Asmaâ binti Abu Bakar: Putri Abu Bakar yang Menjadi Petani dan Beternak Kuda
Oleh: Qurrota A’yuni
Asmaâ binti Abu Bakar ialah sosok perempuan cerdas, tangguh dan pemberani. Putri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq serta saudari beda ibu dari âAisyah binti Abu Bakar. Ia dikenal sebagai pribadi yang pekerja keras serta shalihah dalam menjalankan syariat agama. Asmaâ diberi julukan sebagai âDzatun Nithaqainâ oleh Rasulullah shallallahu âalaihi wa sallam yang berarti âperempuan yang mempunyai dua tali pinggangâ, sebagai peringatan atas pengorbanan dan keberanian dari Asmaâ binti Abu Bakar terhadap peristiwa hijrah Rasulullah bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq.Â
Suaminya adalah Zubair bin Awwam. Saat menikah, kondisi ekonominya sedang susah. Ia tidak memiliki harta dan budak, kecuali alat penyiram lahan dan kuda miliknya. Asmaâ hidup bersama dengan sang suami dengan kehidupan yang apa adanya. Ia membantu suaminya bekerja sebagai petani dan merawat kudanya.
Baca juga:Â Asmaâ Binti Abu Bakar dan Ibunya yang Non-Muslim
Asma ikut mencari nafkah dengan mengurus kuda, menumbuk biji-bijian untuk dimasak hingga memanggul biji-bijian dari Madinah ke kebun yang berjauhan dari sana. Meskipun Zubair hanya memiliki lahan dan kuda, namun Asmaâ tidak pernah mengeluh. Bahkan Asmaâ memberi makan sendiri kuda milik Zubair.
Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya, memberikan gambaran bagaimana tangguhnya seorang Asmaâ binti Abu Bakar dalam membantu suaminya dengan bekerja sebagai petani dan beternak.
Dari Asmaâ binti Abu Bakar ia berkata:Â âAz-Zubair bin Awwam menikahiku, pada saat itu ia tidak memiliki harta dan budak, ia tidak memiliki apa-apa kecuali alat penyiram lahan dan seekor kuda. Maka aku bekerja untuk membantu suamiku, yaitu memberi pakan kuda, merawat kudanya, mencari rumput, mengambil air minum, mengisi embernya dengan air, serta membuat adonan roti. Selain itu aku juga memikul benih tanaman dari tanah milik Zubair yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu âalaihi wa sallam seluas sepertiga farsakhâ.Â
Dalam riwayat lain, Asmaâ binti Abu Bakar berkata, âAz-Zubair menikahiku ketika ia belum memiliki apa-apa, baik harta, budak atau semisalnya, selain unta untuk mengambil air dan seekor kuda miliknya. Maka aku yang memberi makan kudanya, mencari air, membuat geriba dan membuat adonan roti. Aku juga yang mengangkut biji-bijian (untuk pakan ternak) di atas kepalaku dari tanah bagian Az-Zubair yang diberikan oleh Rasulullahâ. Diriwayatkan dari kitab Shahih Muslim, suatu ketika Asmaâ binti Abu Bakar menjunjung keranjang berisi buah kurma dari kebun yang dihibahkan Rasulullah pada sang suami. Jarak kebun memiliki sejauh dua pertiga farsakh.
Baca juga:Â Benarkah Perempuan di Masa Nabi Hanya di Rumah Saja?
Keterangan hadits di atas menunjukkan bahwa Asmaâ adalah sosok istri yang setia serta gigih dalam membantu suaminya. Ia adalah seorang yang bekerja keras dalam melakukan pekerjaannya yaitu sebagai petani dan beternak.
Bahkan, Rasulullah pernah memergoki Asmaâ saat membantu suaminya membawa biji-bijian hasil kebun dari tanah Az-Zubair yang diberikan Rasulullah. Ia pun sanggup bekerja keras merawat dan menumbuk sendiri biji kurma untuk makanan kuda milik suaminya, di samping menyiapkan perbekalan dan juga mengikuti peperangan bersama suaminya dan Rasulullah. Saat Rasul melihat itu, Rasul tidak lantas melarang Asma dan meminta dia untuk tidak mengerjakannya. Hal ini juga menunjukkan Rasul tidak melarangnya untuk ikut bekerja.
Kedua aktivitas tersebut bukanlah hal yang tabu dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi Muhammad, suatu hal yang justru berbanding terbalik dengan kondisi perempuan Arab saat ini. Ketangguhan dan kegigihan Asma binti Abu Bakar dalam bekerja inilah yang merupakan suatu teladan yang patut di contoh bagi kaum muslimin terutama para wanita Muslimah.
Dalam keadaan tersulit pun Asmaâ masih dapat membagikan hartanya. Sehingga tidak heran jika ia dikenal sebagai perempuan dermawan pada masanya. Sebagaimana Abdullah bin Zubair (putranya) berkata, âTidaklah kulihat dua orang wanita yang lebih dermawan daripada Aisyah dan Asmaâ. Kedermawanan mereka berbeda. Adapun Aisyah, sesungguhnya dia suka mengumpulkan sesuatu, hingga setelah terkumpul semua, dia pun membagikannya. Sedangkan Asmaâ, dia tidak menyimpan sesuatu untuk besoknya.â
Perempuan yang bekerja, baik beternak, berkebun, atau pun pekerjaan lainnya di samping tugas di dalam rumah (mengurusi kepentingan keluarga dan memelihara anak) tidaklah menjadikan seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya. Melainkan menjadikannya kebaikan bahkan ladang pahala baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Daftar Pustaka:
- Muhammad Ibrahim Salim, Nisaâ Haula ar-Rasul (al-Qudwah al-Hasanah wa al-Uswah at-Tayyibah Li Nisaâ al-Usrah al-Muslimah)Â
- Aisyah Abdurrahman Bintu asy-Syathiâ, Nisaâ an-Nabi âAlaihishalatu Wassalam, terj. Chadidjah Nasution, Jakarta: Bulan BintangÂ
- Muhammad Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, No . 4823., jilid 6, T.tp: Dar wa Mathabiâ al-SyaâbÂ
- Ibnu Hajjaj Muslim, Shahih Muslim, Hadis No . 1442, jilid 5, Kairo: al-Halabi wa AuladuhÂ
- Ahmad Khalil Jamâah, 70 Tokoh Wanita dalam Kehidupan Rasulullah, Jakarta: Darul Falah, 2004.
—
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Islami.co.