Posts

Menengok Kembali Perempuan Kampungku Bekerja

Oleh: Mustika Al Adawiyah

Menjelang Hari Perempuan Internasional, di Rumah Kitab kami membahas isu yang akan diangkat sebagai tema. Choose to Challenge sebagai tema umum HPI ini kemudian kami  fokuskan membahas tentang “Merayakan Ragam Pekerjaan Perempuan”. Untuk itu semua staf diminta berbagi cerita tentang “pekerjaan” perempuan yang kita amati di lingkungan kita sendiri. Buat saya rasanya aneh, sebab perempuan di kampung saya, perempuan di sekitar saya, memang perempuan yang bekerja. Terlepas dari ada atau tidak ada pendidikan, perempuan di kampung saya adalah pekerja, bahkan dapat dikatakan pekerja keras. Tapi saya baru menyadari betapa ragamnya pekerjaan-pekerjaan kaum perempuan di  kampung asal saya di Garut Selatan.

Saya lahir dari sebuah keluarga Sunda di wilayah Selatan Garut.  Bagi “urang Sunda”, perempuan itu memang harus bekerja!. Ada nyanyian sewaktu kecil yang mengajarkan bahwa bekerja itu memang kewajiban bagi perempuan. “Kawajiban awewe, kudu daek digawe” yang artinya kira-kira “ Kewajiban perempuan harus mau bekerja”. Tidak ada penjelasan dalam lagu itu pekerjaan apa yang dimaksud, namun dalam pemahaman saya, itu menunjuk kepada pekerjaan mengurus rumah tangga yang dianggap sebagai pekerjaan utama/ kewajiban utama  perempuan.

Namun di kampung saya, perempuan itu bekerja untuk mencari nafkah selain mengurus rumah tangganya. Secara geografis wilayah tempat saya tinggal  merupakan perpaduan antara pesisir di mana pendudukan kebanyakan menjadi nelayan atau buruh nelayan, sementara di sebelah utara merupakan wilayah pegunungan dan dataran tinggi, kebanyaakan penduduknya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan.

Wilayah Garut, sebagaimana umumnya wilayah Priangan Timur, di kenal sebagai wilayah yang sangat subur. Mungkin karena dikepung gunung-gunung yang aktif dan beberapa kali dalam sejarahnya pernah meletus, tanah di wilayah Garut dikenal sangat subur. Beberapa buah-buahan seperti Jeruk Garut dan buah arben yang daunnya digunakan untuk ulat sutra pernah menjadi buah primadona sebelum diserbu buah-buahan dari luar.

Meskipun subur di banyak wilayah, seperti di kampung saya itu (Kabupaten Garut Selatan),  kebanyakan penduduknya tergolong menengah ke bawah.  Pekerjaan utama para warganya bertani dan melaut. Hanya sebagian kecil yang  menjadi pegawai, atau merantau ke kota dengan berbagai keahliannya. Di kota  kota besar di Indonesia, lelaki dari Garut dikenal keahliannya sebagai tukang pangkas rambut, Asgar- Asli Garut.

Karakter orang Sunda sering disebut someah, atau ramah. Tapi  karakter dari wilayah Selatan sering dianggap keras, ini terlihat dari cara bicaranya yang tidak sehalus orang Ciajuran  di wilayah  Barat  Jawa Barat yang dianggap lebih halus. Hal yang pasti watak keras itu dapat dilihat dari cara mereka gigih dalam bekerja, lelaki maupun  perempuan.

Sektor pertanian sebagai petani atau buruh tani tampaknya tidak lagi  menjadi pilihan anak muda dari wilayah Garut Selatan. Pekerjaan itu biasanya dilakukan oleh mereka yang telah selesai merantau dan kembali ke kampung halaman. Setelah tamat SMP atau SMA, umumnya perempuan-perempuan dari  kampung saya  merantau ke kota  menjadi “dongsih”.  Saya tidak tahu apa arti sebenarnya, konon itu singkatan dari “kadongdong beresih” buah kedondong yang bersih.  Tapi ada juga yang mengartikan “ngendong bersih”. Hal itu menunjuk kepada pembayaran upah bersih di mana pekerja (biasanya pekerjaan Asisten Rumah Tangga atau buruh) tidak lagi mengeluarkan biaya untuk penginapan/ ngontrak atau makan, karena mereka telah mendapatkan tempat tinggal untuk menginapnya (ngendong) dan untuk biaya makannya, sehingga upah yang diterima bersifat netto alias “bersih”.

Namun saat ini dongsih juga diartikan sebagai sebutan untuk para perempuan muda yang bekerja ke kota Garut, Bandung dan Jakarta sebagai buruh pabrik atau menjadi ART (Asisten Rumah Tangga). Sementara itu jenis pekerjaan pabrikan yang banyak diminati adalah pabrik makanan seperti dodol Garut, pabrik garmen, dan pabrik bulu mata palsu dan wig untuk ekspor ke Korea. Hanya sedikit yang mendapatkan kesempatan melanjutkan kuliah dan bekerja berdasarkan keahliannya. Namun sejak lama juga banyak perempuan yang bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) terutama ke negara-negara Arab.

Degan demikian, sejak kecil saya tidak pernah mendengar larangan terhadap perempuan untuk bekerja di luar rumah.  Sebaliknya saya sering mendengar Mama Ajengan (sebuatan untuk kyai dalam kebiasaan orang Sunda) mendorong untuk bekerja di mana saja yang penting halal dan tetap menjalankan kewajiban agama. Dengan bekerja, demikian sering saya dengar, kita jadi punya kesempatan bersedekah. Kalau Lebaran tiba, dan para perantau pulang, banyak sekali kegiatan-kegiatan untuk bersedekah seperti membangun madrasah, mesjid atau untuk membangun rumah untuk orang tua yang tetap tinggal di kampung. Jadi kalau sekarang ada ujaran-ujaran yang meminta perempuan sebaiknya tinggal tidak bekerja dan di rumah, buat saya itu seperti melawan kewajibannya yang selalu kita dengar sebagai nasihat dari orang tua.

Namun begitu saya juga melihat yang menjadi masalah adalah cara orang menghargai tenaga kerja perempuan dan lelaki yang dibeda-bedakan. Upah yang didapatkan buruh lelaki dan perempuan terutama dalam dunia pertanian dan melaut itu berbeda. Baik di pertanian maupun di laut upah perempuan selalu lebih rendah. Upah perempuan lebih kecil upahnya dengan alasan bahwa beban kerja laki-laki lebih berat daripada perempuan. Selisih upahnya lumayan jauh sekitar Rp15.000 sampai Rp20.000 untuk waktu kerja 6 – 7 jam kerja, Perempuan dibayar Rp 35.000,- laki-laki Rp 50.000,-. Sampai Rp60.000,- selain itu ada anggapan perempuan selalu mendapatkan nafkah dari suaminya sehingga status mereka dalam bekerja dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Padahal banyak perempuan  apapun status perkawinanya merupakan pencari nafkah utama. Dalam beberapa kasus, mereka merupakan kepala keluarga.

Persoalan lain, terutama bagi keluarga yang istrinya merantau jauh seperti menjadi TKW, tidak ada pendidikan bagi suami di kampung bagaimana menjadi suami dan bapak yang baik, setia dan menunjang perjuangan istrinya di rantau. Hal yang sering menjadi cerita umum adalah suaminya nyandung (poligami), uang dari istri dihambur-hamburkan  untuk membeli barang-barang kosnumtif dan tidak ada budaya menabung dan cara pengelolaan uang hasil kerja di rantau.

Namun ada juga yang berhasil dipakai untuk menyekolahkan anak, membangun rumah dan membeli sawah/ kebun untuk bekal perempuan sendiri di masa tuanya. Ketika mereka kembali ke kampung mereka tetap bekerja baik mengurus rumah tangganya, mengurus keluarganya sambil tetap mencari nafkah.  Sementara anak-anaknya melanjutkan kariernya di kota dan kembali sesekali ke kampungnya untuk menikmati jerih payahnya mereka dan orang tuanya bekerja.

Perempuan di kampung saya memang perempuan pekerja!

Penulis merupakan staf Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Kerja Kaum Perempuan di Kampung-Kampung di Nusa Tenggara Timur

Oleh: Fransiska Filomena Weki Bheri

Sebagai seorang perempuan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, saya sudah terbiasa melihat perempuan-perempuan di sekitar saya bekerja. Saya tidak heran melihat perempuan bekerja macam-macam pekerjaan. Ada yang dibayar, namun lebih banyak yang tidak dibayar. Tapi semuanya butuh waktu, tenaga dan biaya.

Di Desa Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, yang merupakan kampung halaman saya, para perempuan bekerja mencari nafkah seperti bertani di kebun dan menenun. Ada juga yang bekerja formal seperti guru, bidan atau aparat desa. Tapi perempuan umumnya mengerjakan banyak hal. Tetangga saya, Ibu Klara Badhe salah satunya.

Mama Klara demikian biasanya dia dipanggil. Umurnya mungkin 56 tahun karena anaknya yang sulung, laki-aki sudah tamat SMP beberapa tahun lalu dan pergi merantau entah kemana. Sehari-hari Mama Klara mencari nafkah dengan menenun. Kadang ia menerima upah menenun atau menenun dengan modal benang yang ia beli sendiri. Setiap hari ia menenun hampir 12 jam diselingi memasak, mengambil air atau mencari kayu bakar.  Selain menenun ia juga mengurus rumah tangga sambil merawat ibunya yang sudah tua yang tinggal bersamanya. Mama Klara bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Sejak beberapa tahun lalu dia menjadi orang tua tunggal setelah suaminya meninggal. Dialah tulang punggung keluarga untuk anak-anaknya dan ibunya.

Sebagaimana perempuan-perempuan lain di kampung kami, Mama Klara juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan kegiatan rohani. Di kampung kami yang mayorias beragama Katolik hampir sepanjang tahun ada kegiatan keagamaan baik kegiatan harian, mingguan atau yang bersifat rutin tahunan. Puncak kesibukan warga kampung saya, seperti warga di kampung lain di NTT adalah Perayaan Natal, Paskah dan Perayaan Bulan Maria.

Perayaan Bulan Maria menurut saya meupakan perayaan yang unik. Tidak semua wilayah yang beragama Katolik seperti di Jawa mengadakan upacara adat seperti ini. Bulan Maria biasanya berlangsung pada bulan Mei atau Oktober sesuai ketentuan Gereja di NTT.  Secara adat pada bulan itu orang mengadakan upacara Devosi. Devosi adalah sebuah upacara penghormatan kepada Bunda Maria dengan cara mengarak patung Bunda Maria dipindahkan dari satu kampung ke kampung lain. Dulu upacara itu dihubungkan dengan saat setelah musim panen. Semua warga akan ikut terlibat dengan kegiatan itu. Meriah sekali di sepanjang jalan di kampung-kampung yang dilalui arak-arakan patung itu. Mereka akan memakai kain tenun yang bagus berjalan menuju desa tetangga sambil mengarak patung. Keiatan itu bisa berlangsung sesorean hingga malam dan selama berhari-hari. Dan jika sedang perayaan Bulan Maria pekerjaan  menenun bisa ditunda atau berhenti sama sekali.

Di luar hari-hari keagamaan dengan komunitas seperti itu, Mama Klara punya banyak kegiatan di komunitas. Ikut kerja membantu tetangga yang akan punya pesta baik perkawinan, kematian atau yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan seperti upacara Sambut Baru. Sambut Baru adalah upacara penerimaan sakramen maha kudus atau biasa juga disebut penerimaan Komuni. Masyarakat Desa Nggela masih sangat lekat dengan tradisi dan kegiatan adat serta agama. Semuanya diikuti dengan patuh oleh warga.

Dengan begitu selain mencari nafkah Mama Klara juga sibuk  dengan kegiatan lainnya. Kegiatan-kegiatan itu memang tidak berbayar, tapi jika Mama Klara punya hajat dia dan keluarganya juga akan mendapat bantuan dari tetangganya. Di bulan tertentu beliau terlibat dalam  kegiatan adat bersama  warga masyarakat lainnya sesuai ayunan musim dan siklus adat/ gereja.  Selain itu Mama Klara  juga aktif di kegiatan gereja seperti mengikuti perayaan Ekaristi, membersihkan gereja, mengikuti ziarah rohani, doa rosario, dan mengikuti latihan koor. Semua kegiatan tersebut dilakukan secara rutin.

Di Desa Nggela mayoritas pekerjaan perempuan sering hanya didata sebagai ibu rumah tangga atau menenun. Para perempuan di desa tersebut sama halnya dengan Mama Klara ternyata sangat sibuk sekali. Selain bekerja sesuai profesi mereka juga mengadakan dan melaksanakan kegiatan lainnya yang ada di kampung. Misalkan  musim tanam dan panen mereka membantu para suami atau tetangganya di kebun. Ada kegiatan adat, gereja, sosial dan pemerintah para perempuan juga ikut andil dalam kegiatan tersebut. Tujuan mereka menjalankan semua kegiatan dan profesi tersebut adalah memenuhi kebutuhan sehari-hari, bersosialisasi, dan menjaga kekerabatan untuk saling membantu mengatasi beban di komunitas. Walaupun berbeda profesi tapi para perempuan di desa selalu mempunyai cara untuk tetap berkumpul seperti mengadakan arisan dan kegiatan upacara-upacara dari kelahiran sampai kematian. Ibu Klara selalu sibuk, hampir tidak ada waktu tersisa yang bisa ia gunakan untuk dirinya sendiri.

Dari cerita Mama Klara, selain menjadi penenun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, ia juga bekerja 100% di ruang domestik, mengurus rumah, ibunya  dan anak-anaknya. Ia juga bekerja di komunitas, melakukan pelayanan secara adat dan agama, yang kesemuanya tidak dibayar.

Melalui kisah Mama Klara, di momen Bulan Perempuan Internasional ini, sudah semestinya kita mengenali kerja-kerja rangkap yang perempuan lakukan. Mencari nafkah, mengurus anak dan keluarga, ikut dalam kegiatan komunitas atau mengerjakan ketiganya secara bersamaan.Tanpa perannya, mungkin upacara adat, keagamaan, dan mengurus komunitas akan terhenti, karena perempuan-lah yang menjadi penggerak dari segala urusan tersebut. Tanpa adanya rekognisi, takkan ada upaya untuk menanggapinya, dan perempuan akan terus menanggung beban rangkapnya.

Penulis merupakan staf Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali diterbitkan di sini.

Ketika Bekerja Bukan Sekadar Pilihan

Oleh: Dinda Shabrina

Narasi keagamaan yang mendorong perempuan untuk tinggal di rumah  sebagai  “kodrat”nya sepertinya tak memahami realitas perempuan dengan status yang ragam. Sebagai anak, sebagai istri dengan suami menganggur atau sebagai ibu tunggal akibat perceraian atau bahkan sebagai lajang. Narasi-narasi yang menyatakan surga perempuan adalah rumah dan bidadari rumah adalah perempuan jelas tak bisa berlaku bagi semua perempuan. Itu hanyalah sebuah mimpi bagi sebagian perempuan meskipun mereka meyakini  dan bahkan menginginkannya.

Sebab  bagi sebagian perempuan, hal itu seperti sebuah kemewahan. Tidak semua perempuan memiliki situasi kehidupan yang bisa menggantungkan hidupnya pada orang lain entah itu ayahnya atau suaminya. Tidak semua perempuan bisa dengan hanya melakukan pekerjaan domestik, lalu kebutuhan perutnya terpenuhi.

Narasi-narasi agama yang mendorong perempuan kembali ke rumah luput membaca kenyataan hidup perempuan-perempuan yang kurang beruntung dan terpaksa bekerja di luar rumah demi memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan anak-anaknya. Belum lagi jika perempuan sendiri menghendaki bekerja di luar rumah sebagai aktualisasi diri dan atau menghendaki sebagai ibadah amaliyahnya.

Seorang perempuan remaja yang saya temui di depan Mall Bekasi yang jualan kopi pakai sepeda keliling ketika penelitian kualitatif untuk mengonfirmasi tentang indeks penerimaan perempuan bekerja (Rumah Kitab 2021) menyadarkan saya soal ini. Ikhiari, sebut saja namanya begitu. Ia bercerita apa artinya bekerja bagi dirinya juga orang tuanya.

“Kita terlahir dari keluarga dengan kondisi ekonomi berbeda-beda. Apakah seorang perempuan, anak pedagang kaki lima seperti saya bisa seterusnya menadahkan tangan untuk menerima uang dari orangtua? Apakah ayah saya akan selamanya hidup dan mampu membiayai kebutuhan saya dan Ibu?”

Sebagai pencari nafkah ayah saya tak selamanya sehat dan hidup di dunia. Ia masih punya tanggungan Ibu, saya dan adik. Orang yang berdagang seperti ayah saya di halaman Mall ini juga banyak. Kami sama-sama mengadu nasib. Dagangan ayah kadang juga tidak laku. Ibu saya yang dulu membantu ayah mencari tambahan dengan menjadi tukang cuci untuk kakak-kakak yang kerja di pabrik.  Sekarang tidak bisa lagi. Selain pada punya mesin cuci atau nyuci kiloan, kondisi fisiknya juga lemah. Saya, sebagai anak pertama yang mampu secara fisik tentu tidak bisa tinggal diam. Saya tidak mungkin membiarkan ayah saya mencari sendiri untuk menutupi kebutuhan keluarga. Sementara kebutuhan hidup harus terus dipenuhi, bayar token listrik, biaya sekolah adik, biaya pengobatan ibu, dan lainnya. Kalau ngikutin ceramah-ceramah yang bilang surga istri itu di rumah ya siapa juga yang nggak mau? Tapi Ibu saya bagaimana?

Bagaimana dengan  nasib perempuan janda, baik ditinggal mati suaminya atau cerai hidup, apakah mungkin bisa terus bergantung pada harta kekayaan suaminya? Itu pun kalau suaminya meninggalkan harta warisan. Kalau tidak?

Seperti kisah hidup Meli, seorang perempuan janda yang saya temui saat melakukan penelitian pertengahan tahun 2020 lalu. Sedari kecil Meli menerima narasi bahwa perempuan “salihah” sebaiknya ada di rumah. Karena memang “kodrat” perempuan yang ia pahami dalam Islam ada di dalam rumah. Mengerjakan pekerjaan domestik, memasak, menyuci, mengurus anak, dll. Ia menerima narasi semacam itu dari lingkungan keluarga, tetangga dan ceramah-ceramah yang pernah ia dengar. Saat remaja pun ia mengimpikan untuk menjadi perempuan sebagaimana yang dinarasikan tadi. Tetapi ternyata beranjak dewasa, kenyataan tak pernah memberinya kesempatan untuk dapat menjadi perempuan “salihah”.

Tamat sekolah, Meli harus menerima kenyataan untuk membantu ayahnya mencari nafkah. Karena adik-adiknya yang harus meneruskan sekolah dan kuliah butuh biaya yang banyak. Ia berpikir mungkin selama menjadi gadis, ia belum bisa menjalani kehidupan sebagai perempuan yang “salihah” dan sesuai “kodrat”nya. Baginya bekerja saat itu semata-mata sebagai bentuk baktinya dengan orangtua. Ia pernah bercerita pada saya bahwa kelak, setelah berumah tangga, ia akan menjadi perempuan salihah yang berdiam di dalam rumah dan mengabdikan diri untuk suaminya.

Namun kenyataan berkehendak lain. Cita-citanya untuk menjadi perempuan salihah setelah menikah pun tidak kesampaian. Ia menikah dengan seorang lelaki bermasalah dan tak setia. Selama menikah yang menjadi pencari nafkah utama adalah Meli. Selama setahun pernikahan, yang Meli tahu, ia dan suaminya hidup berkecukupan. Mereka sama-sama masih bekerja.

Merasa kondisi ekonominya selalu stabil, Meli sempat berencana untuk resigned dari kantornya agar cita-citanya menjadi perempuan salihah itu dapat terwujud. Apalagi saat itu Meli sudah memiliki anak, ia merasa bahwa perannya sebagai seorang ibu, madrasah pertama bagi anak-anaknya dibutuhkan. Tetapi belum sempat Meli mewujudkan niatnya untuk berhenti dari pekerjaan, Meli mengetahui bahwa suaminya berselingkuh dan selama ini tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Selama ini justru suaminya malah menimbun hutang dimana-mana demi menutupi kebutuhan hidup agar terlihat memiliki pekerjaan tetap. Kenyataan pahit itu harus diterima dan dijalani Meli.

Sebagai seorang perempuan janda dengan dua orang anak, Meli harus menata kembali hidupnya. Ia harus bisa menyulap dirinya untuk menjalani berbagai peran. Menjadi seorang ibu sekaligus bapak, menjadi pekerja, pengurus rumah tangga. Tentu saja itu semua tidak mudah. Lalu apakah Meli lantas menjadi perempuan yang tidak salihah? Dengan rentetan kenyataan hidup yang harus ia jalani, apakah Meli tak pantas masuk surga hanya karena ia masih bekerja di luar rumah demi menghidupi dirinya dan keluarganya?

Akibat dari narasi keagamaan yang Meli terima bahwa perempuan salihah adalah perempuan yang ada di rumah, Meli menjadi khawatir apakah yang ia jalani saat ini diridhoi oleh Allah? Padahal melihat kondisi di rumah tangganya, suami tidak selalu memberi nafkah, tidak punya pekerjaan yang jelas, dan parahnya malah berselingkuh. Apakah Meli lantas diam saja? Sementara kedua anaknya yang butuh makan dan susu.

Perlahan Meli menerima itu semua dan mengubah pandangannya bahwa apa yang dilakukannya kini, perempuan janda yang bekerja di luar rumah, bukanlah sesuatu yang buruk. Sejak Meli bertekad untuk berdiri kembali setelah bercerai, Meli tak sedikitpun meratapi dirinya sebagai janda. Ia justru selalu mendorong dirinya untuk tidak pernah menyerah berjuang melanjutkan hidup. Ia menganggap apa yang dilakukannya saat ini sebagai ladang pahala. Meli tidak lagi merisaukan apakah ada surga untuk dirinya yang bekerja di luar rumah. Ia fokus menciptakan surga seperti yang ia pahami bersama anak-anaknya di rumahnya.

Penulis merupakan peneliti Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Memilih Batas Tepi Antara Angan dan Realitas Kehidupan: Cerita perempuan tanpa suami yang tinggal di lingkungan Salafi

Oleh: Dwinda Nur Oceani

Ummu Putri (36) adalah ibu tunggal untuk Putri, berumur 9 tahun. Kesehariannya mengurus anaknya dan berdagang jajanan seperti onde-onde dan telur asin yang ia produksi sendiri. Untuk memenuhi kebutuhannya ia harus berjualan setiap hari karena kue-kue yang dijual tak bisa disimpan. Selain itu ia juga menjual makanan ringan dititipkan di mana ia hanya mengambil untung kecil dari selisihnya. Keahlian lainnya adalah pijat dan bekam. Keahilan itu ia peroleh dari sesama jemaah yang dimanfaatkan untuk mencari nafkah. Ia tidak menyia-nyiakan keahliannya dengan menjual jasa tersebut sebagai tambahan.

Sejak tiga tahun lalu Ummu Putri memilih bercerai karena suaminya sering melakukan tindakan kekerasan. Ummu mengurus sendiri perceraiannya karena suaminya tidak mau menceraikan. Menjadi seorang janda dan ibu tunggal bagi seorang anak perempuan ternyata bukanlah  perkara mudah untuk ia jalani di lingkungan yang menormalisasi ajaran Salafi. Sebutan perempuan mandiri dan independen jelas tidak berlaku di lingkungan ini. Berbagai “aturan” yang diterapkan di lingkungan tempat ia tinggal membatasi ruang gerak dan pikirannya. Namun, ia masih menganggap bahwa batasan-batasan itu merupakan amalan yang sudah seharusnya dijalani oleh perempuan, apalagi seorang janda.  Ummu Putri telah memeluk keyakinan yang tumbuh dari pemahaman Salafi melalui proses yang tidak sebentar. Mulai mempelajari ketika semasa ia duduk di bangku SMP/MTs (Madrasah Tsanawiyah), mendapatkan pembelajaran dari teman sekelasnya juga dari melalui majalah Salaf. Setelah dewasa, ia kemudian mencari tempat dan lingkungan yang memegang ajaran Salafi ini. Hal tersebut bagaikan mimpi menjadi kenyataan baginya, setelah mendambakan untuk tinggal di lingkungan yang dikelilingi oleh teman-teman satu komunitas/kelompok yang memiliki pemahaman sama dengannya terkait ajaran agama. Ia pun memilih untuk melanjutkan kehidupannya di lingkungan tersebut.

Perempuan bekerja merupakan hal yang tidak lazim bagi perempuan-perempuan di kelompok Salafi. Tentu saja sedapat mungkin mereka berikhtiar, namun dijalankan dari rumah. Karenanya memiliki keterampilan seperti memijat dan bekam dengan membuka praktik di rumah itu penting. Tapi keahlian itu juga dimiliki perempuan-perempuan lain yang pernah ikut kursus bekam. Dengan anggapan bahwa sebaik-baik perempuan adalah  yang tinggal di rumah dan mengurus keluarga, perempuan-perempuan yang ada di dalam komunitas itu umumnya tidak bekerja di luar rumah. Paling jauh mereka jadi guru di dalam lingkungannya.

Dalam keyakinan mereka, tinggal di rumah adalah hal yang diharuskan. Alasan paling umum adalah untuk menjaga kehormatan perempuan dan suaminya yang berkewajiban melindunginya. Keharusan untuk tinggal di rumah juga karena mereka meyakini secara kodrati perempuan adalah sumber fitnah yang dapat menimbulkan kegoncangan di dalam masyarakat. Untuk menghindarinya, perempuan  secara fitrah  seharusnya tinggal di rumah, mengurus keluarga, mengerjakan hal-hal domestik, dan fokus beribadah saja. Adapun pekerjaan yang diperbolehkan dalam lingkungan atau kelompok Ummu Putri, seperti menjadi pengajar/guru untuk kalangannya dan berdagang namun harus didampingi oleh mahram. Hal tersebut ditujukan salah satunya untuk menghindari ikhtilath (bercampur/interaksi dengan yang bukan mahram) antara perempuan dan laki-laki. Sudah menjadi hukum paten.

Ummu Putri memang memiliki keyakinan yang tumbuh dari ajaran Salafi. Namun realita kehidupannya tidak dapat memenuhi  harapan atas pemahaman tersebut. Hal itu membuatnya seakan berada di tengah garis antara harus menjalani yang ia yakini mengenai fitrah perempuan namun mengenyampingkan realita kehidupannya, atau ia menjalani realita hidupnya dengan bekerja sebagai pedagang dan menjual jasanya namun stigma negatif akan terus datang padanya.

Resah yang ia simpan direspon oleh salah satu jemaah yang tinggal di lingkungan yang sama. Awalnya ia merasa bahwa rekannya berada di sisinya untuk mendukung dan memberikan solusi namun nyatanya menjadi buntu. Ia justru diminta untuk introspeksi diri, dianggap sebagai perempuan yang melanggar aturan agama dan menyalahi fitrahnya sebagai perempuan, karena ia berdagang seorang diri tanpa ditemani mahram, dan menjajakan apa yang bisa ia jual dengan usahanya sendiri. Ia justru diceramahi untuk banyak berdoa agar dipermudah mendapatkan suami yang dapat menanggung beban kehidupannya, agar ia dapat kembali ke rumah dan hanya mengurus keluarga sebagai bentuk amalan kehidupan. Ummu Putri merasa bahwa rekannya tidak memiliki rasa empati, padahal ia tahu bagaimana keadaan Ummu Putri.

“Dia tau gimana keadaan aku, kenapa aku kerja keras dan tidak diam saja di rumah. Aku juga tau apa yang aku lakuin bukan sunnahnya perempuan. Tapi ya aku balik lihat keadaanku untuk memenuhi kebutuhan ya harus mencari nafkah. Kalau aku nurutin kata orang dari mana aku dapat penghasilan. Sedih kalo cuma dengerin kata orang, karena orang yang ngomong ke aku secara finansial sudah mapan, makanya mudah saja bilang seperti itu.” Ungkap Ummu Putri. Namun, tekanan tersebut membuat Ummu Putri menjadi resisten dan berpikir bodo amat karena  siapa lagi yang akan menolong dirinya kalau bukan dirinya sendiri. Lantaran ia butuh. Angan-angan menjadi istri soleha yang bertugas di ranah domestik dan berkewajiban mengurus suami dan mendidik anak ia kesampingkan dengan perasaan yang berat pastinya. Kembali pada realita kehidupannya menjadi prioritas. Jika hanya mendengarkan orang-orang yang sebenarnya tidak betul-betul peduli dan tidak mengakui kehadirannya sebagai perempuan mandiri hanya akan membuang waktu dan menggerus perasaannya.

Sudah terlalu lelah mendengar dan menanggapi apa yang orang katakan. Ia memilih untuk tidak mendengarkan walau ada perasaan sedih yang tidak diungkap pada orang-orang yang menceramahinya. Dengan memilih untuk terus bekerja, berjuang untuk menghidupi dirinya dan anak perempuan satu-satunya merupakan bukti bahwa ia tidak menyerah dengan keadaan dan pada aturan yang membelenggu ruang gerak dan pikirannya. Ia mencoba menciptakan ruang tak bersekat bagi dirinya untuk dapat bertahan di jalan ridha Allah sesuai yang ia pahami dan ia jalani.

Penulis merupakan peneliti Rumah KitaB dan artikel ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Siapa Bilang Bekerja bukan untuk Perempuan, apalagi Perempuan Menikah?

Oleh Faurul Fitri

Sebelum pandemi COVID-19 ‘menyapa’ Indonesia, saya beserta dua peneliti Rumah KitaB tinggal dan berbaur dengan masyarakat di Bekasi untuk melakukan penelitian etnografi. Tinggal di wilayah industri ternyata cukup menantang. Macet, panas, lingkungannya padat serta bising. Situasi ini terasa semakin sesak ketika bertemu dengan seorang perempuan pekerja di salah satu pabrik di Kabupaten Bekasi. Seorang perempuan yang telah mengabdikan diri di pabrik makanan instan selama lebih dari 8 tahun. Untuk Penelitian ini saya menyebutnya Ratna. Melalui perbincangan dengan Ratna saya punya catatan yang saya rasa relevan untuk diceritakan dalam kerangka hari Perempuan Internasional tahun ini.

Dahulu, diawal masa kerja, Ratna punya teman yang sangat banyak. Mereka datang dari suku, etnis, bahasa dan latar belakang kebiasaan atau budaya yang bermacam-macam. Banyak hal yang dapat dipelajari dari pertemanan yang banyak itu. Kita jadi mengenal kebiasaan, makanan, ungkapan-ungkapan termasuk adat istiadat. Namun seketika hubungan pertemanan itu menjadi tersekat-sekat ketika muncul pandangan-pandangan yang mengatur banyak hal terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan berdasarkan agama. Begitu rumitnya, akhirnya Ratna memilih hanya berkawan dengan beberapa teman non-muslim saja.

Sebagaimana banyak pekerja yang datang dari daerah, awalnya, Ratna belum banyak teman. Tapi ia berusaha membaur dan berteman dengan siapapun. Sifatnya sebagai perempuan Jawa membuatnya enggan atau “pekewuh” – nggak enak hati-  untuk menolak berteman dengan siapa saja. Lagi pula ia merasa banyak manfaatnya dengan berteman. Antara lain berteman dengan mereka yang mengajak ikut kegiatan pengajian.

Bersama dengan teman-temannya Ratna mulai mengikuti kajian rutin mingguan yang diselenggarakan oleh pengurus masjid pabrik. Hari Jumat adalah kajian paling ramai karena sering menghadirkan ustad dari luar pabrik dan dari berbagai kalangan. Seiring berjalannya waktu Ratna semakin sering mengikuti kajian, meski sebenarnya banyak hal-hal yang tidak sejalan dengan pemahamannya sebagai seseorang yang tumbuh di lingkungan NU kultural, namun Ia sulit menolak karena ‘pekewuh’.

Di saat tertentu setelah mengikuti pengajian Ratna merasa ada hal-hal yang mengganjal pikirannya. Ia sering mendapatkan ‘siraman rohani’ yang menjelaskan kewajiban-kewajiban perempuan. Antara lain kewajiban untuk mengurus rumah tangga dan larangan bagi perempuan bekerja karena akan banyak menimbulkan fitnah. Ajaran ini sering membingungkan Ratna. Ia juga mendengar teman-temannya yang akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan ketika sudah menikah atau akan menikah, mereka hanya ingin taat dan melayani suami di rumah.

Pergolakan pikiran pun terjadi pada Ratna. Ia ingin mengikuti ajaran dengan dalil-dalil yang menjelaskan mengapa perempuan sebaiknya hanya tinggal di rumah. Namun hati nuraninya mengatakan ia tidak ingin berhenti bekerja. Baginya, Ia bekerja atas dasar kemauannya dan hak atas pilihan hidupnya. Suaminya pun tak memaksanya untuk berhenti bekerja dan tak juga memaksanya untuk bekerja. Bekerja atau tidak bekerja adalah hak sang istri. Sebuah keputusan yang menurut saya sangat demokratis dan adil, dan buat saya ini menggembirakan mengingat pasangan itu bukan datang dari kalangan berpendidikan namun mereka mampu menerapkan rumah tangga yang setara.

Tidak hanya berhenti di situ, Ratna kerap diingatkan teman-temannya untuk berpakaian syari, berkerudung lebar dan menutup dada. Maklum, Ia hanya berkerudung sederhana dengan diikat ke belakang. Namun menurutnya untuk bekerja di pabrik yang membutuhkan pakaian yang simple dan aman itu lebih penting daripada pakaian yang memenuhi syar’i tapi membahayakan. Hal yang membuat Ratna kurang senang mereka mengingatkan dengan cara yang cenderung memaksa. Ratna merasa pilihan-pilihannya dalam cara berpenampilan telah dinilai dengan cara yang negatif padahal ia tetap menggunakan jilbab. Cara itu membuatnya seperti terpojok tak diberi hak untuk memilih atas tubuhnya.

Di tahun-tahun awal bekerja Ratna masih menenggang rasa atas ajakan-ajakan teman-temannya. Itu lantaran merekalah orang-orang yang ia kenal saat menjadi pekerja baru. Titik balik yang membuatnya melepaskan diri dari lingkaran tersebut adalah ketika mereka kerap kali mengajaknya untuk “berjihad” saat kasus penistaan agama bergulir dalam konteks Pilkada DKI. Mereka pun berbondong-bondong ikut dan mengajaknya untuk melakukan aksi membela Islam sampai berkali-kali.

Ratna merasa ajakan mereka sudah tidak masuk akal. Bekerja bagi Ratna adalah berjihad juga. Baginya tak perlu turut berdemo untuk berjihad, dengan bekerja pun seorang pekerja telah berjihad. Demikian juga dengan melakukan kebaikan kepada sesama itu juga berjihad. Definisi berjihad baginya tidak sebatas berdemo dan berperang saja, lebih dari itu.

Perlawanannya dengan cara menolak berdemo berkali-kali, menolak paksaan berkerudung besar, serta menolak berhenti bekerja karena telah berkeluarga, membuatnya dijauhi teman-temannya. Bukan bersedih, namun Ia malah senang, Ratna merasa terbebas dari ajakan dan tekanan kelompoknya. Ia merasa hidupnya untuk dirinya sendiri bahkan suaminyapun tak pernah memaksa. Ratna merasa ia berhak secara penuh atas tubuh dan pilihannya.

Pada akhirnya Ratna berani berkata ‘tidak’ kepada elompok-kelompoknya dengan tetap masih bekerja di pabrik yang sama, Ia dapat menyelamatkan diri dari toxic relationship, baik pertemanan maupun hubungan-hubungan lainnya. Bagi Ratna, dan saya setuju pada pilihannya, setiap orang berhak atas tubuh dan ketubuhannya, serta berhak memilih atas pilihan-pilihan hidupnya.

Penulis merupakan peneliti Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Photo by Andy Fitzsimon on Unsplash

Sumbangan Kerja Rumah Tangga

Oleh: Sinta Febrina

Dalam rangka Hari Perempuan Internasional saya ingin menurunkan kembali tulisan saya di Kompas beberapa tahun lalu. Hingga saat ini setelah saya pindah ke Amerika untuk melanjutkan studi master saya dengan memboyong dua anak saya, tulian ini tetap relevan. Tulisan ini mempersoalkan inkonsistensinya penghargaan sosial ekonomi kepada perempuan yang memilih karier sebagai IRT – ibu rumah tangga. Terdapat paradoks, di satu pihak IRT diagungkan, dianggap kunci keberhasilan keluarga; di pihak lain, peran itu tak direkognisi secara konkrit dalam pembangunan, pun dalam analisis ekonomi.

Survei Litbang Kompas menjelang Hari Ibu 2015 menggaris bawahi gambaran itu. Sejumlah 1.640 pelajar Menengah Atas dari 12 kota besar menempatkan Ibu sebagai tokoh penting  bagi kehidupan mereka. Sebanyak 47, 1 dari mereka menyebut ibu sebagai tempat curhat dibandingkan ayah, yang hanya mendapat 7,7 persen;  lebih dari lima puluh persen responden remaja memilih membangun komunikasi dengan ibu, dibandingkan ayah (kurang dari 10 %). Bahkan mereka memilih kawan melalui ragam media sosial ketimbang dengan ayah.  Mereka  juga tetap memilih ibu sebagai pahlawan, (46,2%) meskipun mereka menyebut ayah sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. (Litbang Kompas 2015)

Namun hasil survei itu seperti tak terhubung dengan kajian politik ekonomi. Sejauh saya tahu, kajian politik ekonomi Indonesia jarang sekali menganalisa peran dan sumbangan IRT atau merekognisi dengan mengkonversikan sumbangan tenaga kerja mereka dalam mengurus rumah tangga, anak, menunjang karier suami dan mengelola komunitas sebagai sumbangan bagi pembangunan.

Bacaan saya mengantarkan kepada jawaban klasik bahwa persoalan ini berpangkal dari pandangan biner soal peran publik-domestik. Pemisahan ini, dalam konteks masyarakat industri melahirkan pembagian kerja gender yang tak setara. Pembagian kerja gender ini menempatkan perempuan dalam kerja reproduksi seperti pengasuhan dan pemeliharaan keluarga yang diberi label Ibu Rumah Tangga, sementara kerja produktif secara otomatis dihubungan  kepada lelaki sebagai kepala keluarga, pencari nafkah utama. Meskipun kenyataan itu telah lama berubah dan bergeser, namun label peran dan status yang  berangkat dari oposisi biner itu nyaris tak berubah.

Persoalannya, seluruh perhatian politik ekonomi tampaknya hanya meneropong aktivitas manusia di ruang publik dan untuk jenis pekerjaan berbayar. Sementara pekerjaan IRT yang secara normatif dituntut menghasilkan tatanan keluarga yang sehat, aman dan nyaman, tak dibedah oleh pisau analisis ekonomi serupa itu. Sekat biner telah menempatkan IRT di posisi yang sulit diteropong oleh analisis ekonomi yang tersedia.

Adanya pembagian kerja gender juga melahirkan kesenjangan kepada perempuan sebagai IRT. Menjadi IRT pada kenyataannya hanya menghasilkan penghargaan moral sosial atau keagamaan. Sumbangan mereka tak pernah dikalkulasi secara ekonomis. Bandingkan misalnya dengan kerja produktif  yang bukan hanya mendapatkan pengakuan, tetapi juga memiliki peluang untuk mengembangkan diri dan membangun kapasitas. Ini karena peran dan kehadirannya direkognisi dalam politik ekonomi dan karenanya kebutuhan-kebutuhannya relatif lebih diperhatikan dan dipenuhi. Pembagian kerja gender bukan hanya melahirkan kesenjangan tetapi juga tak ada peluang yang setara (equal oportunity).

Lihat saja, banyak pasangan yang semula memasuki Rumah Tangga secara setara kelak memunculkan ketimpangan ketika salah satu memilih tinggal di rumah demi keluarga. Banyak pasangan yang sama-sama lulusan perguruan tinggi, secara sadar melakukan pembagian kerja demi survival mereka. Namun pada akhirnya mereka menghadapi situasi yang menempatkan salah satu pihak jadi subordinat dan stagnan. Suami dapat melanjutkan sekolah, mengembangkan karier dan mencari nafkah, sementara istri menjadi IRT dan hilang dari radar analisis. Ini karena oposisi biner juga bersifat diskriminatif. Ruang publik senantiasa menyediakan segala macam pilihan bagi mereka yang aktif didalamnya untuk bekerja dan naik kelas. Sebaliknya sekeras apapun kerja IRT dalam menjalankan “kariernya” sumbangan mereka tak direkognisi dan dinilai secara konkrit.

Secara sosial, biasanya orang akan berharap bahwa reward akan mereka terima dari suami atau anak-anak. Namun ini mengandaikan setiap pasangan mendapatkan penghargaan atas perannya itu dan negara ikut memastikan terjaminnya reward ini. Lalu bagaimana pula dengan IRT yang secara de facto menjadi orang tua tunggal, atau suami tak bertanggung jawab? Sementara penghargaan yang lebih nyata dari negara atas peran dan sumbangsih mereka nyaris tak terdengar.

Sesungguhnya jika negara punya political will untuk menghitung sumbangan mereka, negara akan diuntungkan dengan bertambahnya nilai jumlah tenaga kerja dan sumbangannya. Misalnya dengan menghitung curahan waktu kerja IRT.  Dan itu sangat dimungkinkan.

Ketika suami saya mendapatkan pendidikan di Australia dan kemudian di Amerika, para ibu rumah tangga, bahkan untuk keluarga  pendatang seperti kami, mendapatkan peluang  untuk tumbuh kembang dalam fungsinya sebagai IRT. Mereka direkognisi dan dipenuhi kebutuhannya sesuai perannya sebagai IRT. Mereka dimudahkan untuk bekerja mencari nafkah baik paruh waktu atau penuh sambil tetap berstatus sebagai IRT. Seseorang yang memilih profesi sebagai IRT masih dapat mengembangkan diri karena negara mengakui keberadaan mereka. Berbagai fasilitas yang ramah pada kebutuhan IRT seperti teknologi, industri makanan cepat saji yang sehat dan murah,  dan sistim dukungan yang menimbang peran dan kebutuhan IRT tersedia. Tempat penitipan anak yang dilindungi pengawasannya tersedia di mana-mana. Negara juga menyediakan  fasilitas antar jemput sekolah serta fasilitas bermain yang aman. Sementara itu di tiap lingkungan ada perpustakaan yang referensinya selalu diperbaharui dan ramah kepada kondisi dan kebutuhan IRT terutama yang membawa anak-anak.

Meskipun hanya kerja sampingan, pendapatan IRT di kedua negara itu dapat mencukupi kebutuhan keluarga muda seperti kami. Ketika pasangannya tak ikut mencari nafkah karena harus menulis disertasi atau harus riset penuh waktu, mereka masih tetap terjamin kesejahteraannya dengan income yang diperoleh IRT.  Ini juga karena model dan sistem pengupahan memungkinkan bagi IRT menjadi pekerja sesuai dengan waktu yang mereka punyai yang menggabungkan antara pengurus rumah tangga dan pencari nafkah.

Di Indonesia, setelah kami pulang, dan saya memilih menjadi IRT saya kehilangan fasilitas serupa itu. Kemacetan di kota besar, keterbatasan fasilitas bagi IRT untuk mengembangkan diri dengan biaya murah sulit diperoleh. Selain itu, sistem pengawasan bagi keselamatan anak-anak di ruang publik sangat buruk, demikian halnya pengawasan pada produk makanan di luar rumah. Situasi itu mengharuskan IRT bekerja penuh waktu hanya untuk keluarga. Namun akibatnya, makin menempatkan IRT pada situasi yang tak dikenali peran dan sumbangannya. Kini, mengingat jumlah IRT cukup besar, sudah saatnya negara memiliki kebijakan yang mengakui peran IRT. Dan itu harus berangkat dari kerangka  teoretis yang  mampu menghidung  kehadiran dan sumbangan IRT bagi pembangunan.

Penulis merupakan anggota jaringan peneliti Rumah Kita Bersama, dan artikel ini pernah diterbitkan di Harian Kompas dan Rumah KitaB.

Perempuan Santri adalah Perempuan yang Bekerja (Ibuku Perempuan Kepala Keluarga)

Oleh: Jamaluddin Mohammad

Saya hidup dan besar di lingkungan pondok pesantren. Ayah saya seorang guru ngaji sekaligus pimpinan pesantren. Sebelum menjadi PNS, ayah saya sepenuhnya menjadi pengasuh para santri. Sebagai guru ngaji yang tak berpenghasilan tetap, ayah saya pernah nyambi mencari nafkah macam-macam usaha; berjualan bakso keliling, berkebun, hingga berternak ayam.

Untuk mencukupi perekonomian keluarga, ibu saya membuka warung nasi untuk para santri. Ibu pernah bercerita, setiap jam dua malam ia pergi ke pasar belanja keperluan warung sekaligus dilanjutkan untu memasak, menyiapkan sarapan untuk para santri. Setelah beranjak tua dan memiliki enam orang anak, segala urusan warung diserahkan kepada para santri putri senior yang berhidmat kepada pesantren ayah saya. Mereklah yang kemudian mengelolanya.

Ibu saya tipikal perempuan tangguh yang tak mau bergentung pada suami. Untuk menutupi kebutuhan keluarga, ibu saya berdagang, berkebun juga bertani. Seingat saya, selama saya sekolah dan mesantren, saya selalu meminta uang kepada ibu. Jarang sekali meminta kepada ayah. Menurut pengakuan ibu, ia jarang diberi uang oleh ayah. Tapi ibu memaklumi. Hari-hari ayahku  dihabiskan seluruhnya untuk mengajar — dari pagi hingga larut malam nyaris tanpa libur. Ia hanya mengandalkan gaji bulanan PNS guru madrasah yang tak seberapa. Ayah saya dimasukkan PNS oleh paman saya yang ketika itu —- sekitar tahun 70an — pemerintah sedang membutuhkan guru agama.

Dalam kehidupan keluarga, ibu saya praktis berperan sebagai kelapa keluarga.  Hampir seluruh tanggung jawab dan kebutuhan keluarga ditangani oleh ibu dan cara ibu. Secara de facto ibulah kepala keluarga di rumah tangga orang tua saya. Semua persoalan keluarga dipikirkan dan kemudian diputuskan oleh ibu setelah dibicarakan dengan ayah. Ayah biasanya hanya mengamini dan menyetujui. Meskipun demikian, ayah saya tak pernah menunjukkan bahwa beliau merasa dilangkahi atau diambil alih wewenangnya sebagai “kepala keluarga”. Mungkin, secara normatif, ayah saya adalah kepala keluarga. Namun, seluruh tugas dan fungsi kepala keluarga, wewenangnya ada pada ibu saya.

Mungkin, bagi sebagian orang yang cara pandang keagamaannya masih sederhana, perempuan sebagai kepala keluarga masih dianggap aneh, di luar mainstream, bahkan bertentangan dengan norma dan ajaran agama. Pandangan dan pemahaman bahwa suami sebagai kepala keluarga memang sudah melembaga baik dalam Undang Undang Negara maupun agama. Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 31 Ayat 3 menyebut bahwa “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Begitu pun dalam agama, mayoritas ulama menafsiri QS An-Nisa:34 dengan laki-laki sebagai kepala keluarga.

Sebagai kepala keluarga, suami memiliki otoritas dan tanggung jawab penuh terhadap keluarga, termasuk di dalamnya tanggung jawab terhadap kehidupan ekonomi keluarga. Dari sini kemudian lahir pembagian peran dan tugas berdasarkan jender. Suami bekerja di luar (ruang publik) sedangkan istri mengurus rumah tangga (ruang domestik). Pembagian peran dan tugas ini seolah-olah sesuatu yang given alias sudah paten dan tak bisa diganggu gugat. Bahkan ia disebut sebagai prototype keluarga ideal dan idaman.

Padahal, realitasnya tak sesederhana itu. Dalam struktur masyarakat yang masih bersahaja, boleh jadi pembagian kerja yang biner tersebut tak bermasalah. Beban dan tugas keluarga masih bisa ditanggung dan dipikul semuanya oleh seorang suami. Namun, dalam struktur masyarakat dan susunan pembagian kerja yang kompleks, membangun keluarga tak cukup hanya mengandalkan suami. Sebuah keluarga butuh kerjasama suami-istri secara timbal balik, saling mengisi dan memenuhi fungsi dan tugas masing-masing yang kadang-kadang harus bersilangan untuk membangun kesalingan. Karena itu, pembagian kerja berdasarkan jender antara domestik dan publik sulit menemukan relevansinya  lagi. Mengingat kedua ruang tersebut saat ini siapapun bisa saling mengisi dan bertukar tempat.

Demikian halnya  yang dilakukan ibu saya. Ketika semua waktu suaminya dihabiskan untuk mengajar dan mendidik santri-santrinya, maka ruang kosong lain diisi ibu saya. Ibu berdagang dan bertani untuk menopang kehidupan ekonomi keluarga sekaligus membantu para santri yang bagi ibu saya juga dianggap anak-anaknya. Anehnya, hal ini terjadi di sebuah keluarga santri, keluarga yang sangat ketat menjaga norma-norma dan ajaran agama. Sebuah keluarga kiai yang pasti membaca QS An-Nisa:34 itu. Artinya, dalam kehidupan nyata, tafsir keagamaan begitu lentur dan fleksibel, bisa beradaptasi dengan ruang dan waktu. Hal ini sejalan dengan salah satu kaidah fikih: “al-hukmu yadurru ma’a illatihi wujudan awa adaman” (keberadaan hukum bergantung pada ada/tidaknya illat [alasan yang mendasari hukum]). Jika ilat itu berubah, maka hukum pun ikut berubah dan menyeseuaikan diri.

Karena itu, pemahaman dan penafsiran QS An-Nisa: 34 harus dilihat menggunakan kaca mata kesetaraan dan keadilan. Ayat tersebut tidak sedang mensubordinasi perempuan. Jika ayat itu dipahami secara tidak adil dan bias jender, maka akan bertentangan dengan ayat-ayat lain yang mengabarkan dan mengajarkan kesetaraan. Ajaran Tuhan tak mungkin kontradiktif dan saling menegasikan. Sebagaimana disebut dalam QS al-Imran: 195, QS al-Nahl: 97, juga QS An-Nisa 123 yang menyebut bahwa seluruh amal perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapat balasan setimpal dari Allah SWT. Ampunan Allah SWT berlaku sama baik untuk laki-laki maupun perempuan (QS Al-Ahzab: 23-24). Allah SWT juga tak membeda-bedakan jenis kelamin kecuali berdasarkan ketakwaan (QS al-Hujurat: 13).

Stereotype Perempuan

Hasil penelitian Rumah KitaB tentang “Perempuan Bekerja di Ruang Publik” menunjukkan ada semacam trend baru di kalangan muslim perkotaan untuk merumahkan perempuan. Mereka ingin menghidupkan lagi nilai-nilai dan ajaran konservatif yang membatasi aktivitas dan pekerjaan perempuan hanya di dalam rumah. Salah satunya berangkat dari pandangan stereotype bahwa perempuan adalah aurat dan sumber fitnah. Karena itu, bukan hanya tubuhnya yang harus ditutup rapat-rapat, ruang hidupnya pun harus dibatasi. Salah satu alasan kenapa perempuan tak dibolehkan keluar atau bekerja di luar rumah adalah karena alasan ini. Hal ini didukung pula oleh penafsiran dari ayat  “Berdiam dirilah di dalam rumah dan jangan menampakkan perhiasan (aurat) di hadapan orang lain (QS al-Ahzab: 33).

Jika melihat asbab nuzul (konteks) ayat ini, seseungguhnya bukan perintah untuk mendomestikasi perempuan. Ayat ini menyuruh istri-istri Nabi SAW untuk bersikap dan berprilaku sederhana sekaligus memperbanyak ibadah. Namun, mengapa ayat ini dipukul rata untuk semua perempuan? Hal ini tak lain dan tak bukan karena berangkat dari steretoype bahwa perempuan adalah aurat, sumber fitnah, karena itu fitrahnya di dalam rumah.

Jika kita jujur membaca ayat-ayat tentang aurat dan perintah menundukkan pandangan (ghaddul bashar), sesungguhnya tak hanya berlaku bagi perempuan (QS An-Nur: 31), melainkan berlaku juga bagi laki-laki (QS An-Nur: 30). Artinya, kita harus jujur dan proporsional, jika perempuan dianggap sebagai seumber fitnah karena aurat, harusnya laki-laki pun demikian karena sama-sama memiliki aurat. Namun, kenapa hanya perempuan yang disebut suber fitnah? Di sinilah pentingnya bersikap adil sejak dalam pikiran, dengan membaca ayat-ayat Allah dalam kehidupan. Wallahu a’lam bi sawab.

Penulis merupakan peneliti Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Unpaid Care Work: Kerja-Kerja Tersamar Perempuan yang Tak Diakui

Oleh: Fadilla Putri

Awal tahun 2020 lalu, tepat satu bulan sebelum pandemi, saya mengisi sebuah seminar berjudul Research Network Workshop yang diselenggarakan oleh Australia National University (ANU).  Acara ini bertujuan untuk saling berbagi hasil penelitian yang dilakukan oleh sejumlah akademisi, peneliti, aktivis, hingga lembaga non-profit seperti Rumah KitaB. Di sana, saya berbagi pengalaman penelitian Rumah KitaB dan berada dalam satu panel bersama tiga narasumber lainnya, yaitu SMERU Institut, Naima Thalib (mahasiswa ANU), dan Mia Siscawati (Dosen Kajian Gender Universitas Indonesia). Salah satu hasil penelitian yang menarik perhatian saya adalah penelitian SMERU Institut tentang unpaid care work (UCW).

Dalam definisi yang disampaikan SMERU berdasasarkan berbagai sumber[1], unpaid care work mencakupi mengurus anggota keluarga (direct caring), pekerjaan rumah tangga (indirect caring), dan kerja-kerja komunitas (voluntarily doing care). Berdasarkan data Susenas 2014 sebagaimana diolah SMERU, 97% perempuan/istri melakukan unpaid care work, terlepas ia memiliki pekerjaan penuh waktu, dibandingkan laki-laki/suami yang hanya 25% yang melakukannya. Selain istri, perempuan-perempuan yang melakukan UCW di antaranya adalah menantu perempuan (95%), perempuan kepala keluarga (88%), dan ibu mertua (69%).

Dengan data dan penelitian yang menggunakan perspektif feminis, kita bisa melihat bahwa kerja yang dilakukan perempuan jauh lebih berat daripada laki-laki dengan kerja-kerja rangkapnya yang “invisible” (tersamar) dan tidak berbayar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) diukur berdasarkan besarnya persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu negara/wilayah. Ini artinya, TPAK masih belum merekognisi kerja-kerja perempuan di luar pekerjaannya yang secara langsung berkontribusi secara ekonomi. Namun, apakah benar UCW yang dilakukan perempuan tidak memiliki kontribusi terhadap ekonomi?

Saya teringat rekan-rekan perempuan dari Lombok Utara, tepatnya di Kecamatan Tanjung. Mereka merupakan relawan pengajar di PAUD Alam Anak Negeri. Sekolah ini merupakan sayap gerakan Klub Baca Perempuan, yang merupakan mitra Rumah KitaB. Saya sebut mereka relawan karena meskipun mereka tenaga pengajar, hal itu dilakukan secara sukarela. Mereka adalah perempuan-perempuan yang mendedikasikan dirinya untuk pendidikan anak usia dini; Sapminten, Atun, Wahyuni, Sofi, dan Rizka.

Kak Atun merupakan salah seorang pengajar di PAUD Alam Anak Negeri. Dengan lokasi rumahnya yang jauh berada di atas bukit, setiap hari ia harus naik turun bukit menggunakan sepeda motor untuk mengajar. Meskipun di tengah wabah Covid-19 sekolah tidak masuk setiap hari, Kak Atun tetap melakukan kunjungan ke rumah-rumah murid untuk memantau proses belajar dari rumah. Sepanjang pengabdiannya, ia mendapatkan ongkos pengganti bensin yang tidak seberapa, dan honor guru yang datang tak menentu.

Sebenarnya, sekolah ini bukan tidak ingin menghargai jerih payah para guru PAUD. Namun dengan segala keterbatasannya, PAUD Alam Anak Negeri belum mampu membayar jerih payah guru-gurunya secara layak. PAUD ini sejak awal dirancang inklusif, sehingga anak murid yang berasal dari keluarga kurang mampu bisa mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Sebagian besar dari mereka berayah ibu buruh tani, nelayan, atau mantan TKW; penghasilan mereka yang tergantung musim membuat mereka kesulitan untuk membayar biaya sekolah. Alhasil, pihak sekolah pun tidak mematok jumlah sumbangan pendidikan; yang terpenting anak-anak tetap mendapatkan pendidikan berkualitas. Sebagai gantinya, para orangtua diminta berkomitmen untuk turut belajar dan menyekolahkan anaknya hingga lulus.

Kebetulan Klub Baca Perempuan memiliki kebun pangan, sebuah inisiasi untuk ketahanan pangan di tengah wabah Covid-19. Kebun pangan ini kemudian menjadi kurikulum wajib bagi anak-anak PAUD; mereka belajar menanam hingga memahami dari mana makanan yang mereka konsumsi berasal. Bagi para orangtua murid, mereka juga disiapkan kebun pangan khusus, sehingga para orangtua bisa mengisi waktu sembari menunggu anaknya sekolah. Hasil kebun pangan dapat secara gratis dipanen dan dikonsumsi para murid dan orangtua PAUD. Hasil panen kebun pangan juga dimanfaatkan untuk menambah kas PAUD untuk biaya operasional.

Ketika uang kas sekolah berlebih, Kak Atun dan kawan-kawan bisa mendapatkan honor guru, dan kesemuanya selalu dibagi rata berlima. Namun dibandingkan membayar honor atau pengganti transport, mereka lebih senang membelanjakan uang kas untuk membeli bahan-bahan makanan, untuk kemudian mereka jual kembali. Hasilnya mereka kembalikan ke dana kas sekolah untuk membeli perlengkapan belajar.

Jangan bayangkan hidup Kak Atun dan rekan-rekan pengajar penuh dengan latar belakang ekonomi yang bekecukupan. Namun, mereka tidak pernah mengeluh. Bahkan, saat Nursyida, salah satu penggerak PAUD berencana ingin menutup sekolah karena tak ada biaya untuk menggaji guru, mereka berlima-lah (Kak Atun, Sapminten, Rizka, Sofi, dan Wahyuni) yang paling bersikeras menolaknya. Nursyida menceritakan pada saya, “Dengan kemampuan mereka, bisa saja mereka mencari pekerjaan di luar yang bisa memastikan mereka mendapatkan uang, tapi tidak, mereka tetap bertahan karena mereka mencintai apa yang mereka kerjakan.”

Dari cerita lima perempuan di atas, secara kasat mata, tampaknya kerja mereka tidak secara langsung berdampak pada perekonomian. Namun dengan perspektif feminis, kita bisa melihat bahwa mereka mengisi ruang-ruang kosong di komunitas; pemberdayaan dan pendidikan bagi kelompok marjinal. Mereka mendedikasikan ilmu, pikiran, tenaga, waktu, hingga terkadang uang, ada atau tidak ada upah yang dibayar (sebanding) dengan usaha mereka. Dalam jangka panjang, kerja-kerja mereka memiliki kontribusi besar tidak hanya kepada ekonomi, tetapi juga memberikan kesempatan yang sama pada anak-anak untuk memaksimalkan potensinya melalu pendidikan, dan menciptakan generasi yang berdaya dan berkualitas.

Mungkin kerja-kerja mereka berlangsung sunyi dan tidak bermakna secara statistik, namun kerja-kerja ini telah memberdayakan setiap orang yang telah mereka rangkul. Namun, mau sampai kapan kerja-kerja semacam ini tidak diakui? Sebab tanpa rekognisi, kerja mereka pun tidak akan dikenali dalam kebijakan.

[1] Budlender & Lund 2008; OECD 2014; UN Human Rights Council 2013

Penulis merupakan staf Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini.

Dicari: Cara Radikal Atasi Problem Perempuan Saat Pandemi

Oleh: Lies Marcoes

Tujuh bulan sudah kita disetop paksa oleh virus corona. Disetop dari kegiatan beraktivitas di luar rumah bagi sebagian orang; disetop dari pekerjaan mencari nafkah yang mengandalkan mobilitas; disetop dari kegiatan masif proses pembelajaran; disetop dari kegiatan rutin: bangun, sarapan, berangkat kerja, mulai stres karena jadwal ketat sementara jalanan macet (terutama di Jakarta dan kota-kota besar), bertemu kolega, klien, nasabah, teman, bersosialisasi, handai taulan dan seterusnya. Disetop dari melakukan mobilitas fisik berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bicara berpikir atau kongkow dari satu isu ke isu lain.

Kini, semuanya berhenti. Secara mendadak pula. Tanpa aba-apa tanpa pelatihan ketrampilan untuk menghadapi perubahan ini. Lalu kehidupan pun bertumpu dan berpusat kepada “rumah” dan “penguasanya” yang secara normatif dinisbahkan kepada perempuan.

Bagi sebagian perempuan yang tadinya sehari-hari di rumah bekerja sebagai ibu rumah tangga, dalam tujuh bulan ini mereka dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan baru yang semula dipercayakan kepada pihak lain: kepada negara atau kelembagaan semi negara, swasta, badan non-negara, komunitas, bahkan pasar. Kini, secara mendadak, mereka, harus mengambil-alih semua peran itu dengan nyaris tanpa persiapan dan tanpa keterampilan. Mereka harus menciptakan kenyamanan di rumah yang tiba-tiba berubah menjadi kantor, sekolah, madrasah, musala, lapangan bermain, restoran/warung, kamar mandi umum, layanan kesehatan dasar dan tempat rekreasi sampai sarana relaksasi.

COVID-19 memaksa kita berubah. Namun perubahan bukanlah sebuah kacamata netral. Selama ini, dengan  menggunakan perspektif ekonomi, dengan segera akan tampak dampaknya, mulai dari tataran ekonomi global sampai ke dompet di dapur pada masing-masing rumah tangga.

Pada kelas sosial tertentu, perubahan ekonomi mungkin tidak terlalu terasa karena lapisan-lapisan lemak dalam cadangan kalori ekonominya cukup tebal. Namun pada kebanyakan orang, ini benar-benar bencana. Saya berani bertaruh pemintaan macam-macam utangan, dari skema kredit lunak dan murah sampai rentenir bertaring hiu, meningkat tajam.

Perubahan paling dahsyat namun jarang sekali terlihat karena alat baca untuk mengamati itu tak tersedia atau buram pekat, adalah pada kehidupan ibu rumah tangga. Dan ini tak hanya pada mereka yang benar-benar terdampak laksana gempa dan tsunami, tetapi juga pada ibu rumah tangga kelas menengah yang secara normatif  dianggap tak telalu terguncang.

Senior saya, yang saat ini menekuni isu lanjut usia (lansia), melalui pesan WhatsApp mengajak saya berpikir: Ini ibu-ibu lansia mau bagaimana? Sudah tujuh bulan mereka tidak bertemu teman, anak-anak dan cucu-cucu, tak beraktivitas kelompok, tak keluar rumah, dan ini akan mempercepat proses kepikunan. Apalagi jika ia masih memiliki suami yang sehari hari laksana balita. Banyak dari kelompok lansia yang tidak menguasai teknologi komunikasi visual, sementara anak-anak mereka sibuk mengurus sekolah cucu-cucu di rumah. Bayangkan perempuan lansia pada keluarga miskin yang hidupnya  menumpang dengan anak atau menantu. Tak mustahil sebagian beban anak menantu perempuannya akan berpindah, minimal mendapat bagian tambahan.

Perempuan setengah baya dari keluarga mapan biasanya sangat sibuk dengan segala aktivitas bergaul dan sosialnya. Selain mengurus rumah tangga yang dalam banyak hal dialihkan ke asistennya, mereka tak memiliki kesibukan lain selain mengurus keluarga kecilnya karena anaknya telah berkeluarga. Selepas itu, mereka bertemu teman dan sahabat melanjutkan hobi dan kesehariannya. Datangnya COVID-19 membuat mereka berhenti bergerak. Padahal bagi mereka, menjadi soliter itu nyaris tak masuk akal. Eksistensi mereka  bukan pada kediriannya tetapi selalu bersama komunitasnya. Tak kumpul, ya tak muncul.

Namun di antara itu semua, buat perempuan miskin, usia muda, beranak minimal satu, baik yang semula bekerja di luar rumah atau ibu rumah tangga, COVID-19 benar-benar membuat dunia mereka jungkir balik. Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dan membantu rumah tangganya normal, seperti sekolah, madrasah, dan tempat bermain anak-anak, tidak lagi berfungsi seperti biasa sehingga sekarang semuanya berpusat kepada mereka.

Beruntunglah mereka yang masih memiliki asisten atau ibu yang  tinggal bersama, serta memiliki cukup pengetahuan dan kreativitas, plus suami yang ikut memikirkan dan membantu atau mengambil alih pengasuhan dan pendidikan anak. Guncangan itu akan ditahan bersama-sama. Hal yang umum terjadi adalah karena secara normatif rumah tangga adalah urusan perempuan, maka ketika seisi rumah stop tertahan, maka perempuan yang menjadi ibu guru, manajer kantor, sekretaris, koki,  sampai janitor yang mengurus kebersihan kamar mandi. Ini  benar-benar bencana nyata namun dianggap tak pantas dikeluhkan. Karenanya, kita mungkin tak terkejut jika jumlah permohonan cerai dalam era COVID-19 ini meningkat tajam.

Sudah tujuh bulan kita begini, dan entah sampai kapan. Saya sungguh berempati kepada perempuan muda, paruh baya dan lansia yang terguncang oleh gempa COVID-19. Lebih prihatin lagi karena  guncangan itu tak dihiraukan, tak dianggap ada oleh penyelenggara negara, karena alat baca gempanya tak cukup peka dalam menangkap guncangan-guncangan itu.

Padahal jika alat bacanya sensitif, maka seharusnya keluarga-keluarga yang memiliki anak sekolah mendapatkan pendampingan intensif bagaimana menjadi ibu atau bapak guru di rumah. Mereka seharusnya mendapatkan uang pengganti gaji guru dan biaya pendidikan karena mereka pembayar pajak dan warga negara yang berhak atas “Bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya” yang menjadi sumber kehidupan anak bangsa.

Bagi ibu bekerja, mereka seharusnya mendapatkan pengganti uang kebersihan, listrik, sewa ruang kerja dan alat-alat kantor. Begitu juga bagi lansia, atau perempuan paruh baya. Harus ada jalan keluar atas kebuntuan yang mereka hadapi akibat berhentinya aktivitas mereka. Bukankah selama ini mereka telah menyumbang bagi bergeraknya ekonomi dan sosial?

Setelah tujuh bulan dan entah masih berapa lama lagi kita akan tetap begini, terberkatilah perempuan-perempuan yang tak terdampak guncangan pandemi ini. Namun bagi yang lain  harus ada perubahan radikal dalam cara melihat problem perempuan sang pengurus rumah tangga.

Ditulis oleh Lies Marcoes, Direktur Rumah KitaB, diterbitkan pertama kali di halaman Facebook-nya dan diolah oleh Magdalene.co.

Fitnah, Fitrah, dan Kekerasan Berbasis Gender

21 Oktober 2020, Rumah KitaB mempresentasikan penelitiannya tentang fundamentalisme (dalam) Islam dan dampaknya kepada kekerasan berbasis gender. Penelitian satu tahun di lima kota ini menyajikan temuan yang layak timbang untuk merumuskan penanganan kekerasan ekstrem di Indonesia. Empat pertanyaan diajukan dalam penelitian etnografi feminis ini: pandangan tentang perempuan, sosialisasi ajaran, dampak, dan resiliensinya.

Fundamentalisme dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai paham atau ideologi yang apapun jenis kelompoknya telah memperlakukan teks secara literal dan karenanya pandangannya merasa paling otentik, otoritatif, dan paling benar. Atas dasar itu, watak ideologinya menjadi anti keragaman. Klaim atas otentisitas kebenarannya mengancam secara fisik, non-fisik atau simbolik kepada pihak lain yang berbeda. Ini disebabkan oleh ajaran tentang al walñ’ wal barñ’, sebuah sikap loyal kepada kelompoknya dan melepaskan diri dari keterikatan kepada pihak lain di luar kelompoknya. Konsep itu melahirkan sikap eksklusif, intoleran, dan dapat membenarkan kekerasan untuk memaksakan pandangannya.
Hasil paling menonjol dari penelitian ini adalah tuntutan untuk mengkaji ulang tentang kekerasan ekstrem. Selama ini konsep itu didominasi oleh cara pandang maskulin patriarki yang menguncinya ke dalam kekerasan fisik: bom bunuh diri, penyerangan aparat, money laundering, yang keseluruhannya berpusat pada gangguan keamanan negara terkait radikalisme dan terorisme. Cara kaji serupa itu, mengabaikan kekerasan ekstrem lain yang terjadi setiap hari yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan itu mengancam keamanan insani berupa kematian jiwa, kematian akal sehat yang merampas kebebasan berpikir dan berupaya.
Penelitian ini mencatat kekerasan atas keamanan insani perempuan ini juga mengancam pilar-pilar yang selama ini menjadi penyangga kekuatan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran yang peduli pada keragaman sebagai warisan tak ternilai dari Islam Indonesia yang moderat/ wasathiyah.

Berdasarkan empat pertanyaan penelitian, secara berturut-turut penelitian ini mencatat sejumlah temuan. Pertama soal apa dan siapa perempuan. Melalui hegemoni ajaran, perempuan terus menerus ditekankan sebagai sumber fitnah (keguncangan) di dunia. Kehadirannya, terutama di ruang publik menjadi lantaran instabilitas moral yang (dapat) merusak tatanan sosial bahkan ekonomi. Untuk mengatasi hal itu, perempuan karenanya musti tunduk pada fitrahnya sebagai pihak yang harus dikontrol, diawasi, dicurigai dan batasi hadirnya di ruang publik baik secara langsung maupun simbolik.

“Iman mah kuat, ini si“amin” yang tak kuat. Keluhan personal seorang guru- pemilik si “amin” itu segera menjadi landasan keluarnya regulasi yang kewajiban murid dan guru perempuan (muslimah) memakai jilbab. Ini terjadi di sebuah SMA Negeri di salah satu lokasi penelitian ini. Namun hal sejenis dalam upaya menormalisasikan konsep perempuan sebagai fitnah dapat ditemukan di kelembagaan mana saja hingga perempuan sendiri merasa “salah tempat”.

“Setiap kali mau berangkat kerja, rasanya seperti mau ke tempat maksiat, sejak di jalan, di pabrik sampai pulang saya terus ikhtilat [bercampur dengan bukan muhrim]”. Keluhan seorang buruh perempuan yang telah berpakaian rapat ini akhirnya berujung pada “pilihan” mundur dari dunia kerja.

Kedua, ajaran serupa itu disosialisasikan dan dinormalisasikan lewat ragam cara. Cara konvensional seperti ceramah:

“Biar nangis darah, Bu, fitrah wanita mah tidak mungkin bisa sama dengan laki-laki, pertama wanita tak bisa sempurna ibadahnya karena ditakdirkan haid, nifas, perempuan suka ghibah (gosip), suka riya (pamer) suka tabarruj (dandan); kedua Allah sudah mengunci, sudah menetapkan laki-laki adalah pemimpin atas perempuan.

Ceramah lain di tempat lain begini ujarnya:

“Allah telah menetapkan kepala keluarga itu laki-laki, pencari nafkah itu laki-laki. Bagi yang tidak ada suami, yang jomblo, sama saja. Mereka tanggungan Bapaknya, atau walinya [
] Namun Barat telah mengubahnya [..] Wanita sekarang ikut mengejar karier, anak dan rumah ditinggal. Laki-laki kehilangan martabatnya. Aturan Allah laki-laki memimpin, jelas itu, tapi ikut-ikutan [Barat], perempuan jadi manajer, jadi direktur, laki-laki jadi bawahan, hasilnya apa? Ketika ada pelecehan, minta Undang-Undang KDRT, UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kan lucu
, kalian yang tak nutup aurat, kalian yang nggak mau di rumah, pas kena resikonya kalian nyalahin laki-laki”.

Sepintas ungkapan itu masuk akal. Terutama bagi mereka yang meyakini bahwa ruang publik sepenuhnya milik lelaki didasarkan kepada teks yang menyatakan lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Namun ceramah serupa yang disuguhkan sebagai keyakinan kebenaran dan bukan sekedar pendapat, dapat merontokkan harapan perempuan untuk layak di ruang publik sekaligus membenarkan ruang publik memang tak aman bagi mereka.

Sosialisasi dan normalisasi ajaran perempuan sebagai fitnah ini gencar bukan main. Ini dilakukan melalui ragam platform sosial media serta kampanye kreatif lainnya. Dalam 13 minggu, peneliti di suatu wilayah, misalnya peneliti mencatat ada 23 flyer yang menyebarkan ajakan perempuan berhijrah.

Ketiga, ajaran dan ujaran yang disampaikan terus menerus setiap hari itu mampu membobol mental mereka. Mereka cemas, takut, merasa tidak aman oleh sebuah hidden power yang terus menggedor kesadaran mereka bahwa mereka memang ditakdirkan sebagai suluh neraka. Pengecualiannya adalah jika mereka pasrah ikhlas pada apapun yang didapat dari suami sebagai imamnya.

“Benar, suami adalah pencari nafkah, itu wajib. Tapi kalau ibu-ibu ikhlas atas apapun pemberian suami, tidak ngomel, tidak melawan, tidak maido (mencela), jannah menanti ibu dari mananpun pintu masuknya”.

Namun pelanggengan ajaran dan ujaran ini tak terjadi tanpa kuasa atas modal dan pasar.

“Mau jilbab Dewi Sandra, atau hijab Umi Pipik, atau Peggy Melati Sukma Umi jual, dulu juga jual kerudung bordir model Ibu Gus Dur, tapi sekarang nggak laku lagi, lagian kan nggak syar’i, pakai kerudung tapi leher kelihatan, mana bisa, makanya nggak laku saya juga nggak jual lagi.”

“Aurat perempuan ya aurat, mau bayi mau dewasa, barangnya itu-itu juga. Laki-laki banyak juga yang kegoda lihat aurat bayi perempuan. Jadi bukan asal jualan, kita jualan untuk dakwah, menghindari setan masuk ke pikiran, biar nggak terjadi zina, minimal ndak zina mata.”

Adopsi terhadap pandangan serupa ini juga nggak recehan. Mengikuti keyakinan bahwa tempat terbaik perempuan adalah di rumah, para subyek penelitian ”menerima” pembatasan ruang gerak ekonomi dan sosialnya.

Sebagian besar, terutama kaum pendatang, seperti para pekerja urban, mengalami keterputusan dengan akar tradisinya karena ajaran [baru] yang mereka ikuti telah memutus mewajibkan untuk seluruh keterhubungan mereka dengan kampung (tradisi beragama, tradisi budaya, cara berpakaian, cara berkeluarga dan cara bersilaturahmi) dengan alasan untuk menghindari perbuatan dosa besar dari bid’ah. Hal ini memunculkan ketergantungan mereka kepada kelompok-kelompok barunya di kota yang diikat oleh keyakinan-keyakinan baru mereka dalam ragam kelompok seperti salafi. Seorang mantan buruh di Bekasi mengurai kegelisahannya.

“Kadang saya kangen pulang ke Jawa, tapi di kampung tidak ada yang pakai hijab begini, Ibu saya karena belum paham juga tidak setuju saya pakai baju ini. Maklum ibu saya petani. Lebaran tahun lalu tersiksa rasanya karena banyak yang nggak ngaji sunah. Wara wiri tetangga saudara-saudara naik motor kreditan, isi rumah mebel baru kreditan. Padahal itu semuanya hasil riba, haram. Badan saya rasanya panas.”

Namun penelitian ini juga mencatat ragam perlawanan perempuan meskipun tidak/ belum membentuk agensi. Paling jauh berupa adaptasi terhadap perubahan- perubahan itu, atau perlawanan tanpa kekuatan pengorganisasian dan apalagi sikap kritis. Sebagian bahkan ”melawan” karena tak punya kesanggupan untuk ikut hijrah akibat kemiskinananya.

Demikianlah kekerasan ekstrem yang terpetakan dalam penelitian itu. Ini hanya dapat bisa dibaca dengan kaca mata yang peka dan sanggup membaca bagaimana perempuan dibentuk dan didefinisikan. Sistem patriarki telah melanggengkan kuasa laki-laki terhadap perempuan melalui kontrol, dan kepemilikan yang distrukturkan oleh ideologi dan sistem keyakinan. Padahal kontrol, kuasa, dan kepemilikan itu sangat rentan memunculkan kekerasan; fisik non-fisik serta hal-hal yang diakibatkan oleh sistem dominasi dan struktur yang menghasilkan ketidaksetaraan.

Situasi ini semakin gayeng karena pasar dan modal ikut melanggengkannya melalui konsep barang dan jasa serba syar’i. Namun, sikap negara yang seolah menarik jarak dari campur tangan terhadap masuk dan berkembangnya pandangan ekstrem serupa ini, telah melanggengkan kekerasan terhadap perempuan melalui hegemoni nilai-nilai patriarki yang terkandung dalam tafsir dan praktik keagamaan fundamentalis.

Hal ini jelas tak bisa terus berlangsung. Karenanya, penelitian ini merekomendasikan hal-hal yang seyogyanya dilakukan negara, masyarakat sipil, pelaku usaha utamanya para pendukung Islam moderat Indonesia secara lebih luas. Mewujudkan human security yang komprehensif dengan menggunakan perspektif gender yang mengharuskan tersedianya sistem perlindungan (protection) sekaligus pemberdayaan (empowerment) akibat cuci otak fitnah dan fitrah.

Lies Marcoes, 21102020
Penulis merupakan Direktur Rumah KitaB dan tulisan ini pertama kali dipublikasikan di sini.