan adalah urusan rumah. Dan urusannya dibawah urusan laki-laki . Dengan kata lain, Laki-laki atau suami diberikan penghormatan yang tinggi dalam rumah tangga, sehingga perempuan atau istri otorisasinya dibawah laki-laki atau suami.

Bisa dibayangkan, perempuan harus memiliki mengingat yang kuat tentunya untuk mengingat sejumlah perkara yang ada di rumah. Katanya, urusan rumah adalah urusan yang sudah diamanahkan suami, sehingga semuanya harus diingat jelas. Celaka jika seorang istri mengatakan “lupa lagi” atas perkata penyimpanan obeng rumah atau lem aibon.

Selain itu, dalam ceramah tersebut digeneralisir jika urusan rumah yang diurusi istri menjadi urusan perempuan secara perempuan. Dari sana, saya sebagai perempuan yang masih single melihat ingatakan suami-istri sebagai hal yang menakutkan. Apalagi, saya sebagai seseorang yang sering lupa banyak hal. Mengirimkan laporan bulanan kantor saja, seringkali saya lupa kirim padahal sudah selesaikan. Apalagi, saya harus mengingatkan banyak hal yang ada di dalam rumah. Sungguh, otak saya akan bekerja terlalu keras untuk berusaha mengingat barang-barang yang ada di rumah.

Apa yang diungkap dalam ceramah Ustad Khalid Basalamah mengingatkan saya pada Thomas Aquinas, seorang teolog dan filsuf terbesar Gereja Katolik. Aquinas menjelaskan tiga hal alasan perempuan diciptakan dari laki-laki. Hal pertama, agar laki-laki diberikan kehormatan karena Tuhan adalah prinsip utama universum. Kedua menurut Aquinas mungkin laki-laki akan lebih mencintai perempuan dan lebih melekat padanya. Sehingga, dikatakan perempuan adalah bayangan dari laki-laki. Hal ketiga, Aquinas menegaskan jika dalam kehidupan rumah tangga, perempuan memang ditugaskan untuk tugas khusus, yaitu tugas domestik.

Dari penjelaskan Aquinas ini kita semua bisa menangkap jika perempuan bukan diciptakan sebagai produksi pertama. Melainkan penciptaannya tergantung laki-laki. Dari dua penjelasan, baik ceramah Ustad Khalid Basalamah dan Aquinas, nampaknya kita perlu bercermin pada sejumlah budaya di zaman Jahiliyah yang menyebutkan jika perempuan bukan makhluk sesempurna laki-laki.

Seperti pada surat An-Nahl ayat 58-59 dijelaskan jika kabar seorang anak perempuan adalah kabar hitam yang buruk. Serta di tahun 1612 di Inggris, para perempuan dijatuhi hukuman yang sangat berat jika melanggar perintah suami. Dari serangkaian penjelasan tersebut kita perlu kembali mengingat sebuah buku yang tulis oleh MacKinnon dalam buku yang berjudul Feminism, Marxism, Method and the State : An Agenda for Theory, menjelaskan heterosesksualitas merupakan wilayah utama untuk menunjukan kekuasaan laki-laki atas perempuan dan kekuasaan seperti ini dasar dari ketimpangan gender.

Dari buku yang ditulis pada 1982 itu, para feminis menaruh perhatian pada seksualitas terdapat ketidakadilan gender, di mana ada hierarki laki-laki mengatasi perempuan. Terdapat kontruksi sosial dari kekuasaan laki-laki yang didefinisikan oleh laki-laki dan dipaksakan kepada perempuan. Dan pemaksaannya diformulasikan secara gender. Perspektif tersebut, mensubordinasikan peempuan melalui seksualitas.

Di saat yang bersamaan, filsuf perempuan bernama Kate Millet dalam sebuah buku Sexual Politic mengatakan seks adalah politik yang didasarkan pada paradigm kekuasaan yang mendapat legitimasi dari ideology patriarkal. Ideologi patriarkal ini melebih-lebihkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Serta memastikan laki-laki akan selalu dominan dan perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah. Namun, apakah ideologi ini dapat diubah?

Ideologi patriarkal ini sangat kuat dan sulit dilawan. Adapun ketika perempuan melawan, para perempuan akan berurusan dengan pandangan dunia yang menentangnya. Lalu apa yang harus dilakukan? Diakui atau tidak, saat ini ada banyak elemen yang berusaha menciptakan masyarakat baru di mana perempuan dan laki-laki menjadi setara dalam setiap tingkat eksistensinya.

Misalkan dalam hubungan suami-istri bisa menerapkan ajaran yang bersifat qath’i dan dzann. Qath’i merupakan ajaran yang bersifat universal dan fundamental, seperti keadilan, musyawarah dalam hal urusan bersama, dan lainnya. Sedangkan dzann adalah ajaran yang tidak self-evendeny dan terikat oleh ruang dan waktu serta situasi dan kondisi. Sehingga, prinsip kesamaan derajat antar jenis kelamin dan demokrasi keluarga merupakan solusi yang tidak dapat ditawar lagi.

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Islami.co.

Metode Andragogi dalam Modul Pelatihan: Upaya Membangun Kesadaran Berkeadilan Gender

Oleh: Wa Ode Zainab ZT

 

Judul               : Modul Penguatan Kapasitas Membangun Narasi Pemenuhan Hak Perempuan Bekerja untuk Tokoh Agama

Tim Penyusun : Achmad Hilmi, Fadilla D.Putri, Lies Marcoes, Nur Hayati Aida, Nurasiah Jamil

Penerbit           : Yayasan Rumah KitaB atas dukungan DFAT-Investing in Women–2021

Tebal               : 126 halaman

Berdasarkan pantauan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) sejak tahun 2013, pandangan yang membatasi perempuan bekerja semakin menyebar sebagai wacana dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Pandangan konservatif, mengenai ‘perumahan’ perempuan, ini terutama dipengaruhi oleh dakwah yang dilakukan para tokoh agama atau publik figur. Mereka menyuarakan pembatasan peran perempuan di sektor publik, termasuk pelarangan perempuan bekerja. Padahal, fenomena perempuan bekerja bukanlah hal tabu di negeri ini. Namun, ketika para agamawan berbicara dengan dalil agama, maka mayoritas masyarakat akan menerimanya, tanpa menelaahnya lebih mendalam.

Atas dasar itulah, Rumah KitaB berpandangan perlu adanya narasi tanding atas pembatasan perempuan bekerja. Lembaga ini bekerja sama dengan pemerintah Australia dalam program Inventing in Women menginisiasi pelatihan bagi tokoh agama atau penceramah. Adapun upaya awal untuk perubahan norma gender dalam masyarakat Indonesia ialah dengan membuat modul yang efektif dalam rangka penguatan kapasitas mereka sebagai peserta pelatihan. Modul tersebut didesain guna mencapai tujuan pelatihan, yaitu untuk membangun narasi pemenuhan hak-hak bekerja bagi perempuan dalam sudut pandang Islam.

Rumah KitaB sebagai lembaga riset berbasis kebijakan, untuk memperjuangkan hak-hak kaum termarjinalkan, menyadari bahwa tokoh agama atau penceramah merupakan subjek utama dalam konteks ini. Mereka berperan dalam memproduksi narasi berbasis teks keagamaan mengenai ‘perumahan’ perempuan. Pandangan ini berdampak pada diskriminasi terhadap perempuan yang memilih untuk bekerja atau terdesak memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sedangkan, masyarakat akan memberikan stereotipe negatif terhadap mereka yang tidak mengindahkan seruan para penceramah; berarti tidak beragama secara kaffah.

Ditambah lagi peliknya problematika lainnya yang harus dihadapi perempuan bekerja. Mereka harus menghadapi beban ganda, serta minimnya ketersediaan infrastruktur penunjang seperti day care, ruang laktasi, cuti hamil, dan akses kesehatan reproduksi. Perempuan pun harus berjuang keras dalam konstestasi kerja yang acap kali memandang sebelah mata perempuan yang memiliki karir cemerlang. Faktanya, perkembangan global di era kontemporer ini membuka peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai sektor. Tantangan inilah yang disoroti Rumah KitaB untuk diselesaikan akar persoalannya. Dengan adanya pelatihan bagi penceramah di empat wilayah urban, yaitu Jakarta, Depok, Bekasi, dan Bandung diharapkan bisa mempengaruhi atmosfer narasi sosial-keagamaan yang tidak bias gender terkait “perempuan bekerja”.

Modul Sistematis, Modal Keberhasilan Pelatihan  

Modul ini disusun oleh Tim Rumah KitaB sebagai rujukan bagi fasilitator yang akan mendampingi peserta pelatihan yang notabene tokoh agama, penceramah, atau pemilik otoritas keagamaan. Sebagai panduan pembelajaran berkelanjutan, modul ini didesain untuk mengembangkan pandangan keagamaan yang progresif, serta terbuka pada gagasan Islam tentang hak perempuan bekerja. Adapun fasilitator ialah tim internal Rumah KitaB yang telah berpengalaman, serta memiliki pemahaman komprehensif terhadap modul.

Adapun dua tujuan utama yang hendak dicapai melalui modul ini: Pertama, memberi kemampuan kepada peserta pelatihan untuk memahami problem perempuan bekerja akibat pandangan keagamaan yang membatasi atau melarang perempuan bekerja. Kedua, peserta terampil menggunakan argumentasi keagamaan dalam mendukung atau melakukan pendampingan komunitas atau masyarakat di mana mereka beraktivitas berlandaskan pada narasi keagamaan tentang perempuan bekerja.

Setiap modul disusun dengan struktur yang sistematis untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang bagaimana pengertian, tujuan, dan cara-cara yang diterapkan dalam pelatihan. Adapun struktur materi sebagai berikut: Judul Materi; Deskripsi Materi; Tujuan; Pokok Bahasan; Waktu; Metode; Alat dan Bahan; Langkah-Langkah Kegiatan. Selain itu, modul ini dilengkapi dengan lembar-lembar petunjuk bagi fasilitator, seperti Pedoman Fasilitator (PF), Alat Bantu Belajar (ABB), Lembar Kerja (LK), Bahan Bacaan (BB), dan Bahan Tayang (BT).

Modul ini terbagi menjadi enam materi pembelajaran: 1) Perkenalan dan Pengantar; 2) Pandangan Masyarakat terhadap Perempuan Bekerja; 3) Gender dan Konstruksi Pemahaman tentang Perempuan Bekerja; 4) Metodologi Reinterpretasi Teks Keagamaan; 5) Strategi Mendukung Perempuan Bekerja dan Mengaktualisasikan Diri; 6) Rencana Tindak Lanjut dan Evaluasi. Merujuk pada urutan materinya, maka tampak alur berpikir yang logis. Selain itu, tim Rumah KitaB menyusun petunjuk praktis bagi fasilitator, sehingga modul dapat digunakan dalam pelatihan tatap muka (offline) maupun virtual (online).

Dalam pelatihan ini, gender dipakai sebagai perspektif dan alat analisis atas kesenjangan perempuan dalam mendapatkan haknya untuk bekerja dan menyusun advokasi untuk mengatasi problem tersebut. Adapun cakupan materi terfokus pada isu perempuan bekerja dengan tujuan memberikan narasi dan logika; bagaimana Islam memiliki argumentasi yang kokoh bahwa bekerja adalah hak setiap manusia. Diharapkan setelah pelatihan ini para tokoh agama dalam perannya memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran dengan memaksimalkan kemampuan berargumentasi tentang hak perempuan bekerja dalam pandangan Islam. Dengan demikian, peserta tidak akan diajari bagaimana cara berceramah melainkan konten apa yang harus disampaikan ke umat atau masyarakat.

Andragogi, Memanusiakan Orang Dewasa

Dalam mengoperasikan modul ini, Tim Rumah KitaB mendesain alur pembelajaran dengan kerangka Pendidikan Orang Dewasa; dikenal dengan metode pendidikan andragogy. Secara etimologis, andragogi berasal dari Bahasa Latin, yaitu andros yang berarti ‘orang dewasa’ dan agogos yang berarti memimpin atau melayani. Istilah “andragogi” sebagai suatu teori dalam filsafat pendidikan pertama kali dugunakan oleh Alexander Kapp asal Jerman pada tahun 1833. Kemudian, pada tahun 1921 istilah tersebut dimunculkan kembali oleh Eugene Rosentock, seorang sejarawan dan filsuf asal Jerman. Sejak era 1970-an metode andragogi menyebar masif di berbagai belahan dunia.

Melalui pendekatan ini, fasilitator berupaya mendorong peserta pelatihan untuk aktif dalam proses belajar. Fasilitator memastikan setiap peserta pelatihan terlibat dalam proses belajar secara sistematis dan terstruktur dengan melakukan/mengalami, mengungkapkan, mengolah/menganalisis, menyimpulkan, menerapkan, melakukan kembali, dan kemudian merefleksikan pengalamannya. Proses pembelajaran ini berangkat dari kesadaran tentang filsafat pendidikan untuk pemberdayaan.

Selain dilengkapi dengan bahan bacaan yang terkait dengan tema, modul ini memang dirancang untuk mewujudkan peningkatan kapasitas dan kepekaan, serta membangun komitmen dan kolektivitas peserta pelatihan. Modul ini berlandaskan pada sejumlah pendekatan yang akan mengawali pelatihan di setiap sesi, yaitu: Tutur perempuan; Partisipatif; Penumbuhan komitmen; Kolektifitas; dan Keberlanjutan.

Proses pembelajaran dalam pelatihan ini nantinya dikelola dalam alur yang terstruktur; mengikuti alur pendidikan orang dewasa berdasarkan prinsip partisipasi. Oleh karena itu, metode ini kerap disebut sebagai daur proses pelatihan partisipatif dengan basis pengalamanan yang terstruktur. Modul ini tampak detail menyampaikan langkah-langkah yang harus dilakukan fasilitator melalui pendekatan andragogi, sehingga pelatihan dapat berlangsung  komunikatif dan efektif.

Terlebih lagi, peserta pelatihan ini merupakan para agamawan yang notabene memiliki pengetahuan dasar mengenai agama dan pengalaman berhadapan dengan umat. Melalui pendekatan pedagogi dalam modul ini, diharapkan peserta pelatihan dapat membangun kesadaran berkeadilan. Dalam membangun narasi pemenuhan hak perempuan bekerja, maka sangat diperlukan adanya “perspektif berkeadilan” yang tidak bias gender. Semoga upaya yang dilakukan Rumah KitaB ini bisa mewujudkan penguatan kapasitas tokoh agama dalam memproduksi narasi keagamaan yang mendukung kiprah perempuan bekerja. []

Pertama kali dipublikasikan di Harakah.id.

Fenomena Perempuan Bekerja: Antara Wacana dan Realita

Oleh Wa Ode Zainab Z

Apakah streotype negatif akan selalu melekat pada diri perempuan bekerja? Atas nama agama, apakah hak perempuan untuk bekerja dinafikkan?

Judul Buku      : Fikih Perempuan Bekerja

Penulis             : Tim Kajian Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB)

Editor              : Lies Marcoes M.A., Nurhadi Sirimorok, M.A.

Penerbit           : Yayasan Rumah Kita Bersama atas dukungan Investing in Women – DFAT 2021

Cetakan           : Cetakan Pertama, 2021

Tebal               : 289 halaman

Mubadalah.id – Fenomena ‘perempuan bekerja’ sesungguhnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Beragam faktor yang melatarbelakangi mereka bekerja; misalnya menopang perekonomian keluarga, membantu pekerjaan suami, bahkan mengaktualisasikan diri. Sangat disayangkan, mayoritas masyarakat masih memandang negatif perempuan bekerja. Terlebih lagi, semakin banyak pendakwah atau publik figur yang menyuarakan pembatasan peran perempuan di sektor publik, termasuk pelarangan perempuan bekerja.

Ajaran-ajaran ‘perumahan’ perempuan tersebut ditopang oleh norma gender dan nilai nilai dominan yang terinternalisasi melalui berbagai lembaga; politik, regulasi, pendidikan, media, dan lainnya. Hal ini bersifat diskriminatif yang secara tersirat mengafirmasi adanya subordinasi terhadap perempuan. Adapun dampak signifikan dari pelarangan perempuan bekerja, yaitu perempuan tidak memiliki hak penuh atas dirinya secara independen.

Sedangkan, apabila perempuan bekerja, maka mereka harus menghadapi ‘beban ganda’ karena tugas domestik dianggap tugas perempuan semata. Di ruang publik pun perempuan harus ekstra berjuang untuk membuktikan bahwa dirinya layak mengemban amanah dan tangguh menghadapi berbagai problematika dalam pekerjaan. Tekanan terberat dihadapi perempuan menikah dan memiliki anak. Mereka akan mendapatkan stigma “bukan perempuan baik-baik” atau “perempuan yang mengabaikan tugas rumah tangganya.”

Perempuan sebenarnya bisa melakukan negosiasi, tetapi hasilnya bergantung pada posisi perempuan bekerja di dalam keluarga. Meskipun, pada akhirnya, perempuan akan dihantui rasa bersalah karena bekerja di luar rumah, yang mana tidak sejalan dengan konsep keluarga ideal di dalam ajaran agama, tradisi, dan budaya. Berdasarkan berbagai problem tersebut, Rumah KitaB memandang urgensi menyediakan bacaan tentang bagaimana Islam berbicara tentang hak perempuan bekerja yang termaktub dalam khazanah pemikiran dan tradisi intelektual Islam; baik merujuk pada kitab-kitab klasik, maupun pandangan kontemporer.

Meneropong Perempuan Bekerja

Buku yang berjudul “Fikih Perempuan Bekerja” merupakan ikhtiar untuk menjawab stereotype negatif terhadap perempuan bekerja, terutama yang berlandaskan pada narasi agama. Rumah KitaB selama beberapa bulan melakukan penelitian mengenai situasi perempuan bekerja secara  kualitatif dan kuantitatif. Adapun tema yang diusung pada studi analisis tersebut yaitu, “Seberapa Jauh Penerimaan Masyarakat atas Perempuan Bekerja.”

Tepatnya pada Agustus-September 2020, Rumah KitaB melakukan studi kuantitatif yang dilakukan di empat lokasi, yaitu Bandung, Bekasi, Depok, dan Jakarta. Studi kuantitatif ini melibatkan total 600 responden, dengan pembagian masing-masing kota 150 responden. Sementara studi kualitatif dilakukan dengan mewawancarai secara mendalam terhadap 18 subyek perempuan dan 1 subyek laki-laki dengan menggunakan pendekatan etnografi feminis.

Kemudian, Rumah KitaB menggelar Focus Group Discussion yang menghadirkan narasumber ahli, para Nyai dan Kiai pengasuh pondok pesantren, serta para pengkaji keislaman klasik dan kontemporer. Peserta kajian lainnya ialah praktisi bidang usaha atau kaum professional yang terhubung dengan para perempuan bekerja, serta beberapa aktivis dan peneliti kajian gender dan feminisme. Tak syak lagi, buku ini begitu komprehensif dalam meneropong fenomena perempuan bekerja dengan berbagai jalan dan pendekatan.

Pada Bab Pertama, membahas peta masalah yang dihadapi perempuan bekerja dalam kaitannya dengan pandangan agama. Bab Kedua, menyajikan upaya rekonstruksi hukum Islam terkait perempuan bekerja yang digali dari realitas kehidupan sehari-hari. Bab Ketiga, menyajikan beberapa metodologi untuk merekonstruksi pandangan keagamaan yang mendukung perempuan bekerja melalui prinsip Maqashid Syariah. Sementara pada Epilog, terdapat berbagai prediksi apabila ajaran perumahan perempuan terus berkembang. Di bagian penutup disajikan tawaran langkah-langkah strategis yang mendukung perempuan bekerja.

Rumah KitaB menawarkan metode Maqasidh Syariah dengan memasukkan analisis gender dan feminisme. Penelitian ini berupaya untuk menyintesakan narasi teks dengan gagasan tentang pemberdayaan perempuan dalam perspektif feminis, yaitu cara pandang kritis berkenaan relasi laki-laki dan perempuan. Alur kerja metodologi Maqasidh Syariah; alur pertama ialah analisis teks, sedangkan alur kedua ialah analisis konteks.

Pada kondisi ini, Maqasidh Syariah diposisikan sebagai jalan keluar mengatasi ketiadaan hukum yang mampu menjadi solusi kemanusiaan melalui proses. Proses pertama, identifikasi persoalan; proses kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan teologis; proses ketiga, mencari pandangan alternatif dari para ulama melalui metode eklektik; proses keempat, dekonstruksi hukum Islam terkait fikih perempuan bekerja melalui pendekatan syariah dan feminisme.

Ikhtiar Jalan Tengah

Buku Fikih Perempuan ini merupakan langkah awal membangun kesadaran masyarakat bahwa perempuan memiliki relasi yang setara dengan laki-laki. Ini merupakan kerja jangka panjang untuk mewujudkan atmosfer yang mendukung perempuan bekerja. Hak perempuan untuk mengaktualisasikan diri dan memiliki akses ekonomi sesungguhnya tak hanya berdampak positif bagi kehidupan perempuan sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat. Langkah strategis ini seyogyanya disebarkan ke khalayak agar bisa dirasakan manfaatnya, baik melalui kegiatan ilmiah maupun non-ilmiah.

Buku ini diharapkan menjadi acuan bagi scholars dan para pemuka agama untuk membuka akses lebih luas terhadap pandangan keagamaan yang mendukung perempuan bekerja. Sebagaimana misi utama kehadiran buku ini yang mengupayakan pembacaan kembali teks-teks al-Qur’an dan Hadits yang mengafirmasi perempuan bekerja.

Selain itu, buku mengenai fikih perempuan bekerja yang pertama di negeri ini layak dijadikan rujukan pemerintah atau pemangku kebijakan. Tampak adanya ikhtiar Rumah KitaB dengan studi komprehensif dalam meneropong perempuan bekerja melalui berbagai cara dan pendekatan. Pemerintah diharapkan memproduksi regulasi yang mendukung perempuan bekerja, serta mengharuskan penyediaan sarana yang memudahkan perempuan menjalankan peran reproduksinya selama bekerja.

Di lain sisi, perlu kampanye masif yang dilakukan tokoh agama dan tokoh publik untuk mendukung perempuan bekerja. Kemudian, dibutuhkan narasi-narasi positif terhadap perempuan bekerja yang ditayangkan dalam berbagai media atau platform yang menggambarkan perjuangan perempuan bekerja secara positif dan inspiratif. Dalam konteks ini, perempuan bekerja membutuhkan dukungan sosial, politik, dan keagamaan yang bukan hanya menjelaskan bahwa bekerja itu hak bagi perempuan, namun juga menunjangnya adalah kewajiban yang mengikat bagi keluarga, komunitas, lingkungan kerja, dan negara.

Kekuatan buku ini adalah pada koherensi antar bab yang berupaya memotret dan menjawab problematika seputar perempuan bekerja. Selain itu, kehadiran buku ini sangat relevan dengan konteks masyarakat Indonesia, terlepas dari suku, ras, gender, umur dan kondisi fisik. Sehingga, diharapkan melalui buku ini dapat terbangun atmosfer yang mendukung perempuan bekerja agar bisa berperan dalam membangun kesejahteraan keluarga dan bangsa. Selain itu, stereotype negatif terhadap perempuan bekerja perlahan-lahan akan sirna; beralih pada cara pandang yang berkeadilan sebagaimana tercermin pada nilai-nilai agama. []

 

Kisah Halimah as-Sa’diyah: Muslimah yang Bekerja sebagai Ibu Susuan

Oleh: Nelly Ayu Apriliani

Salah satu tradisi masyarakat Arab yang tidak dimiliki oleh bangsa lain masa itu adalah para ibu yang baru melahirkan mencari jasa ibu susuan (radha’ah) yang berasal dari pedesaan. Pekerjaan ini sudah menjadi profesi bagi para perempuan desa.

Dalam al-Rahiq al-Makhtum karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, tradisi tersebut terjadi dalam sekali setiap musim. Para ibu dari perkampungan Arab Badui pergi ke kota untuk mencari para ibu yang bersedia untuk menggunakan jasa ibu susuan bagi bayi mereka. Menurut KH Munawar Cholil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, tujuan dari tradisi tersebut adalah sang bayi dapat hidup dalam udara padang pasir yang bersih, sehingga kelak bayi tersebut akan tumbuh menjadi anak sehat, cerdas dan mandiri.

Profesi ibu susuan ini banyak digeluti oleh masyarakat perkampungan Arab Badui. Ibnu Ishaq menyebutkan dalam al-Sirah al-Nabawiyahnya di antara Arab Badui yang sebagian besar masyarakatnya menggeluti profesi sebagai ibu susuan adalah para ibu dari Bani al-Adram, Bani Maharib, Bani ‘Amir Ibn Luay dan Bani Sa’d Ibn Bakar. Ibnu Ishaq juga menambahkan bahwa profesi ibu susuan bagi sebagian masyarakat Arab bukanlah profesi yang baik atau terpandang hingga muncul sebuah pepatah Arab:

تَجُوعُ الْمَرْأَةُ وَلَا تَأْكُلُ بِثَدْيَيْهَا

Seorang wanita yang kelaparan tidak akan menggunakan kantung susunya

Namun sebagian yang lainnya menganggap bahwa profesi ibu susuan bukanlah suatu yang buruk, karena masyarakat Arab Mekkah kala itu meyakini bahwa lingkungan persusuan bagi anak juga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan fisik masyarakat Arab layaknya vaksinasi pada era modern saat ini.

Baca juga: Rasulullah dan Pentingnya Bahasa

Dalam al-Hayah al-Ijtima’iyyah fi Makkah karya Ilham Babthin, pekerjaan ibu susuan sudah ada pada zaman Raja Fir’aun, ketika pada saat itu Nabi Musa (bayi) dipersusukan kepada ibu susuan yang sebenarnya ibu kandungnya sendiri. Pada masa jahiliyah, masyarakat Arab perkotaan yang notabennya berasal dari keluarga menegah ke atas selalu mengirimkan bayi mereka kepada ibu susuan di daerah perkampungan Arab Badui. Tradisi ini berlangsung hingga abad ke 13 H, ketika ulama-ulama fikih pada abad itu melihat banyaknya mafsadah yang ditimbulkan dari tradisi tersebut yaitu merebaknya percampuran nasab.

Begitu lah kondisi perempuan saat itu. Dengan keterbatasannya, mereka masih bekerja dan ikut menghidupi keluarganya. Islam tidak melarang hal itu. Bahkan dalam beberapa kitab fikih, hal itu diatur. Rasul SAW sendiri tidak pernah melarang hal itu. Kita juga tidak pernah, bukan, mendengar sebuah hadis yang marah kepada ibu susuannya karena bekerja sebagai ummur radha’ah?

Nabi Muhammad kecil juga disusui oleh ibu radha’ah pasca disusui oleh ibu kandungnya sendiri selama tujuh hari. Siti Aminah, ibu kandung Nabi berniat untuk menitipkan Nabi untuk disusui kepada perempuan Bani Sa’ad. Namun, sambil menunggu kedatangan seorang perempuan dari Bani Sa’ad yang akan menyusui Nabi, Siti Aminah menitipkan Nabi kepada Tsuaibah al-Aslamiyah, budak Abu Lahab untuk disusuinya. Dalam Tarikh ath-Thabari, Imam al-Thabari mengatakan:

أَوَّلُ مَنْ أَرْضَعَ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم ثُوَيْبَةُ

Orang pertama yang menyusui Nabi Muhammad adalah Tsuaibah

Sebagian besar perempuan dari Bani Sa’ad bin Bakar bekerja sebagai ibu radha’ah, karena lingkungan Bani Sa’ad merupakan lingkungan yang terletak di pedesaan dan bahasa Arab mereka sangat fasih.

Dalam al-Sirah al-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, ketika rombongan perempuan Bani Sa’ad menuju kota Mekah untuk bekerja mencari bayi yang akan dititipkan kepada mereka agar disusui, tidak ada satupun dari mereka yang bersedia menerima Nabi Muhammad. Mereka menolak menyusui Nabi lantaran saat itu beliau seorang bayi yatim, karena mereka beranggapan tidak ada yang bisa diharapkan dari ibu atau kakek seorang anak yatim. Semua perempuan Bani Sa’ad sudah mendapatkan bayi yang akan disusuinya kecuali Halimah binti Abu Dzuaib atau yang lebih dikenal dengan Halimah as-Sa’diyah.

Baca juga: Kisah Rasulullah SAW dan Ibu Susuannya, Halimah as-Sa’diyah

Halimah as-Sa’diyah saat itu bersama suami dan anak laki-lakinya yang masih balita dengan mengendarai keledai putih dan seekor unta betina yang sudah lama tidak bisa diperah susunya. Ketika dia tidak mendapatkan bayi yang akan ia susui, Halimah meminta izin kepada suaminya untuk menerima anak yatim tersebut. Kemudian suamniya mengizinkan dan berharap Allah akan memberkati keluarganya melalui anak yatim tersebut. Halimah kemudian menghampiri dan membawa bayi itu bersama rombongannya pulang.

Halimah as-Sa’diyah termasuk orang terdekat Nabi yang melihat tanda-tanda kebesarannya. Ketika rombongan Bani Sa’ad bersinggah di suatu tempat untuk beristirahat sejenak, Halimah melihat suaminya menuju ke arah unta mereka yang sudah siap diperah susunya. Mereka kemudian memerah dan meminum susunya. Pada pagi harinya, Halimah membawa bayi yatim dengan mengendarai keledai putihnya. Anehnya, keledai putih yang ditumpangi Halimah berlari sangat cepat dan membuat para rombongan yang lain terheran-heran melihatnya.

Sampailah Halimah dan rombongan di desa asal. Pada tahun itu desa tersebut mengalami masa paceklik. Namun kambing-kambing peliharannya datang menghampirinya dalam keadaan kenyang dan siap diperah susunya. Kehidupan Halimah dan keluarganya selalu dimudahkan semenjak kehadiran Nabi Muhammad. Hal ini mengundang kecemburuan warga sekitar.

Setelah dua tahun, Halimah membawa Nabi ke Mekah untuk mengembalikannya kepada ibunya. Namun, karena sangat menyangi Nabi dan berat untuk berpisah dengannya, Halimah membujuk Siti Aminah agar mengizikannya untuk mengurus Nabi Muhammad beberapa tahun lagi. Halimah wafat pada tahun 10 Hijriah dan dimakamkan di Baqi’. (AN)

Artikel ini hasil kerjasama islami.co dengan RumahKitaB

Baca juga tulisan lain tentang Muslimah Bekerja di sini.