Selamat Hari Kartini

Siapa yang tak kurang hormat kepada Ibumu hanya karena Ibumu bukan Kartini? Tak ingatkah perempuan lain selain Ibumu yang berjasa dalam hidupmu hingga kamu bisa seperti ini. Pengasuhmu? Guru TK dan Guru SDmu? Atau sahabat curhat selain saudara perempuan dan Eyang Putrimu.

Jadi mengapa kau sempitkan volume hati dan otakmu hanya menolak Kartini dan memasukkan perempuan lain seperti Khadijah? Sedang kau bisa sekolah berkat begitu banyak orang dalam kehidupanmu. Kartini salah satunya.

Sejarah itu punya jalannya sendiri, tugas kita adalah menelusurinya dengan kesadaran waktu dari masa lampau untuk masa depan. Menghapus sejarah hanya akan membodohi diri sendiri dan menghilangkan ruang- ruang sejarah dalam jejak langkahmu sendiri.
-Lies Marcoes

Dicari: Cara Radikal Atasi Problem Perempuan Saat Pandemi

Oleh: Lies Marcoes

Tujuh bulan sudah kita disetop paksa oleh virus corona. Disetop dari kegiatan beraktivitas di luar rumah bagi sebagian orang; disetop dari pekerjaan mencari nafkah yang mengandalkan mobilitas; disetop dari kegiatan masif proses pembelajaran; disetop dari kegiatan rutin: bangun, sarapan, berangkat kerja, mulai stres karena jadwal ketat sementara jalanan macet (terutama di Jakarta dan kota-kota besar), bertemu kolega, klien, nasabah, teman, bersosialisasi, handai taulan dan seterusnya. Disetop dari melakukan mobilitas fisik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bicara berpikir atau kongkow dari satu isu ke isu lain.

Kini, semuanya berhenti. Secara mendadak pula. Tanpa aba-apa tanpa pelatihan ketrampilan untuk menghadapi perubahan ini. Lalu kehidupan pun bertumpu dan berpusat kepada “rumah” dan “penguasanya” yang secara normatif dinisbahkan kepada perempuan.

Bagi sebagian perempuan yang tadinya sehari-hari di rumah bekerja sebagai ibu rumah tangga, dalam tujuh bulan ini mereka dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan baru yang semula dipercayakan kepada pihak lain: kepada negara atau kelembagaan semi negara, swasta, badan non-negara, komunitas, bahkan pasar. Kini, secara mendadak, mereka, harus mengambil-alih semua peran itu dengan nyaris tanpa persiapan dan tanpa keterampilan. Mereka harus menciptakan kenyamanan di rumah yang tiba-tiba berubah menjadi kantor, sekolah, madrasah, musala, lapangan bermain, restoran/warung, kamar mandi umum, layanan kesehatan dasar dan tempat rekreasi sampai sarana relaksasi.

COVID-19 memaksa kita berubah. Namun perubahan bukanlah sebuah kacamata netral. Selama ini, dengan  menggunakan perspektif ekonomi, dengan segera akan tampak dampaknya, mulai dari tataran ekonomi global sampai ke dompet di dapur pada masing-masing rumah tangga.

Pada kelas sosial tertentu, perubahan ekonomi mungkin tidak terlalu terasa karena lapisan-lapisan lemak dalam cadangan kalori ekonominya cukup tebal. Namun pada kebanyakan orang, ini benar-benar bencana. Saya berani bertaruh pemintaan macam-macam utangan, dari skema kredit lunak dan murah sampai rentenir bertaring hiu, meningkat tajam.

Perubahan paling dahsyat namun jarang sekali terlihat karena alat baca untuk mengamati itu tak tersedia atau buram pekat, adalah pada kehidupan ibu rumah tangga. Dan ini tak hanya pada mereka yang benar-benar terdampak laksana gempa dan tsunami, tetapi juga pada ibu rumah tangga kelas menengah yang secara normatif  dianggap tak telalu terguncang.

Senior saya, yang saat ini menekuni isu lanjut usia (lansia), melalui pesan WhatsApp mengajak saya berpikir: Ini ibu-ibu lansia mau bagaimana? Sudah tujuh bulan mereka tidak bertemu teman, anak-anak dan cucu-cucu, tak beraktivitas kelompok, tak keluar rumah, dan ini akan mempercepat proses kepikunan. Apalagi jika ia masih memiliki suami yang sehari hari laksana balita. Banyak dari kelompok lansia yang tidak menguasai teknologi komunikasi visual, sementara anak-anak mereka sibuk mengurus sekolah cucu-cucu di rumah. Bayangkan perempuan lansia pada keluarga miskin yang hidupnya  menumpang dengan anak atau menantu. Tak mustahil sebagian beban anak menantu perempuannya akan berpindah, minimal mendapat bagian tambahan.

Perempuan setengah baya dari keluarga mapan biasanya sangat sibuk dengan segala aktivitas bergaul dan sosialnya. Selain mengurus rumah tangga yang dalam banyak hal dialihkan ke asistennya, mereka tak memiliki kesibukan lain selain mengurus keluarga kecilnya karena anaknya telah berkeluarga. Selepas itu, mereka bertemu teman dan sahabat melanjutkan hobi dan kesehariannya. Datangnya COVID-19 membuat mereka berhenti bergerak. Padahal bagi mereka, menjadi soliter itu nyaris tak masuk akal. Eksistensi mereka  bukan pada kediriannya tetapi selalu bersama komunitasnya. Tak kumpul, ya tak muncul.

Namun di antara itu semua, buat perempuan miskin, usia muda, beranak minimal satu, baik yang semula bekerja di luar rumah atau ibu rumah tangga, COVID-19 benar-benar membuat dunia mereka jungkir balik. Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dan membantu rumah tangganya normal, seperti sekolah, madrasah, dan tempat bermain anak-anak, tidak lagi berfungsi seperti biasa sehingga sekarang semuanya berpusat kepada mereka.

Beruntunglah mereka yang masih memiliki asisten atau ibu yang  tinggal bersama, serta memiliki cukup pengetahuan dan kreativitas, plus suami yang ikut memikirkan dan membantu atau mengambil alih pengasuhan dan pendidikan anak. Guncangan itu akan ditahan bersama-sama. Hal yang umum terjadi adalah karena secara normatif rumah tangga adalah urusan perempuan, maka ketika seisi rumah stop tertahan, maka perempuan yang menjadi ibu guru, manajer kantor, sekretaris, koki,  sampai janitor yang mengurus kebersihan kamar mandi. Ini  benar-benar bencana nyata namun dianggap tak pantas dikeluhkan. Karenanya, kita mungkin tak terkejut jika jumlah permohonan cerai dalam era COVID-19 ini meningkat tajam.

Sudah tujuh bulan kita begini, dan entah sampai kapan. Saya sungguh berempati kepada perempuan muda, paruh baya dan lansia yang terguncang oleh gempa COVID-19. Lebih prihatin lagi karena  guncangan itu tak dihiraukan, tak dianggap ada oleh penyelenggara negara, karena alat baca gempanya tak cukup peka dalam menangkap guncangan-guncangan itu.

Padahal jika alat bacanya sensitif, maka seharusnya keluarga-keluarga yang memiliki anak sekolah mendapatkan pendampingan intensif bagaimana menjadi ibu atau bapak guru di rumah. Mereka seharusnya mendapatkan uang pengganti gaji guru dan biaya pendidikan karena mereka pembayar pajak dan warga negara yang berhak atas “Bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya” yang menjadi sumber kehidupan anak bangsa.

Bagi ibu bekerja, mereka seharusnya mendapatkan pengganti uang kebersihan, listrik, sewa ruang kerja dan alat-alat kantor. Begitu juga bagi lansia, atau perempuan paruh baya. Harus ada jalan keluar atas kebuntuan yang mereka hadapi akibat berhentinya aktivitas mereka. Bukankah selama ini mereka telah menyumbang bagi bergeraknya ekonomi dan sosial?

Setelah tujuh bulan dan entah masih berapa lama lagi kita akan tetap begini, terberkatilah perempuan-perempuan yang tak terdampak guncangan pandemi ini. Namun bagi yang lain  harus ada perubahan radikal dalam cara melihat problem perempuan sang pengurus rumah tangga.

Ditulis oleh Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB, diterbitkan pertama kali di halaman Facebook-nya dan diolah oleh Magdalene.co.

Khadijah ra Teladan Perempuan Pengusaha

Oleh: Achmat Hilmi Lc., MA.

Khadijah binti Khuwailid adalah perempuan bangsawan yang dicatat sejarah sebagai pendukung utama dakwah Nabi Muhammad Saw. Khadijah lahir pada tahun 555 M dan wafat pada tahun 619M. Usianya terpaut lima belas tahun lebih tua dari usia Nabi Muhammad Saw. Menurut Ibnu Hisyam, Khadijah merupakan seorang saudagar ternama  di Makkah, meskipun banyak pengusaha laki-laki kala itu yang juga berniaga antar wilayah di Jazirah Arab hingga Afrika Utara dan Parsia- di Asia Tengah. Belum tersedia data yang mengkalkulasi kekayaannya. Namun berbagai referensi sejarah menggambarkan, rombongan dagang milik Khadijah merupakan kafilah terbesar di Makkah kala itu.

Sebelum diangkat sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad merupakan salah satu pimpinan rombongan dagang milik Khadijah yang dikirim ke pasar-pasar antar benua hingga ke Persia. Kepandaian Khadijah  dalam mengelola usaha diperkenalkannya kepada masyarakat kota Mekkah, baik laki-laki maupun perempuan. Jika digambarkan masa kini, Khadijah telah berhasil pembangunan jiwa enterprenership, sehingga terbentuklah mitra-mitra dagangnya di berbagai titik persinggahan budaya di luar kota Mekkah. Khadijah dipercaya sebagai pelaku “ekspor-impor” antar benua, mengantarkan barang-barang dagangannya ke berbagai pasar di wilayah kerajaan Persia yang menjadi pusat perdagangan internasional dan lintasan jalur sutera di Timur Tengah.

Khadijah memang memiliki modal berupa materi kekayaan yang besar. Namun sebenarnya aset penting Khadijah adalah kecerdasan, keuletan dalam mengelola usaha dengan memilih para pekerja yang jujur dan pandai bersosialisasi, antara lain seorang pemuda, bernama Muhammad bin Abdullah. Kepadanyalah Khadijah mempercayakan pengelolaan bisnisnya di luar Makkah, menjaga mitra-mitra dagangnya.  Khadijah memiliki kendali dan pengaruh terhadap jaringan-jaringan bisnisnya di level lokal, dan global (Mekkah, Yemen, dan Kerajaan Persia) yang  dikembangkan berkat bantuan seorang “CEO” Muhammad bin Abdullah.

Pada pertengahan millenium pertama masehi, menjadi perempuan pebisnis bukanlah perkara mudah, di tengah budaya patriarki yang sangat kuat di kalangan masyarakat Arab, suku-suku di Afrika Utara, Persia, Yunani, dan sekitarnya. Secara umum posisi perempuan sangat lemah dan tidak diperhitungkan. Kepimpinan perempuan dalam bidang ekonomi tampaknya bukanlah hal yang lazim dan hampir tidak bisa diterima oleh banyak masyarakat, terutama masyarakat Arab Badui dan tradisi Persia. Karenanya jarang  perempuan memegang peranan penting dalam dunia usaha ,terlebih di Mekkah dan di wilayah Persia.

Namun sosok Khadijah dalam kegiatan bisnis besar dipandang sebagai bentuk perlawanan atas tradisi dan cara pandang masyarakat kala itu. Sebab secara kontras sering digambarkan perempuan hanya bekerja di kebun kurma atau menggembala kambing dan unta.

Pernikahan Kanjeng Nabi Muhammad Saw dengan Khadijah dicatat sejarah sebagai peristiwa yang berlawanan dengan tradisi Arab; Pertama, perempuan melamar laki-laki. Khadijah melamar Muhammad melalui sahabatnya Nafisah. Kedua, usia pernikahan Nabi dan Khadijah terpaut jauh. Nabi menikah pada usia 25 tahun sementara Khadijah telah berusia 40 tahun. Ketiga, Nabi menikahi seorang janda, sebuah sikap yang dinilai baik karena tidak membedakan perempuan berdasarkan status perkawinanya. Nilai “kesucian” “kemuliaan” seorang perempuan tidak diletakkan kepada keadaan fisik apalagi kegadisannya. Hal demikian berlawanan dengan perilaku masyarakat setempat yang merendahkan posisi seorang janda dan menilai perempuan berdasarkan status kegadisannya. Keempat, Nabi menikahi perempuan yang sangat aktif di ruang publik, punya waktu yang lebih banyak di ruang publik/di dunia usahanya dan hanya memiliki sedikit waktu di ruang domestik. Setelah menikah pun, Nabi tidak pernah membatasi ruang gerak Khadijah dalam dunia usahanya; Keenam, Khadijah sebagai kepala ekonomi keluarga, sementara Nabi Saw., berperan mendampinginya. Khadijah merupakan tulang punggung ekonomi keluarga Nabi Saw., bahkan Khadijah sebagai sumber finansial dakwah Nabi di Mekkah. Khadijah merupakan orang pertama yang beriman dan meyakinkan misi kenabiannya. Ketujuh, pernikahan Khadijah dengan Nabi Saw., berlangsung selama 25 tahun (28 SH); 15 tahun pertama Pra-Kenabian, dan 10 tahun pertama kenabian., dan selama itu, Nabi tidak pernah poligami. Karena itu banyak sekali hadis-hadis yang berisi pujian terhadap Khadijah, bahkan pujian itu secara langsung diabadikan dalam Al-Quran, dan berbagai literatur sejarah seperti yang ditulis oleh Ibnu Hisyam, Imam Thabari, Ibnu Katsir, sebagaimana kami rujuk dalam tulisan ini.

Berikut adalah salah satu hadis yang populer tentang Khadijah ra sebagaimana diriwayatkan Aisyah.

عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا ذكر خديجة أثنى عليها فأحسن الثناء

“Dari Aisyah ra., dia berkata, ”Nabi Saw., ketika mengingat Khadijah dia pasti memujinya dengan pujian yang paling indah”. (HR. Bukhari)

 

Daftar referensi:

  1. Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, 1423H/2002M, Shahȋh Al-Bukhâri, Dar Ibnu Katsir, Beirut – Lebanon.
  2. Al-Nisaburi, Abu Al-Husain Muslim ibn Al-Hajjâj Al-Qusyairi, 1427H/2006, Shahȋh Muslim, Dar Thayyibah, Riyadh – Saudi Arabia.
  3. An-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya ibn Syarf, tt., Al-Minhâj fȋ Syarh Shahȋh Muslim ibn Al-Hajjâj, Baitul Afkar Al-Dauliyah, Yordania.
  4. Hisyam, Ibnu, 1410H/1990M, Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Darul Kutub Al-Arabi, Beirut-lebanon
  5. Ath-Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir (w. 310H), tt., Tarkh Al-Thabari; Târîkh al-Rusul Wa Al-Muluk, Darul Ma’arif bi Mashri, Kairo – Mesir,
  6. Ibnu Katsir, Ismail bin Umar, 1410H/1990, Al-Bidâyah wa Al-Nihâyah, Maktabah Al-Ma’arif, Beirut-Lebanon

Penulis merupakan Peneliti Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Feni Husna Alfiani: Support System untuk Menjalankan Bisnis sambil Bekerja Penuh Waktu

Husna Alfiani atau yang akrab disapa Feni ialah co-founder dari Maraca Books and Coffee, yang terletak tepat di pusat Kota Bogor. Konsep dari kafe ini adalah sebuah tempat ngopi yang dipadukan dengan koleksi buku-buku dari berbagai genre. Konsep tersebut diusung untuk menjaring pelanggan yang tersegmentasi; senang ngopi dan senang membaca. Kebetulan “maraca” sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti “membaca bersama-sama”. Konon di kota Bogor belum ada tempat ngopi yang bisa meminjamkan buku (untuk dibaca di tempat) dalam satu tempat yang sama; dari situlah Feni terdorong untuk membangun usahanya.

Usaha tersebut ia rintis bersama dengan suami dan teman semasa SMA-nya. Husna membagi ceritanya mengenai tantangan dan hambatan dalam memulai bisnisnya. Saat memulai bisnis, uang menjadi tantangan dan hambatan tersendiri. Meski tidak banyak, modal yang dikeluarkan harus terus berputar. Sebab para karyawan yang bekerja menggantungkan penghasilannya pada usaha tersebut. Kemudian penting juga baginya belajar mengelola waktu, energi, dan sumber daya.

Ketika pandemi datang, coffee shop serupa Maraca sangat terdampak. Dengan kebijakan pemerintah seperti pembatasan kapasitas yang hanya boleh 50% dan penyesuaian jam operasional, penjualan pun menurun dan banyak hal yang perlu disesuaikan. Hal lain yang harus disesuaikan adalah administrasi; kontrak para karyawan, jam operasional, dan skema THP (take home pay) harus turut berubah. Selain itu, cashflow perlu diatur sedemikian rupa karena kapasitas coffee shop dibatasi hingga 50%.

Agar usaha tersebut dapat terus berjalan, Feni dan rekan bisnisnya sedikit beralih untuk menjual sembako, tokonya ia beri nama Toko Iboek dan melayani penjualan via Instagram dan marketplace. Toko sembako ini rupanya dapat membantu pemasukan dan membuat coffee shop yang ia rintis terus berjalan walau tertatih. Karena di masa pandemi ini, belanja kebutuhan pokok secara online rupanya menjadi salah satu alternatif guna mengurangi mobilitas.

Selain memiliki bisnis coffee shop dan toko groceries online, sebenarnya Feni sehari-hari setiap Senin-Jumat bekerja penuh waktu sebagai seorang karyawan. Feni kemudian membagi kisahnya sebagai seorang ibu, istri, pekerja, dan individu dalam keluarga. Ia adalah ibu yang bekerja penuh waktu dan pengusaha perempuan pertama dalam keluarganya. Di keluarganya, sebagian besar perempuan bekerja, namun belum ada satu pun yang menjadi pengusaha. Hal tersebut menjadi tekanan tersendiri karena ada pandangan dengan kesibukannya, apakah keluarganya dapat terurus? Mengingat Feni bekerja sebagai seorang karyawan dari pukul 09.00-16.00 setiap Senin-Jumat dan memiliki usaha coffee shop.

“Saya sangat beruntung memiliki keluarga dan suami yang tidak pernah membatasi ruang gerak saya sebagai Ibu, istri, dan individu.” Ungkap Feni.

Menurutnya, faktor pola pengasuhan dan latar belakang pendidikan menjadi pengaruh terbesar cara pandang keluarganya. Ia dan suaminya memiliki kesepakatan bahwa hanya ada tiga hal yang tidak bisa dilakukan oleh suaminya sebagai seorang laki-laki, yaitu hamil, melahirkan, dan menyusui. Sehingga mengurus anak dan rumah tangga jelas dapat dikelola bersama. Tidak ada yang bebannya lebih besar dan lebih kecil. Namun, pembagian tugas itu dibagi berdasarkan kemampuannya dan suaminya dalam mengerjakan sesuatu. Misal, Feni lebih baik dalam mengelola keuangan, dan suaminya lebih rapi dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, maka mereka membagi tugas secara merata sesuai dengan keahliannya masing-masing.

Memiliki support system merupakan hal yang disyukuri oleh Feni. Dengan berbagai kegiatan yang ia jalani, kerap ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul, apakah keluarganya akan terurus? Namun, komunikasi menjadi kunci bagi Feni. Ia berusaha berkomunikasi dengan orang tuanya yang juga tinggal dalam satu kota. Ketika tidak ada yang membantu mengasuh anaknya, orang tuanya bersedia hadir mendukung dan membantu keluarga kecil Feni. Suaminya juga saat ini bekerja sebagai seorang freelancer sehingga lebih memiliki fleksibitas jam kerja dibandingkan Feni.

“Terkait komunitas, saya lebih condong pada support system komunitas yang bukan berafiliasi agama.” Ujar Feni. Seperti saat ini, misalnya, Feni cukup aktif sebagai anggota komunitas Ibu Ibu Kota Hujan. Ia juga beberapa kali membuka kelas brush lettering untuk saling berbagi dengan perempuan-perempuan yang memiliki hobi sama. Coffee shop-nya sendiri, saat sebelum pandemi, kerap dijadikan lokasi acara-acara komunitas dengan beragam tema, seperti isu keuangan, parenting, hingga bedah buku.

Karena menurutnya hal tersebut menjadi satu faktor yang membuka sudut pandangnya dan keluarganya mengenai perempuan sebagai individu yang memiliki ruang untuk aktualisasi diri. Ia mendapatkan banyak hal dan pandangan-pandangan yang progresif dari beragam sudut pandang setelah ia menjadi relawan dalam berbagai kegiatan, membuat event, dan lain sebagainya.

Menurut Feni ada hal penting yang perlu digarisbawahi, yaitu menjadi perempuan pengusaha pertama di keluarga besar tidak serta merta membuat keluarganya tidak terurus. Menurutnya itu bisa dia jalani karena Feni dan suami saling bekerja sama sehingga komunikasi terbangun dengan baik dan lebih terbuka. Pembagian tugas dalam mengelola coffee shop terkelola dengan baik, begitu pun dalam mengurus anak dan rumah tangga.

Salah satu hal terpenting dalam menjalani bisnis dan bekerja penuh waktu adalah support system yang selalu mendukungnya. Baik itu berupa komunikasi positif, pembagian tugas domestik yang seimbang antara suami dan istri, juga komunitas Feni yang hadir dari beragam latar belakang sehingga membuatnya dan orang-orang di sekitanya lebih terbuka pada perbedaan dan keragaman.

If it is stupid but it works, it is not stupid”.

Surat Kartini Kepada Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat

Oleh: Nur Hayati Aida

Teruntuk kedua Mbakyuku; Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat.

Semoga Mbakyu Shima dan Mbakyu Ratna (Kalinyamat) dalam keadaan sehat dan tidak kurang dari apa.

Saat surat ini sampai di tangan Mbakyu Shima dan Mbakyu Ratna, musim hujan telah sampai di penghujungnya. Tanah-tanah menjadi subur dan pepohonan mulai rimbun dengan dedaunan. Semilir angin hujan tak henti-hentinya menyibakkan anakan rambut kecil di kening, mengingatkan kepada riuh para pekerja di ladang dan sawah.

Tahun telah berganti begitu cepat. Waktu melesat begitu saja dari busurnya. Dan saat ini kita tiba di masa semuanya serba cepat. Sesuatu yang dulu terasa jauh kita bayangkan.  Terkadang saya merasa takjub dengan perkembangan pesat ini. Teknologi telah mengantarkan kita pada peradaban digital. Sungguh tak pernah terbayangkan bisa menulis surat secepat ini melalui email, atau berbalas pesan singkat melalui Whatsaap.

Mbakyu, rasanya senang sekali bisa mengirimkan kabar ini kepada Mbakyu berdua bahwa harapan yang pernah saya utarakan beberapa waktu lalu—yang pernah saya kabarkan beritanya kepada Mbakyu berdua—tentang pendidikan bagi kaum perempuan, telah terwujud.  Saat ini di ruang-ruang kelas sekolah dan perguruan tinggi, jumlah murid perempuan tak kalah banyak dari murid laki-laki. Banyak murid-murid perempuan yang memiliki prestasi yang bagus, rangking, dan nilai di atas rata-tara.

Saya masih ingat isi surat yang saya kirimkan kepada Nyonya Van Kool di Belanda waktu itu. “…untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya”.  Begitu kira-kira tulisan saya kepada Nyonya Van Kool. Dan kini, harapan itu telah nyata.

Keadaan ini tentu jauh berbeda dengan keadaan yang beberapa waktu lalu saya sampaikan kepada Mbakyu berdua. Sungguh ini kabar gembira sekali.

Namun, Mbakyu. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati dan membuat saya gelisah. Ini tentang prasangka yang diarahkan kepada perempuan dianggap sebagi fitnah (godaan) yang bisa menimbulkan kegoncangan stabilitas sosial. Atas dasar itu, Mbakyu, perempuan kemudian “diminta” untuk di rumah saja, dan tidak perlu bekerja di wilayah publik.

Duh, Mbakyu, betapa sedih dan perihnya hati ini mendengar sangkaan itu. Sepertinya mereka tidak melihat Kerajaan Kalingga yang dipimpin oleh Mbakyu Shima. Masyarakatnya jujur dan disiplin, sebab Mbakyu Shima memimpin dengan tegas.

Seorang raja, bernama Ta-Shih,  bahkan sengaja meletakkan sekantung emas di jalanan dekat alun-alun. Ia ingin menguji kedisiplinan rakyat Kalingga. Berminggu-minggu kantung emas itu tak berpindah tempat sama sekali. Mereka tahu bahwa itu bukanlah hak mereka.

Bukan hanya soal ketegasan dan kedisiplinan, Kerajaan Kalingga juga dikenal luas oleh  mancanegara. Hubungan bilateral Kerajaan Kalingga sampai  ke dataran Tiongkok.

Pun, sepertinya mereka lupa dengan apa yang dilakukan oleh Mbakyu Ratna saat memimpin Jepara. Kala itu Jepara mampu keluar dari keterpurukan ekonomi yang terus mendera. Jepara di bawah kepemimpinan Mbakyu Ratna bahkan dianggap sebagai puncak kegemilangan Jepara.

Tak hanya itu, Mbakyu Shima dan Mbakyu Ratna. Perempuan juga dianggap hanya memiliki akal dan iman yang lemah. Saya sendiri sangsi jika anggapan itu datang dari Kanjeng Nabi Muhammad. Mustahil rasanya Nabi yang memiliki julukan al-amin itu bersabda sedemikian buruk pada perempuan, sedangkan agama yang Bagunda Rasul bawa adalah agama rahmat (kasih sayang) kepada seluruh alam, termasuk perempuan.

Saya lalu teringat kepada Mbakyu Ratna dengan kecerdikan strategi dan keberanian melawan penjajah Portugis. Setidaknya empat kali Mbakyu Ratna mengirimkan armada perang membantu Raja Johor dan Sultan Ali Mukhayat Syah dari Aceh untuk melawan Portugis di laut Malaka. Untuk keberanian itu, Diego de Couto  menyebut Mbakyu Ratna sebagai Rainha da Japara, senhora poderosa e rica (Ratu Jepara, seorang wanita yang kaya dan berkuasa). Apakah patut menyebut Mbakyu Ratna sebagai perempuan kurang akal dengan seluruh strategi dan keberanian yang Mbakyu Ratna lakukan?

Jika dikatakan perempuan kurang agama, bagaimana dengan “tapa wuda” yang Mbakyu Ratna lakukan? Meski ada prasangka-prasangka atas “tapa wuda” sebagai laku  mengumbar birahi, tetapi “tapa wuda” tak bisa dimaknai begitu saja sebagai makna lapis pertama. “Tapa Wuda”  bukanlah bertapa tanpa pakaian dalam arti telanjang, melainkan melepaskan segala keterikatan dunia materi yang dimiliki. Sebagai seorang ratu, Mbakyu Ratna tentu memiliki segalanya, tetapi atas kematian suami dan saudaranya di tangan Arya Panangsang. Mbakyu Ratna memilih untuk “uzlah” mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta.

Mbakyu, sungguh hal-hal ini menggelisahkan hati saya. Mbakyu berdualah yang menjadi sumber inspirasi saya. Mbakyu Ratna dan Mbakyu Shima telah berani melawan anggapan umum tentang perempuan yang menjadi sumber fitnah, lemah akal, dan lemah agama.

Saya mengutarakan hal ini juga kepada Nyonya Abendanon di Belanda beberapa waktu lalu, “Kami beriktiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih sukar dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula”.

Semoga Mbakyu berdua selalu dalam lindungan Tuhan.

Adikmu,

R.A. Kartini

Post scriptum:

Ini adalah surat imajiner Kartini (21 April 1879 M-17 September 1904 M) kepada Ratu Shima (w. 732 M)  yang menjadi pemimpin Kerajaan Kalingga (secara geografis keberadaan Kerajaan Kalingga  saat ini berada di wilayah Keling yang merupakan bagian dari Kabupaten Jepara),  dan Ratu Kalinyamat atau Retna Kencana (w. 1579 M).  pemimpin Jepara, yang juga merupakan anak dari Sultan Trenggono, dan cucu dari Raden Patah (Raja Demak). Ketiga perempuan ini  menjadi tokoh sentral di Jepara.

Penulis merupakan peneliti Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Choose to Challenge! Berani Menantang! Karena Bekerja adalah HAK!

Oleh: Lies Marcoes

Choose to Challenge ! Berani Menantang!

Karena Bekerja adalah HAK !

Untuk perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini (2021), Rumah Kitab memilih tema “Merayakan Keragaman Kerja Perempuan”. Sesuai dengan tema Internasional Women’s Daya (IWD)Choose to Challenge, Rumah Kitab menggarisbawahi  tekanan pada pentingnya untuk “Berani “Menantang”/ “Choose to Challenge”  sebagai pilihan aksi kami. Hal yang hendak ditantang adalah apapun yang menyebabkan perempuan kehilangan hak-hak mereka untuk bekerja.

“Beranti Menantang”/ “Choose to Challenge” dalam pandangan kami adalah segala sesuatu yang menghalangi perempuan bekerja  yang disebabkan oleh prasangka gender, praktik diskriminasi yang berlindung di balik  budaya, tradisi, pandangan agama, atau bahkan infrastruktur yang bias terhadap perempuan. Semua itu secara berkelindan  tekah atau dapat menghalangi hak perempuan untuk bekerja. Dan itulah yang seharusnya ditantang.

Isu perempuan bekerja punya kaitan historis dengan IWD. Di peralihan abad ke 20, setelah  revolusi industri, terjadi perubahan dahsyat dalam  hubungan-hubungan gender di tingkat keluarga akibat munculnya industrialisasi. Lahirnya  mesin-mesin dan terbukanya peluang bekerja bagi perempuan di runag publik ternyata tak secara otomatis menyejahterakannya. Ini disebabkan oleh bias gender yang melahirkan praktik-praktik diskriminasi berbasis prasangka terhadap perempuan. Bagi masyarakat luas pada awal abad ke 20 itu, ditemukannya mesin-mesin industri  telah mengubah hubungan-hubungan  gender dalam keluarga yang sekaligus memunculkan beban ganda kepada perempuan.

Pada tahun 1909, sejumlah perempuan di Inggris yang diinisiasi Partai Buruh mulai menyadari hal itu; perempuan bekerja lebih panjang karena harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebagai bagian dari peran tradisional mereka yang mereka terima sebagai ajaran Gereja. Kaum perempuan bekerja namun dengan aumsi sebagai pencari nafkah tambahan sebagai pencari nafkah utamanya adalah lelaki Perempuan rentan mengalami perumahan ketika produksi pabrik menurun, rentan kekerasan seksual, tak mendapat perlindungan kerja yang sesuai dengan peran reproduksi mereka, tanpa ruang istirahat yang memadai.  Para perempuan pekerja ini kemudian memelopori menggalang hak perempuan bekerja untuk aman dalam menjalankan perannya.

Sebuah demonstrasi besar di Eropa muncul dipicu oleh peristiwa kebakaran pabrik di London yang telah menelan 146 perempuan. Mereka terperangkap di dalam pabkrik akibat sistem pengawasan pekerja yang buruk yang membatasi akses mereka ke luar pabrik.

Dimotori oleh para pekerja sendiri dan oleh gagasan-gagasan pemikiran feminis yang lahir pada awal abad itu, gerakan buruh mendapatkan “suplai pengetahuan, analisis kritis tentang penindasan berbasis prasangka gender sekaligus cara aksinya” yang kemudian membentuk teori dan sekaligus prakis  feminis. Kampanye -kampanye  tentang hak-hak buruh ini terus digulirkan di antara antara kaum pekerja di dua benua Eropa dan Amerika. Tahun 1910 aksi kaum buruh yang dimulai  pada 8 Maret itu dan berlanjut pada hari-hari berikutnya  kemudian ditandai sebagai “Hari Perempuan Internasional”. Namun  secara resmi HPI/ IWD baru diresmikan PBB  lebih dari setengah abad kemudian, pada 8 Maret 1975!.

Dengan melihat sejarahnya,  kita tahu bahwa yang dperjuangkan oleh pada aktivis perempuan pendahulu adalah soal Hak Perempua Bekerja. Pengalaman perempuan di Eropa ini menginspirasai kaum perempuan terpelajar di negara-negara jajahan yang memiliki kontak melalui buku-buku bacaan dan majalah. Namun di negara jajahan seperti India, Indonesia, sejumlah negara di Afrika, serta negara-negara berpendudk Muslim seperti di Mesir,  probem yang dihadapi kaum perempuan itu dirasakan lebih kompleks lagi. Mereka menghadapi budaya dan agama yang lebih kokoh menghalangi kebebasan kaum perempuan. Belum lagi persoalan yang dihadapi sebagai negara jajahan yang memiliki agenda-agenda besar untuk kemerdekaan. Dua kepentingan itu- kebebasan perempuan dari penindasan budaya/ pandangan agam dan tradisi, dan  kebebasan sebagai bangsa, harus dijalin dan dianyam oleh perempuan sebagai agenda ganda perjuangan mereka.

Dalam konteks kekinian, isu itu menjadi semakin relevan dan penting mengingat tantangan yang dihadapi. Tema Choose to Challange dalam IWD tahun ini sangatlah penting mengingat ragam tantangan yang menghalangi perempuan bekerja.

Secara teori, terutama dari teori-teori besar pembangunan, terdapat sebuah asumsi yang  patut diuji.  Teorinya adalah, semakin maju suatu masyarakat, dan semakin baik pendidikan suatu negara, maka dengan sendirinya akan semakin baik keadaan perempuan sebagai  konsekwensi dari akselerasi pendidikan mereka. Akselerasi pendidikan seharusnya terhubung  dengan capaian kesejahteranan mereka. Namun bagi perempuan  hal itu tak senantiasa berkorelasi. Keterbukaan akses pekerjaan kepada perempuan tanpa pendidikan yang memadai  menempatkan mereka menjadi tenaga kerja murah dalam industri-industri masal, atau  menjadi tenaga kerja migran. Namun karena mereka tak mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang hak-haknya sebagai manusia yang seharusnya disediakan oleh negara, mereka kemudian mengalami dehumanisasi. Contoh lain adalah ketika terjadi perubahan  alih  pungsi  dan kepemilikan lahan dari pertanian tradisional ke industri pertanian seperti perkebunan sawit atau tambang, warga di mana terjadinya perubahan itu, secara stuktural mengalami proses pemiskinan.

Capaian pendidikan dan permintaan pasar memberi peluang kepada perempuan untuk bekerja. Namun relasi gender d tingkat keluarga seringkali stagnan, tidak berubah. Hal ini telah memunculkan beban kerja berlipat ganda kepada perempuan. Dan karena pekerjaan perempuan tak selalu dapat dilaju atau dikerjakan secara rangkap, pekerjaan rumah tangga itu kemudian disubstitusikan kepada anak perempuan mereka.

Masalahnya, alih-alih mencari solusi yang logis atas perbahan-perubahan itu, pilihan gampang yang ditempuh adalah menarik mundur perempuan untuk kembali ke peran tradisional mereka. Penarikan mereka itu tak dilandasi oleh perubahan sosial dan di perubahan ruang publik yang telah berubah. Ketika ruang publik tempat perempuan bekerja dianggap tidak aman, mereka tidak diberi pilihan untuk mendapatkan ruang aman mereka yang seharusnya disediakan korporasi dan negara, melainkan ditarik kembali ke peran tradisional yang telah didefinisikan sebelumnya oleh pandangan keagaman dan budaya yang tak responsif terhadap perubahan zaman itu.

Inilah bacaan kami atas  tantangan itu. Untuk itu sangatlah penting untuk kembali ke kredo awal: bekerja adalah hak setiap orang, lelaki maupun perempuan. Norma-norma gender yang diskriminatif, layanan infrastruktur yang bisa gender  yang tidak responif kepada kebutuhan perempuan, serta  menguatnya pandangan keagamaan yang konservatif yang menyebabkan perempuan rentan kehilangan hak haknya untuk bekerja di luar rumah harus dilawan!. Dan itulah tantangan yang harus kita jawab. Sebab, bekerja adalah HAK, tak terkecuali bagi kaum perempuan !

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Penulis merupakan Direktur Rumah KitaB, dan artikel ini merupakan artikel serial International Women’s Day yang dipublikasikan oleh Rumah KitaB.

Menyoal Normalisasi Jilbab bagi Balita & Justifikasi Iklan Jilbab New Normal= Anjuran Bercadar Sejak Balita?

Oleh: Fadilla Putri

Sebuah iklan nyelonong ke timeline Instagram saya. Ini sponsored post dari sebuah akun berjualan jilbab dengan judul jilbab “new normal”. Jelas iklan itu telah memanfaatkan momentum Covid-19 untuk berjualan dengan pilihan diksi “new normal”. Dan itu mungkin dianggap biasa saja, namanya juga iklan. Namun, setelah dipelajari, saya melihat ini tak sekadar iklan jilbab.

New normal itu dikaitkan dengan penggunaan cadar bagi anak-anak. Artinya, dalam iklan itu tersirat sebuah gagasan yang melanggar hak-hak anak. Tulisan ini mengupas beberapa aspek dari iklan itu yang menjelaskan letak pelanggaran hak anak yang berangkat dari ideologi yang menganggap perempuan, bahkan sejak masih anak-anak, telah diberi stigma negatif terkait dengan tubuh (fisik) dan ketubuhannya (pandangan sosial tentang perempuan).

Sebetulnya, iklan itu pada intinya jualan jibab. Namun lebih dari jilbab, ternyata iklan itu menawarkan kelengkapannya berupa baju gamis dan cadar bagi balita perempuan! Dan itulah “new normal” menurut iklan itu. Akun itu mengklaim sebagai penjual baby hijab (hijab bayi). Di post itu, tampak anak perempuan kira-kira usia tiga tahun yang sedang mejeng sebagai model balita berjilbab dan bercadar. Ia mengenakan gamis ungu muda dengan kerudung menutup dada dan cadar dengan warna senada.

Caption post tersebut berbunyi: “Anak Anda susah mengenakan masker? Salah anaknya apa salah maskernya? Jilbab New Normal ini dilengkapi dengan masker cadar yang teruji nyaman dan aman...”

Dalam dunia digital, memasang sebuah iklan di media sosial bisa sangat targeted. Dalam anggapan penjual jilbab new normal bagi balita ini, saya adalah salah satu target audiens yang pas: seorang ibu muda, punya balita.

Hal yang tidak diketahuinya, pertama, anak saya laki-laki, dan kedua, saya adalah aktivis pemenuhan hak-hak anak agar terbebas dari apapun yang mengancam hak-hak mereka sebagai anak untuk berkreasi tanpa stigma, bermain dan beraktivitas tanpa dibebani ideologi apapun yang dianut orang dewasa yang dapat mengakibatkan mereka kehilangan hak-haknya sebagai anak. Karennya bukannya tertarik, saya justru merengut dan bersungut melihat post dengan caption tersebut.

Tak urung saya jadi penasaran atas iklan itu. Seperti dapat diduga, SELURUH anak perempuan yang menjadi modelnya memakai cadar, bukan hanya jilbab. Beberapa anak yang tidak memakai cadar, matanya diburamkan persis seperti pelaku kriminal di televisi. Beberapa post berisikan ilustrasi kartun anak perempuan. Namun lagi-lagi, sosok anak perempuan tersebut tidak diberi wajah.

Saya melihat sejumlah persoalan di sini. Saya seorang Muslimah, kebetulan saya juga pengguna jilbab, ibu dan kakak ipar juga memakai jilbab. Namun jilbab itu kami kenakan sebagai pilihan sadar orang dewasa, jilbab digunakan setelah menimbang banyak hal termasuk hak tubuh saya untuk aman dan nyaman dalam mengenakannya.

Saya tak pernah dipaksa oleh orangtua atau lingkungan saya untuk mengenakannya. Sebab dalam keyakinan saya ini terkait dengan pilihan-pilihan. Namun iklan itu jelas berisi unsur pemaksaan. Anak dinormalisasikan untuk menggunakan jilbab plus cadar!

Kedua, iklan itu telah memanfaatkan peluang dengan cara yang tidak fair. Mereka memanfaatkan situasi yang ditimbulkan oleh wabah Covid-19 untuk mengeruk keuntungan. Kampanye publik untuk menggunakan masker yang diserukan Badan Kesehatan Dunia atau pemerintah dimanfaatkan oleh mereka untuk jualan dengan dalih dakwah tentang kewajiban memakai cadar.

Argumentasi-argumentasi semacam “agama Islam telah lebih dulu menganjurkan menutup wajah” untuk menandingi anjuran memakai masker kerap terdengar. Padahal jika mau jujur, cadar bukanlah masker dan tak pernah diperlakukan atau diuji sebagai alat untuk menghindari penularan dan ketularan virus yang menyebar melalui droplet.

Artinya, kedua argumen tersebut sama sekali tidak berbanding lurus. Anjuran memakai masker didasarkan pada data dan fakta yang berlandaskan ilmu pengetahuan tentang efektivitasnya dalam mencegah tertular maupun menularkan virus Covid-19. Masker adalah upaya universal yang di dalamnya tak termuat isu suku, ras, agama, dan gender, melainkan semata-mata untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Sementara dalam jilbab yang dilengkapi  cadar dan diiklankan sebagai jilbab “new normal” berangkat dari ideologi tentang aurat perempuan.

Iklan itu mengingatkan saya pada penelitian Rumah KitaB tentang pandangan ideologi Islamisme yang berdampak pada kekerasan terhadap perempuan (2020). Penelitian ini menemukan bahwa perempuan menutup seluruh tubuhnya itu termasuk jilbab dan cadar berangkat dari dua konsep tentang: fitnah dan fitrah.

Dalam konsep itu, perempuan dianggap sebagai sumber fitnah–sumber kekacauan, goncangan, dan godaan bagi laki-laki. Oleh karena itu, perempuan wajib menutup auratnya. Dan karena perempuan adalah sumber fitnah, maka secara fitrah ia harus dikontrol dan diawasi oleh laki-laki di sepanjang hidupnya, baik oleh ayahnya maupun suaminya ketika ia menikah kelak.

Akun Instagram yang berjualan jilbab bercadar bagi balita itu persis menggambarkan gagasan tentang perempuan sebagai sumber fitnah. Dan lebih dari itu, gagasannya ditanamkan sejak masa balita ketika kewajiban syar’i dalam fikih pun belum berlaku baginya. Namun demi beriklan, balita- balita itu telah pula diberi label sebagai sumber fitnah. Sejak bayi mereka dinormalisasikan sebagai sumber kekacauan sosial atau sumber finah.

Sebagaimana dalam iklan, penelitian itu mencatat bahwa normalisasi pemakaian jilbab  yang dilengkapi cadar ditanamkan sejak bayi dan menjadi lebih ketat ketika mereka masuk TK. Saat anak perempuan menginjak bangku SD, seruan untuk semakin menutup tubuhnya seperti memakai cadar semakin kuat. Penelitian kami di berbagai wilayah menemukan anak balita sejak usia tiga tahun telah dinormalisasikan menggunakan jilbab, baik oleh aturan sekolah, pemaksaan orangtua, maupun komunitasnya.

Penelitian ini mengungkapkan, perempuan yang tidak menutup auratnya sesuai syariat mendapatkan stigma sebagai orang yang tak mendapatkan hidayah atau mendapatkan dosa jariyah yag terus menerus karena mengizinkan laki-laki berzina mata padanya, termasuk melalui gambar fisiknya di dunia maya. Dalam  konsep ini, di manapun perempuan berada (baik nyata maupun maya), tidak dibenarkan menampakkan auratnya, tak terkecuali anak-anak perempuan balita sebagaimana saya temukan di akun Instagram tersebut.

Usia balita adalah masa kritis dalam tahapan perkembangan anak. Saya mengalaminya sendiri. Setiap hari saya selalu bernegosiasi dengan anak saya tentang pakaian mana yang hendak ia kenakan. Negosiasi dilakukan karena kerap dia menolak memakai baju pilihan saya.

Sebagai orang dewasa, saya berusaha memahami pilihan-pilihannya sepanjang tidak membatasi hak-haknya untuk bebas bermain. Saya terima pilihanya karena dia sedang belajar tentang otonomi pada dirinya maupun tubuhnya. Sedapat mungkin saya mencoba mengakomodasi pilihan-pilihan yang ia buat sendiri, termasuk pakaian apa yang ingin ia kenakan atau bermain apa di hari itu. Hal yang saya pegang sebagai prinsip adalah, ia memahami bahwa ia seorang manusia yang merdeka.

Dari sana saya belajar memahami bahwa ia dapat membuat pilihan yang ia buat secara sadar yang menurutnya terbaik untuk dirinya, termasuk menerima konsekuensinya. Misalnya, tidak menggunakan baju bepergian untuk bermain karena baju bepergian cenderung kurang luwes, atau keharusan memakai piyama sebelum tidur agar tak kedinginan.

Pertanyaan saya sekarang, apakah anak-anak perempuan yang dipakaikan jilbab new normal itu memiliki pilihan atas apa yang ingin ia kenakan? Dan apakah pemakain jilbab new normal telah memenuhi hak anak untuk bebas bergerak, bereskpresi, menunjukkan cita rasa; suka, sedih, marah kecewa, dan gembira? Itu adalah hak yang secara universal harus dilindungi dan dipenuhi oleh orang dewasa!

Penulis merupakan Program Manager Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.

David Graeber, Perempuan, dan Kritik atas Konsep Kerja

Dunia antropologi berduka. Dan ini niscaya suatu duka yang amat dalam. David Graeber, seorang profesor antropologi dari London School of Economics wafat dalam usianya yang masih sangat muda, 59 tahun.

David Graeber bukan antropolog biasa bagi banyak orang. Ia perpaduan antara intelektual dan aktivis yang menggebu-gebu. Ia seorang aktivis yang dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap kapitalisme dan birokrasi, serta pandangannya yang “anarkis” soal ketimpangan sosial yang disebabkan oleh sistem hutang dalam bentuk kredit. Silakan angkat telunjuk , siapa di antara kita yang tak (pernah) berhutang dengan sistem kredit? Bahkan para campaigner anti riba, niscaya pernah berurusan dengan soal ini.

Saya mulai tertarik kepada karya -karya antropologisnya karena ia meneliti dan menulis hal-hal yang tidak biasa dalam dunia antropologi konvensional sejauh yang saya baca .

Cara kerjanya buat saya mengingatkan cara kerja feminis, dialektika teori dan praksis.

Dari berbagai sumber, saya menjadi terpesona oleh “double movement”nya (meminjam istilah secara sembarangan dari Fazlur Rahman). Ia melakukan kajian sekaligus mengadvokasikannya dengan cara terjun langsung sebagai aktivis, sebuah cara yang sebetulnya menjadi ciri khas kerja intelektual feminis. Karenanya ia kerap juga dikenal sebagai antropolog yang anarkis dalam arti melakukan kritik-kritik radikal atas ketimpangan – ketimpangan ekonomi yang sangat sadis di dunia modern saat ini sekaligus menyuarakannya dalam demonstrasi jalanan. Ia menulis beberapa buku dan tulisan yang sangat terkenal. Misalnya:Debt: The First 5000 Years (2011), The Utopia of Rules ( 2015) dan Bullshit Jobs: A Theory (2018). Berangkat dari teori dan penelitiannya ia pun tampil sebagai tokoh terkemuda dalam gerakan “Occupy Wall Street”.

Bukunya “Bullshit Jobs: A Theory”, berangkat dari tanggapan yang berlimpah atas eseinya yang ia tulis tahun 2013 tentang kerja “bullshit” yang ia kumpulkan dari para pekerja kerah putih yang mendefinisikan sendiri apa kerja mereka. Dalam esai itu ia mengatakan bahwa sebagain besar masyarakat bekerja dalam pekerjaan yang sebetulnya nggak penting-penting amat alias “gabut” – mendapatkan upah sangat baik tetapi tidak melakukan pekerjaan yang jelas.

Fatimah F Izzati membuat resensi yang sangat komprehensif dalam Indo PROGRESS (11 April 2020) tentang buku Bullshit Jobs ini. Graber, sebagaimana diulas Izzati memulai pembahasannya dengan menampilkan kontradiksi antara tesis dari seorang ekonom terkenal, John Maynard Keynes, di tahun 1930 dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Keynes memprediksi bahwa seiring dengan meningkatnya perkembangan teknologi pada abad ke-21, negara-negara seperti Amerika dan Inggris akan memberlakukan 15 jam kerja perminggu. Kenyataan, demkian David menegaskan, saat ini ( di tahun 2018 -ketika buku ini diluncurkan) justru membuktikan hal yang sebaliknya. Teknologi membuat sebagian besar pekerjaan level manajer malah bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang dibandingkan para buruh.

Menurut Graeber, teknologi (komunikasi) justru telah membuat manusia bekerja lebih banyak daripada sebelumnya. Meski demikian, dan ini ironinya, pekerjaan itu sebetulnya tidak selalu esensial dan tak juga berarti bagi para pekerja itu. Ia memberikan ilustrasi dengan menampilkan sebuah survei di AS tahun 2016 mengenai pekerjaan kantoran. Survei tersebut menyebutkan bahwa hanya sekitar 39 persen pekerjaan yang berkategori tugas utama, lebih dari 10 persen dihabiskan untuk pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat yang hanya membuang-buang waktu; 8 persen untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tidak penting; dan seterusnya. Artinya, pekerja kantoran dalam survei tersebut justru menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak produktif, kebanyakan “kongkow”.

Pekerjaan-pekerjaan semacam itulah yang disebut oleh Graeber, dan diidentifikasi oleh para pekerja sendiri, sebagai bullshit jobs. Hal yang menarik perhatian saya dari teori Graeber ini adalah laki-laki ternyata lebih banyak melakukan bullshit jobs ketimbang perempuan!

Dalam kajian gender, hal yang pertama dan utama melahirkan kajian gender itu adalah karena ketidakadilan dalam memaknai konsep “kerja”. Sejak revolusi industri awal abad 20, muncul pembagian kerja gender yang tak hanya membedakan siapa kerja apa berdasarkan kepantasan yang dikaitkan dengan jenis kelaminnya, tetapi juga siapa kerja apa, dalam posisi dan di mana dikaitkan dengan kepantasaan lokasi/tempat kerja serta status sosial berdasaran gendernya. Sejak itu, secara teori muncul jenis pekerjaan yang dikaitkan dengan karakter lelaki (maskulin) dan perempuan ( feminin) dan itu menjadi lebih kenceng ketika pandangan agama, adat dan kepentingan politik ikut campur dalam menentukan pekerjaan mana yang pantas bagi lelaki dan mana bagi perempuan. Kerja-kerja bullshit itu kemudian banyak dikaitkan dengan pekerjaan yang secara normatif dianggap sepantasnya dilakukan oleh para lelaki.

Dalam bullshit job sebagaimana diuraikan Graeber, sebenarnya banyak sekali pekerjaan para boss yang dikerjakan dengan rapi oleh para asistennya. Kebanyak dilakukan oleh pekerja-pekerja perempuan dengan status sebagai asisten. Misalnya sekretaris, office manager, hingga istri dan asisten rumah tangga sebagai penyangganya. Andai saja para perempuan ini mogok kerja, niscara para lelaki manajer itu hanya bisa lempar-lempar bola golfnya ke tembok, sebab untuk main golf pun ia butuh caddy yang umumnya perempuan.

Melalui studi gender, orang mengenali bahwa ternyata dalam komunitas, apalagi komunitas di dunia Timur, perempuan sebetulnya melakukan pekerjaan berganda-ganda. Mereka kerja produktif (cari nafkah), kerja reproduktif (pemeliharaan dan perawatan keluarga) serta kerja komunitas (Caroline Moser). Masalahnya pekerjaan-pekerjaan itu – kecuali kerja produksi, kerap tak dikenali sebagai pekerjaan utama bahkan tak dianggap sebagai pekerjaan. Mengurus suami, anak dan rumah tangga yang nyaris 18 jam perhari, tak diakui oleh statistik sebagai pekerjaan.

Ketika covid-19 menyerang seluruh sendi kehidupan masyarakat dan kantor dipaksa stop beroperasi, semakin tampak wajah bullshit job itu. Dunia tetap bergerak tanpa kehadiran mereka, tanpa rapat yang tergopoh-gopoh, tanpa teriakan-teriakan stess di lantai bursa. Namun para perempuan, ibu-ibu rumah tangga harus bekerja nyata agar dunia tetap bergerak; anak-anak tetap bersekolah di rumahnya, dapur dan meja makan menjadi restoran, minimal warteg, dan kamar mandi tetap kering dan harum seperti di kantor. Dan itulah kerja yang sesungguhnya, bukan kerja bullshit!

Selamat jalan David, kamu pergi terlalu cepat!

Penulis merupakan Direktur Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Perwujudan Norma Gender Perempuan Bekerja

Oleh: Wa Ode Zainab ZT

Perempuan identik dengan pekerja domestik, suatu perkerjaan yang secara stereotype dikaitkan dengan ‘dapur, sumur, dan kasur’. Walaupun aktif dalam ranah publik, perempuan tidak dapat keluar dari lingkaran tersebut. Anehnya, pekerjaan di ruang publik dianggap sebagai pilihan yang bisa dilakukan oleh lelaki atau perempuan, namun untuk pekerjaan domestik seluruh norma moral, sosial, bahkan politik menetapkannya sebagai kewajiban perempuan.

Tulisan ini menguraikan ragam elemen konstruksi gender yang mengikat perempuan pada kewajiban kerja-kerja domestik serta implikasinya, dan kemungkinan untuk membongkarnya dengan membahas ulang norma gender perempuan bekerja

Saya melihat fenomena terikatnya perempuan pada dua jenis pekerjaan itu saat masih kecil pada diri Bunda (Ibu kandung saya). Sebelum subuh, Bunda  mengurus pekerjaan domestik, termasuk menyiapkan keperluan anak-anak dan suaminya. Setelah semuanya selesai, Bunda berangkat kerja. Sore hari setelah pulang tidak membuatnya bisa beristirahat. Bunda dihadapkan kembali dengan setumpuk pekerjaan rumah dan pelayanan terhadap keluarganya.

Ayah saya bukan lelaki yang merupakan salah satu orang yang hidup dalam konstruk sosial-budaya yang beranggapan bahwa pekerjaan domestik memang tugas  perempuan. Berdasarkan pengalaman itu, maka Bunda mengingatkan agar membuat kesepakatan dengan pasangan sebelum menikah. Termasuk di dalamnya, berkaitan dengan pembagian peran domestik dan mewujudkan cita-cita.

Saat saya melanjutkan kuliah dan bekerja, Bunda membantu mengasuh anak kami. Suami pun sangat mendukung keputusan tersebut karena sudah disepakati bersama. Dengan kerelaan hatinya, suami ikut-serta mengerjakan pekerjaan domestik yang dulu asing baginya. Sehingga, dalam rumah tangga kami, suami dan istri sama-sama mengerjakan tugas domestik dan publik.

Memutus Mata Rantai Beban Ganda

Masing-masing perempuan bekerja memiliki berbagai alasan, seperti kondisi ekonomi, tuntutan zaman, atau eksistensi dirinya sebagai manusia untuk mengaktualisasikan potensinya. Namun, struktur sosio-kultural yang menganut sistem patriarki mengakibatkan perempuan bekerja rangkap dan mengalami beban ganda.

Menurut kamus Keluarga Berencana, double burden (beban ganda) berarti perbedaan perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dengan memberikan pekerjaan lebih banyak (berganda) dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Dalam hal ini, yang dimaksud ialah pihak perempuan diberi beban pekerjaan domestik, namun tak secara otomatis terbebas dari tanggung jawab mencari nafkah, yang secara normatif menjadi tanggung jawab lelaki. Beban ganda ini tidak akan menjadi problematis apabila pola relasi dalam keluarga berbasis prinsip kesalingan atau kemitraan.

Peran ganda disebutkan dengan konsep dualisme kultural, yakni adanya konsep domestic sphere dan public sphere Beban ganda adalah partisipasi perempuan menyangkut peran tradisi dan transisi. Peran tradisi atau domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu ,dan pengelola rumah tangga. Sementara peran transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat, dan manusia pembangunan. (Keppi Sukesi, 1991).

Tantangan Dilematis

Akibat konstruksi gender dalam masyarakat patriarki yang berpusat kepada lelaki,  perempuan kerap menghadapi tantangan di dalam dirinya, tempat kerja, maupun  di masyarakat. Perempuan terkadang memandang rendah dirinya sendiri, sehingga tidak memiliki bargaining, misalnya apabila membicarakan soal kenaikan gaji atau posisi. Perempuan acap kali ‘pasrah’ menerima segala ketentuan perusahaan atau institusi. Jika laki-laki memperjuangkan hal itu dianggap suatu kewajaran karena terkait perannya sebagai pencari nafkah utama sementara perempuan dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, ta peduli kenyataannya di mana lebih dari 72% perempuan mencari nafkah untuk dirinya dan 4 orang anggota keluarganya terlepas dari apapun status perkawinannya (Yooke Schreves, 1988).

Perempuan juga harus menghadapi tantangan di tempat kerja. Seringkali mereka dianggap tak memiliki kecakapan cukup sehingga harus membuktikannya lebih baik dari yang lain (lelaki).  Secara psikologis ketika berada di posisi menengah bukan top leader, perempuan seperti harus bersaing dengan perempuan lain, bukan ‘partner kerja’, karena sulitnya menggapai posisi tinggi. Dan hal yang paling berat, perempuan  menghadapi situasi kerja yang tidak aman, rentan kekerasan, atau disingkirkan.

Sebagaimana dilaporkan LBH Jakarta, tahun 2016, Serikat Buruh yang tergabung dalam Pokja Buruh Perempuan yang terdiri dari 80 perusahaan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung melaporkan, minimal ada empat jenis kekerasan yang kerap dialami perempuan bekerja (buruh pabrik). Pertama, kekerasan seksual, seperti mengomentari bentuk tubuh atau cara berpakaian buruh perempuan, dipaksa kencan oleh atasan, bahkan diperkosa.

Kedua, kasus kekerasan fisik, seperti dipukul, dijewer, dicubit, dilempar benda keras, dan digebrak meja. Ketiga, kekerasan verbal, misalnya diancam atau diintimidasi akan diadukan atau diputus kontrak dengan kata-kata kasar, menakut-nakuti, menghina, dan memaki. Keempat, Pelanggaran terhadap hak maternitas, seperti keguguran di tempat kerja yang dianggap bukan kecelakaan kerja, tidak ada fasilitas ruang laktasi, sulitnya cuti haid, serta tidak adanya tunjangan bagi buruh yang hamil dan melahirkan.

Tantangan lainnya, perempuan bekerja mendapatkan upah yang minim atau lebih rendah dari pekerja laki-laki. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), pada Mei 2019, rata-rata upah laki-laki sebesar Rp. 3,05 juta sedangkan perempuan sebesar Rp. 2,33 juta. Senada, sebuah laporan pada 2017 dari Australia Indonesia Partnership for Economic Governance menemukan bahwa perempuan Indonesia hanya dibayar 70-80% dari apa yang diperoleh laki-laki per jam-nya.

Menurut Lies Marcoes, Direktur Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), berbagai tantangan yang dihadapi perempuan bekerja lahir dari pandangan yang tidak konsisten dalam mendukung perempuan di ruang publik; terkadang didukung karena perempuan secara stereotype dianggap pekerja yang taat, sabar dan bisa dibayar murah, terkadang ditolak, paling cepat dirumahkan jika terjadi pengurangan pekerja dengan asumsi mereka pencari nafkah tambahan. Kedua situasi ini seringkali menggunakan argumen norma gender yang berasal dar pandangan keagamaan.

Konsistensi Dukungan

Berdasarkan pemaparan di atas, salah satu hal yang bisa dilakukan untuk memutus mata rantai beban ganda ialah pembagian tugas yang jelas. Ini dimaksudkan agar fungsi keluarga tidak terganggu karena akan mempengaruhi sistem yang lebih besar. Jadi, alih-alih menyelesaikan akar persoalannya, banyak kelompok agama yang menegaskan agar perempuan tetap tinggal di rumah.

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menegaskan kewajiban bekerja yang berlaku bagi manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Seperti ayat ini: “Jika kamu selesai shalat, segeralah bertebaran di muka bumi untuk mencari anugrah Allah dan sering-seringlah mengingat Allah supaya kamu beruntung” (QS. Al Jumu’ah: 10). Selain itu, Dr. Abd al-Qadir Manshur, seorang ulama dalam Buku Pintar Fikih Wanita, menyebutkan banyak teks hadis dan pendapat ulama yang menyebutkan bahwa perempuan diperbolehkan untuk bekerja, baik sebelum atau sesudah menikah.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi hadis, seperti Imam Ahmad, Imam Ibnu Sa’d, Imam Ibnu Hibban, dan Imam Baihaqi. Istri Abdullah bin Mas’ud, Rithah, datang menemui Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini karena saya, suami saya, dan anak saya tidak memiliki harta apapun”. Kemudian Rasulullah pun merespons: “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka.”

Pada realitasnya, kita tidak bisa menafikkan fenomena perempuan bekerja. Namun sayangnya, perempuan bekerja dihimpit oleh dua belah pihak. Di satu sisi, kapitalisme yang hanya mengeksploitasi perempuan; di lain sisi, struktur sosial budaya yang tak mendukung perempuan bekerja. Sehingga, kesetaraan gender sudah sepatutnya diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari karena bukan hanya hak asasi manusia yang mendasar, tetapi juga merupakan pondasi yang diperlukan untuk dunia yang damai, sejahtera, dan berkelanjutan.

Penulis merupakan peneliti di Rumah KitaB.

Bagaimana Kita Bisa Melindungi Perempuan Hamil yang Bekerja Saat Pandemi?

Oleh: Fadilla Putri

Baru-baru ini,  sahabat sejak masa kecil mengeluhkan betapa sulitnya harus pergi bekerja di masa pandemi ketika hamil. Saat ini ia memasuki kehamilan trimester keduanya. Keluhan itu bahkan telah ia utarakan sejak awal kehamilannya: tidak bisa makan karena seringkali berujung mual hebat hingga muntah, merasa tidak sehat tapi tak ada penyakit kecuali kehamilan itu, tidak nyaman atau sedih tapi sulit untuk diceritakan atau dikeluhkan karena hal itu dianggap hal yang biasa. Kejadian-kejadian itu  kerap ia alami bahkan ketika dekat dengan suaminya, atau di tengah keluarga, atau di kantor.

Pengalaman hamil tentu akan menjadi memori yang sangat lekat bagi perempuan. Ketika saya hamil tiga tahun lalu, saya mengalami masa-masa terberat karena gangguan kehamilan.  Saya tidak boleh turun dari tempat tidur karena cenderung mengalami pendarahan. Ketika itu saya masih belum berkantor di Rumah KitaB. Karena keluhan-keluhan itu sekitar tiga minggu saya absen dari kantor. Setelah merasa kuat dan kembali ke kantor, waktu bekerja sering saya habiskan berbaring di dalam ruang menyusui karena saya dilarang dokter duduk dalam jangka waktu lama. Beruntung  saat itu saya bekerja di sebuah kantor untuk perlindungan anak, sehingga hak saya sebagai perempuan bekerja yang sedang mengandung sangat dilindungi.

Dalam keadaan dunia yang “normal” pun, kehamilan itu berat.  Al-Qur’an surat Lukman ayat 14 disebutkan: “Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”

Al-Qur’an menyebutkan bahwa perempuan hamil berada dalam kondisi lemah yang bertambah-tambah. Ibu Lies Marcoes, Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), kerap kali menjelaskannya sebagai “berat di atas berat” dan “sulit di atas sulit” untuk menjelaskan betapa beratnya kehamilan itu.

Sahabat saya ini bekerja di sebuah instansi di bilangan Jakarta. Setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilonggarkan, setiap pekan ia wajib masuk kantor secara bergiliran; satu hari di rumah, satu hari di kantor, begitu seterusnya. Bahkan akhir tahun lalu, ia masuk kantor hampir setiap hari karena banyaknya deadline pekerjaan akhir tahun.

Sebuah riset yang dilakukan oleh dosen Universitas Indonesia, Kanti Pertiwi, pada 96 perempuan pekerja usia 20-50 tahun sepanjang Juni-Agustus 2020 menunjukkan bahwa informan perempuan merasakan tekanan dari kebijakan kantornya yang maskulin selama pandemi. Tolak ukur produktivitas dan beban kerja tidak mengalami penyesuaian meskipun pandemi (sumber).

Selain lansia, orang dengan penyakit penyerta, dan tenaga medis, perempuan hamil termasuk ke dalam kelompok rentan terhadap Covid-19. Kehamilan sendiri sudah mengandung risiko. Ditambah dengan adanya pandemi, seorang perempuan hamil menjadi semakin rentan terhadap Covid-19.

Kebijakan kantor yang tidak sensitif gender menganggap seolah-olah keadaan seorang perempuan hamil adalah sama dengan pekerja lainnya. Ketika perempuan mengalami hambatan bekerja karena kehamilannya, hambatan itu harus ditanggulangi sendiri karena tidak ada upaya untuk memperbaiki atau mengakomodasi kebutuhannya. Muncul juga anggapan perempuan hamil tidak bisa seproduktif kolega lainnya karena “kesalahannya” sendiri atas keadaannya. Perempuan sendirilah  yang harus menanggung risiko untuk bisa catch up dengan kolega lainnya. Cara pandang ini telah mengabaikan hak yang paling dasar yang dilindungi baik oleh agama maupun oleh Undang-Undang Kesehatan.

Padahal, adalah kewajiban perusahaan atau instansi terkait untuk melindungi, atau setidaknya mengakomodasi kebutuhan para perempuan hamil yang aktif bekerja.

Pertama, perusahaan bisa memberikan fleksibilitas kepada karyawan atau staf perempuan yang sedang hamil untuk mengurangi jadwal “piket”nya untuk masuk kantor guna meminimalisasi kontak dengan banyak orang tanpa harus mengurangi kewajibannya dalam bekerja. Ini berarti  perusahaan atau instansi mengeluarkan kebijakan bahwa perempuan hamil bisa bekerja dari rumah sepanjang kehamilannya. Terutama jika kantor berada pada gedung tertutup yang tidak memungkinkan protokol VDJ yang maksimal (ventilasi, durasi, dan jarak), karena risiko Covid-19 tidak hanya ada pada sang ibu, tetapi juga pada sang bayi. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas ditegaskan bahwa anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, sementara definisi anak adalah seseorang di bawah 18 tahun, termasuk yang berada dalam kandungan. Ini artinya, perempuan hamil berhak mendapatkan perlindungan maksimal atas keselamatan janinnya, termasuk oleh perusahaan/instansi tempat ia bekerja, karena haknya dilindungi oleh negara.

Kedua, mengakomodasi kebutuhan perempuan hamil jika ia tetap harus masuk kantor. Memang, tidak semua jenis pekerjaan dapat dikerjakan dari rumah. Beberapa pekerjaan, teruma yang berhubungan dengan sektor jasa, membutuhkan kehadiran fisik pekerja di tempat kerjanya. Akan tetapi, banyak cara yang dapat dilakukan untuk melindungi perempuan hamil selama ia bertugas. Misalnya, dengan memberikannya ia akses pada ruangan privat agar dapat beristirahat ketika lelah atau mengalami mual hebat. Dalam keadaan khusus, misalnya ketika kehamilan seorang perempuan mengalami risiko tinggi—entah risiko perdarahan dan lainnya—perusahaan dapat mengurangi beban atau jam kerjanya, atau menggunakan hak cuti sakitnya.

Ketiga, hak perempuan dilindungi dalam pasal 82 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk mendapatkan paid maternity leave selama 3 bulan. Artinya, ia dibayar penuh selama cuti hamil dan melahirkan. Bahkan, beberapa perusahaan di Indonesia telah menerapkan cuti 6 bulan bagi perempuan yang melahirkan untuk mendukung ASI eksklusif.

Masalahnya, tidak semua perusahaan atau tempat kerja memiliki perspektif yang sama. Hasil analisis situasi perempuan bekerja yang dilakukan Rumah KitaB pada Agustus-September 2020 lalu di Bandung misalnya, menemukan sebuah perusahaan yang sama sekali tidak memberikan hak cuti bagi perempuan, baik cuti haid, hamil, maupun melahirkan. Sehingga, para pekerja perempuan yang hamil terpaksa harus mengundurkan diri sebelum melahirkan karena haknya untuk tetap bekerja pasca melahirkan tidak terpenuhi.

Pada akhirnya tulisan ini ingin menekankan bahwa, dalam kondisi dunia yang “normal” pun, kehamilan sudah berat. Bisakah terbayangkah bagaimana beratnya hamil dalam kondisi krisis wabah global? Ini adalah kewajiban perusahaan, lembaga, dan negara untuk melindungi kelompok rentan Covid-19, tak terkecuali perempuan hamil yang bekerja. Kebijakan tempat kerja dan pemimpin perempuan yang memahami pengalaman unik perempuan adalah salah satu kunci untuk mendukung agar perempuan dapat terus berpartisipasi di ruang publik, apapun kondisinya.

Penulis merupakan staf di Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini.