Menengok Kembali Perempuan Kampungku Bekerja
Oleh: Mustika Al Adawiyah
Menjelang Hari Perempuan Internasional, di Rumah Kitab kami membahas isu yang akan diangkat sebagai tema. Choose to Challenge sebagai tema umum HPI ini kemudian kami fokuskan membahas tentang “Merayakan Ragam Pekerjaan Perempuan”. Untuk itu semua staf diminta berbagi cerita tentang “pekerjaan” perempuan yang kita amati di lingkungan kita sendiri. Buat saya rasanya aneh, sebab perempuan di kampung saya, perempuan di sekitar saya, memang perempuan yang bekerja. Terlepas dari ada atau tidak ada pendidikan, perempuan di kampung saya adalah pekerja, bahkan dapat dikatakan pekerja keras. Tapi saya baru menyadari betapa ragamnya pekerjaan-pekerjaan kaum perempuan di kampung asal saya di Garut Selatan.
Saya lahir dari sebuah keluarga Sunda di wilayah Selatan Garut. Bagi “urang Sunda”, perempuan itu memang harus bekerja!. Ada nyanyian sewaktu kecil yang mengajarkan bahwa bekerja itu memang kewajiban bagi perempuan. “Kawajiban awewe, kudu daek digawe” yang artinya kira-kira “ Kewajiban perempuan harus mau bekerja”. Tidak ada penjelasan dalam lagu itu pekerjaan apa yang dimaksud, namun dalam pemahaman saya, itu menunjuk kepada pekerjaan mengurus rumah tangga yang dianggap sebagai pekerjaan utama/ kewajiban utama perempuan.
Namun di kampung saya, perempuan itu bekerja untuk mencari nafkah selain mengurus rumah tangganya. Secara geografis wilayah tempat saya tinggal merupakan perpaduan antara pesisir di mana pendudukan kebanyakan menjadi nelayan atau buruh nelayan, sementara di sebelah utara merupakan wilayah pegunungan dan dataran tinggi, kebanyaakan penduduknya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.
Wilayah Garut, sebagaimana umumnya wilayah Priangan Timur, di kenal sebagai wilayah yang sangat subur. Mungkin karena dikepung gunung-gunung yang aktif dan beberapa kali dalam sejarahnya pernah meletus, tanah di wilayah Garut dikenal sangat subur. Beberapa buah-buahan seperti Jeruk Garut dan buah arben yang daunnya digunakan untuk ulat sutra pernah menjadi buah primadona sebelum diserbu buah-buahan dari luar.
Meskipun subur di banyak wilayah, seperti di kampung saya itu (Kabupaten Garut Selatan), kebanyakan penduduknya tergolong menengah ke bawah. Pekerjaan utama para warganya bertani dan melaut. Hanya sebagian kecil yang menjadi pegawai, atau merantau ke kota dengan berbagai keahliannya. Di kota kota besar di Indonesia, lelaki dari Garut dikenal keahliannya sebagai tukang pangkas rambut, Asgar- Asli Garut.
Karakter orang Sunda sering disebut someah, atau ramah. Tapi karakter dari wilayah Selatan sering dianggap keras, ini terlihat dari cara bicaranya yang tidak sehalus orang Ciajuran di wilayah Barat Jawa Barat yang dianggap lebih halus. Hal yang pasti watak keras itu dapat dilihat dari cara mereka gigih dalam bekerja, lelaki maupun perempuan.
Sektor pertanian sebagai petani atau buruh tani tampaknya tidak lagi menjadi pilihan anak muda dari wilayah Garut Selatan. Pekerjaan itu biasanya dilakukan oleh mereka yang telah selesai merantau dan kembali ke kampung halaman. Setelah tamat SMP atau SMA, umumnya perempuan-perempuan dari kampung saya merantau ke kota menjadi “dongsih”. Saya tidak tahu apa arti sebenarnya, konon itu singkatan dari “kadongdong beresih” buah kedondong yang bersih. Tapi ada juga yang mengartikan “ngendong bersih”. Hal itu menunjuk kepada pembayaran upah bersih di mana pekerja (biasanya pekerjaan Asisten Rumah Tangga atau buruh) tidak lagi mengeluarkan biaya untuk penginapan/ ngontrak atau makan, karena mereka telah mendapatkan tempat tinggal untuk menginapnya (ngendong) dan untuk biaya makannya, sehingga upah yang diterima bersifat netto alias “bersih”.
Namun saat ini dongsih juga diartikan sebagai sebutan untuk para perempuan muda yang bekerja ke kota Garut, Bandung dan Jakarta sebagai buruh pabrik atau menjadi ART (Asisten Rumah Tangga). Sementara itu jenis pekerjaan pabrikan yang banyak diminati adalah pabrik makanan seperti dodol Garut, pabrik garmen, dan pabrik bulu mata palsu dan wig untuk ekspor ke Korea. Hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan melanjutkan kuliah dan bekerja berdasarkan keahliannya. Namun sejak lama juga banyak perempuan yang bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) terutama ke negara-negara Arab.
Degan demikian, sejak kecil saya tidak pernah mendengar larangan terhadap perempuan untuk bekerja di luar rumah. Sebaliknya saya sering mendengar Mama Ajengan (sebuatan untuk kyai dalam kebiasaan orang Sunda) mendorong untuk bekerja di mana saja yang penting halal dan tetap menjalankan kewajiban agama. Dengan bekerja, demikian sering saya dengar, kita jadi punya kesempatan bersedekah. Kalau Lebaran tiba, dan para perantau pulang, banyak sekali kegiatan-kegiatan untuk bersedekah seperti membangun madrasah, mesjid atau untuk membangun rumah untuk orang tua yang tetap tinggal di kampung. Jadi kalau sekarang ada ujaran-ujaran yang meminta perempuan sebaiknya tinggal tidak bekerja dan di rumah, buat saya itu seperti melawan kewajibannya yang selalu kita dengar sebagai nasihat dari orang tua.
Namun begitu saya juga melihat yang menjadi masalah adalah cara orang menghargai tenaga kerja perempuan dan lelaki yang dibeda-bedakan. Upah yang didapatkan buruh lelaki dan perempuan terutama dalam dunia pertanian dan melaut itu berbeda. Baik di pertanian maupun di laut upah perempuan selalu lebih rendah. Upah perempuan lebih kecil upahnya dengan alasan bahwa beban kerja laki-laki lebih berat daripada perempuan. Selisih upahnya lumayan jauh sekitar Rp15.000 sampai Rp20.000 untuk waktu kerja 6 – 7 jam kerja, Perempuan dibayar Rp 35.000,- laki-laki Rp 50.000,-. Sampai Rp60.000,- selain itu ada anggapan perempuan selalu mendapatkan nafkah dari suaminya sehingga status mereka dalam bekerja dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Padahal banyak perempuan apapun status perkawinanya merupakan pencari nafkah utama. Dalam beberapa kasus, mereka merupakan kepala keluarga.
Persoalan lain, terutama bagi keluarga yang istrinya merantau jauh seperti menjadi TKW, tidak ada pendidikan bagi suami di kampung bagaimana menjadi suami dan bapak yang baik, setia dan menunjang perjuangan istrinya di rantau. Hal yang sering menjadi cerita umum adalah suaminya nyandung (poligami), uang dari istri dihambur-hamburkan untuk membeli barang-barang kosnumtif dan tidak ada budaya menabung dan cara pengelolaan uang hasil kerja di rantau.
Namun ada juga yang berhasil dipakai untuk menyekolahkan anak, membangun rumah dan membeli sawah/ kebun untuk bekal perempuan sendiri di masa tuanya. Ketika mereka kembali ke kampung mereka tetap bekerja baik mengurus rumah tangganya, mengurus keluarganya sambil tetap mencari nafkah. Sementara anak-anaknya melanjutkan kariernya di kota dan kembali sesekali ke kampungnya untuk menikmati jerih payahnya mereka dan orang tuanya bekerja.
Perempuan di kampung saya memang perempuan pekerja!
—
Penulis merupakan staf Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!