Metode Andragogi dalam Modul Pelatihan: Upaya Membangun Kesadaran Berkeadilan Gender

Oleh: Wa Ode Zainab ZT

 

Judul               : Modul Penguatan Kapasitas Membangun Narasi Pemenuhan Hak Perempuan Bekerja untuk Tokoh Agama

Tim Penyusun : Achmad Hilmi, Fadilla D.Putri, Lies Marcoes, Nur Hayati Aida, Nurasiah Jamil

Penerbit           : Yayasan Rumah KitaB atas dukungan DFAT-Investing in Women–2021

Tebal               : 126 halaman

Berdasarkan pantauan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB) sejak tahun 2013, pandangan yang membatasi perempuan bekerja semakin menyebar sebagai wacana dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Pandangan konservatif, mengenai ‘perumahan’ perempuan, ini terutama dipengaruhi oleh dakwah yang dilakukan para tokoh agama atau publik figur. Mereka menyuarakan pembatasan peran perempuan di sektor publik, termasuk pelarangan perempuan bekerja. Padahal, fenomena perempuan bekerja bukanlah hal tabu di negeri ini. Namun, ketika para agamawan berbicara dengan dalil agama, maka mayoritas masyarakat akan menerimanya, tanpa menelaahnya lebih mendalam.

Atas dasar itulah, Rumah KitaB berpandangan perlu adanya narasi tanding atas pembatasan perempuan bekerja. Lembaga ini bekerja sama dengan pemerintah Australia dalam program Inventing in Women menginisiasi pelatihan bagi tokoh agama atau penceramah. Adapun upaya awal untuk perubahan norma gender dalam masyarakat Indonesia ialah dengan membuat modul yang efektif dalam rangka penguatan kapasitas mereka sebagai peserta pelatihan. Modul tersebut didesain guna mencapai tujuan pelatihan, yaitu untuk membangun narasi pemenuhan hak-hak bekerja bagi perempuan dalam sudut pandang Islam.

Rumah KitaB sebagai lembaga riset berbasis kebijakan, untuk memperjuangkan hak-hak kaum termarjinalkan, menyadari bahwa tokoh agama atau penceramah merupakan subjek utama dalam konteks ini. Mereka berperan dalam memproduksi narasi berbasis teks keagamaan mengenai ‘perumahan’ perempuan. Pandangan ini berdampak pada diskriminasi terhadap perempuan yang memilih untuk bekerja atau terdesak memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sedangkan, masyarakat akan memberikan stereotipe negatif terhadap mereka yang tidak mengindahkan seruan para penceramah; berarti tidak beragama secara kaffah.

Ditambah lagi peliknya problematika lainnya yang harus dihadapi perempuan bekerja. Mereka harus menghadapi beban ganda, serta minimnya ketersediaan infrastruktur penunjang seperti day care, ruang laktasi, cuti hamil, dan akses kesehatan reproduksi. Perempuan pun harus berjuang keras dalam konstestasi kerja yang acap kali memandang sebelah mata perempuan yang memiliki karir cemerlang. Faktanya, perkembangan global di era kontemporer ini membuka peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai sektor. Tantangan inilah yang disoroti Rumah KitaB untuk diselesaikan akar persoalannya. Dengan adanya pelatihan bagi penceramah di empat wilayah urban, yaitu Jakarta, Depok, Bekasi, dan Bandung diharapkan bisa mempengaruhi atmosfer narasi sosial-keagamaan yang tidak bias gender terkait “perempuan bekerja”.

Modul Sistematis, Modal Keberhasilan Pelatihan  

Modul ini disusun oleh Tim Rumah KitaB sebagai rujukan bagi fasilitator yang akan mendampingi peserta pelatihan yang notabene tokoh agama, penceramah, atau pemilik otoritas keagamaan. Sebagai panduan pembelajaran berkelanjutan, modul ini didesain untuk mengembangkan pandangan keagamaan yang progresif, serta terbuka pada gagasan Islam tentang hak perempuan bekerja. Adapun fasilitator ialah tim internal Rumah KitaB yang telah berpengalaman, serta memiliki pemahaman komprehensif terhadap modul.

Adapun dua tujuan utama yang hendak dicapai melalui modul ini: Pertama, memberi kemampuan kepada peserta pelatihan untuk memahami problem perempuan bekerja akibat pandangan keagamaan yang membatasi atau melarang perempuan bekerja. Kedua, peserta terampil menggunakan argumentasi keagamaan dalam mendukung atau melakukan pendampingan komunitas atau masyarakat di mana mereka beraktivitas berlandaskan pada narasi keagamaan tentang perempuan bekerja.

Setiap modul disusun dengan struktur yang sistematis untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang bagaimana pengertian, tujuan, dan cara-cara yang diterapkan dalam pelatihan. Adapun struktur materi sebagai berikut: Judul Materi; Deskripsi Materi; Tujuan; Pokok Bahasan; Waktu; Metode; Alat dan Bahan; Langkah-Langkah Kegiatan. Selain itu, modul ini dilengkapi dengan lembar-lembar petunjuk bagi fasilitator, seperti Pedoman Fasilitator (PF), Alat Bantu Belajar (ABB), Lembar Kerja (LK), Bahan Bacaan (BB), dan Bahan Tayang (BT).

Modul ini terbagi menjadi enam materi pembelajaran: 1) Perkenalan dan Pengantar; 2) Pandangan Masyarakat terhadap Perempuan Bekerja; 3) Gender dan Konstruksi Pemahaman tentang Perempuan Bekerja; 4) Metodologi Reinterpretasi Teks Keagamaan; 5) Strategi Mendukung Perempuan Bekerja dan Mengaktualisasikan Diri; 6) Rencana Tindak Lanjut dan Evaluasi. Merujuk pada urutan materinya, maka tampak alur berpikir yang logis. Selain itu, tim Rumah KitaB menyusun petunjuk praktis bagi fasilitator, sehingga modul dapat digunakan dalam pelatihan tatap muka (offline) maupun virtual (online).

Dalam pelatihan ini, gender dipakai sebagai perspektif dan alat analisis atas kesenjangan perempuan dalam mendapatkan haknya untuk bekerja dan menyusun advokasi untuk mengatasi problem tersebut. Adapun cakupan materi terfokus pada isu perempuan bekerja dengan tujuan memberikan narasi dan logika; bagaimana Islam memiliki argumentasi yang kokoh bahwa bekerja adalah hak setiap manusia. Diharapkan setelah pelatihan ini para tokoh agama dalam perannya memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran dengan memaksimalkan kemampuan berargumentasi tentang hak perempuan bekerja dalam pandangan Islam. Dengan demikian, peserta tidak akan diajari bagaimana cara berceramah melainkan konten apa yang harus disampaikan ke umat atau masyarakat.

Andragogi, Memanusiakan Orang Dewasa

Dalam mengoperasikan modul ini, Tim Rumah KitaB mendesain alur pembelajaran dengan kerangka Pendidikan Orang Dewasa; dikenal dengan metode pendidikan andragogy. Secara etimologis, andragogi berasal dari Bahasa Latin, yaitu andros yang berarti ‘orang dewasa’ dan agogos yang berarti memimpin atau melayani. Istilah “andragogi” sebagai suatu teori dalam filsafat pendidikan pertama kali dugunakan oleh Alexander Kapp asal Jerman pada tahun 1833. Kemudian, pada tahun 1921 istilah tersebut dimunculkan kembali oleh Eugene Rosentock, seorang sejarawan dan filsuf asal Jerman. Sejak era 1970-an metode andragogi menyebar masif di berbagai belahan dunia.

Melalui pendekatan ini, fasilitator berupaya mendorong peserta pelatihan untuk aktif dalam proses belajar. Fasilitator memastikan setiap peserta pelatihan terlibat dalam proses belajar secara sistematis dan terstruktur dengan melakukan/mengalami, mengungkapkan, mengolah/menganalisis, menyimpulkan, menerapkan, melakukan kembali, dan kemudian merefleksikan pengalamannya. Proses pembelajaran ini berangkat dari kesadaran tentang filsafat pendidikan untuk pemberdayaan.

Selain dilengkapi dengan bahan bacaan yang terkait dengan tema, modul ini memang dirancang untuk mewujudkan peningkatan kapasitas dan kepekaan, serta membangun komitmen dan kolektivitas peserta pelatihan. Modul ini berlandaskan pada sejumlah pendekatan yang akan mengawali pelatihan di setiap sesi, yaitu: Tutur perempuan; Partisipatif; Penumbuhan komitmen; Kolektifitas; dan Keberlanjutan.

Proses pembelajaran dalam pelatihan ini nantinya dikelola dalam alur yang terstruktur; mengikuti alur pendidikan orang dewasa berdasarkan prinsip partisipasi. Oleh karena itu, metode ini kerap disebut sebagai daur proses pelatihan partisipatif dengan basis pengalamanan yang terstruktur. Modul ini tampak detail menyampaikan langkah-langkah yang harus dilakukan fasilitator melalui pendekatan andragogi, sehingga pelatihan dapat berlangsung  komunikatif dan efektif.

Terlebih lagi, peserta pelatihan ini merupakan para agamawan yang notabene memiliki pengetahuan dasar mengenai agama dan pengalaman berhadapan dengan umat. Melalui pendekatan pedagogi dalam modul ini, diharapkan peserta pelatihan dapat membangun kesadaran berkeadilan. Dalam membangun narasi pemenuhan hak perempuan bekerja, maka sangat diperlukan adanya “perspektif berkeadilan” yang tidak bias gender. Semoga upaya yang dilakukan Rumah KitaB ini bisa mewujudkan penguatan kapasitas tokoh agama dalam memproduksi narasi keagamaan yang mendukung kiprah perempuan bekerja. []

Pertama kali dipublikasikan di Harakah.id.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *