Benarkah Perempuan itu Aurat, sehingga seorang Muslimah sebaiknya tidak Bekerja?

Oleh: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

 

Pertanyaan ini sering disampaikan berbagai pihak, terutama dalam mimbar-mimbar pengajian, bahkan obrolan warung-warung makan. Perempuan dianggap berpotensi menggoda laki-laki, atau digoda laki-laki, sehingga sebaiknya tidak berada di ruang publik. Seperi bekerja misalnya. Hal ini sebagai tindakan preventif agar pesona tubuhnya, yang bisa menggoda, atau kemungkinan diganggu dan digoda, tidak membahayakan dirinya dan orang lain.

Demikianlah narasi keagamaan yang berbasis fitnah tubuh perempuan. Termasuk narasi aurat perempuan yang bekerja. Sesungguhnya, tidak hanya untuk isu bekerja, tetapi semua aktivitas apapun yang dilakukan perempuan di ruang publik. Bahkan bisa saja perilaku-perilakunya di dalam ruang domestik bersama keluarga. Dan pada akhirnya, semua hukum atau etika yang menyangkut perempuan akan dirumuskan hanya sebatas cara pandang tubuhnya semata: menggodakah (subyek)? Atau akan digodakah (obyek)?

Padahal, hukum Islam memiliki rumusan kerangka Maqashid Syari’ah. Yaitu, kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum Islam bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Termasuk kehidupan perempuan. Jika kita meyakini perempuan sebagai manusia, dan menjadi subyek yang disapa Islam, maka ia juga harus memperoleh kemaslahatan yang dituju Islam. Baik yang terkait agamanya (hifz ad-din), akal budinya (hifz al-‘aql), jiwanya (hifz an-nafs), hartanya (hifz al-mal), dan keluarganya (hifz an-nasl).

Dengan demikian, narasi perempuan adalah aurat, dalam isu bekerja maupun yang lain, harus dipastikan tidak melanggar kerangka dasar dari Maqashid Syari’ah ini. Karena perempuan sebagai manusia yang menjadi subjek utuh kehidupan, tidak hanya memiliki tubuh, tetapi juga jiwa, akal budi, relasi dan tanggung-jawab sosial, dan berbagai hak dan tanggung-jawab yang lain.

 

Aurat sebagai Titik Lemah Seseorang

Jika merujuk pada al-Qur’an (al-Ahzab, 33: 13), aurat adalah sesuatu yang mudah diserang musuh suatu kaum atau bangsa dan dijadikan alat untuk menghancurkan keseluruhan kaum atau bangsa tersebut. Agar tidak lagi menjadi aurat, sesuatu harus diperkuat, dilindungi, atau bahkan diubah menjadi alat pertahanan yang justru meningkatkan harga diri dan wibawa suatu kaum dan menakutkan musuh-musuh mereka.

Rumah dan keluarga yang berada di daerah pinggir perbatasan suatu kaum, pada zaman perkabilahan dahulu, ketika sedang  kontak perang, dianggap sebagai aurat. Yaitu sesuatu yang mudah terancam dikuasi musuh, dihancurkan, atau digunakan sebagai jalan untuk menghancurkan seluruh kaum. Rumah yang aurat diperlukan perlindungan dan penguatan. Tetapi ketika rumah dan keluarga tersebut menjadi kuat, atau terlindungi secara baik, atau taktik perang sudah tidak lagi menyerang perbatasan tetapi langsung ke jantung kota-kota utama, maka rumah dan keluarga di pinggiran perbatasan tidak lagi dianggap sebagai aurat. Sebaliknya rumah-rumah yang tidak terlindungi di tengah kota bisa berubah menjadi aurat, atau sasaran empuk pelemahan dan penghancuran oleh pihak musuh.

Perempuan, dalam suatu hadits (Sunan Turmudzi, no. 1206) dianggap aurat, sebaiknya dipahami dalam konteks makna ayat tersebut di atas, bukan sekedar aurat fisik badaniyah yang seksual, melainkan lebih utuh secara sosial. Sehingga, perempuan dianggap aurat ketika mereka lemah, bodoh, mudah diperdaya, mudah dijadikan alat oleh individu atau pihak-pihak tertentu untuk memperdaya dan menghancurkan masyarakat secara umum. Tetapi ketika mereka justru menjadi kuat, pintar, mandiri, bijak, dan paham situasi, sehingga tidak lagi mudah diperdaya, mereka bukan lagi aurat.

Sebaliknya, laki-laki yang lemah, bodoh, mudah diperdaya, dan mudah dijadikan alat oleh individu-individu atau pihak-pihak tertentu untuk memperdaya dan menghancurkan masyarakat secara umum, adalah juga aurat. Seperti anak-anak yang lemah, atau laki-laki yang sudah uzur, dalam konteks situasi perang, seringa dianggap sebagai aurat.

Perempuan yang lemah dan dianggap aurat perlu penguatan, begitupun laki-laki lemah yang dianggap aurat juga perlu pemberdayaan. Tidak semua laki-laki kuat dan mampu melindungi, sebagaimana tidak semua perempuan lemah dan perlu perlindungan. Siapapun bisa menjadi aurat dan perlu perlindungan, laki-laki maupun perempuan. Begitupun, siapapun, baik laki-laki maupun perempuan, dengan kapasitasnya masing-masing bisa mejadi pelindung, penguat, dan pemberdaya mereka yang lemah.

 

Aurat sebagai Sesuatu yang Mendorong pada Keburukan

Kita juga sering mendengar bahwa suara perempuan adalah aurat. Karena itu, perempuan dilarang bekerja dalam hal-hal yang mengekspose suaranya ke publik. Sesungguhnya suara perempuan, dalam suatu pandangan fiqh tertentu, dianggap aurat adalah ketika suara itu mendorong atau mengajak pada tindakan-tindakan asusila, yang membuat seseorang berada pada titik lemahnya secara spiritual dan sosial. Jika tidak, yang tentu saja bukan aurat. Ini untuk menerima preseden banyak perempuan pada masa Nabi Saw bersuara, berdakwah, belajar, bertanya, dan memberikan ilmu serta pengetahuan kepada keluarga, kolega, dan masyarakat.

Dengan makna yang demikian, secara mubadalah, suara laki-laki yang juga mendorong, mengajak, atau bahkan merayu dan mengkondisikan tindakan asusila adalah juga aurat. Jika laki-laki secara umum tidak dilarang bersuara, sekalipun ada dari mereka yang mendorong dan mengajak tindakan asusila, maka perempuan juga seharusnya tidak diharamkan suara mereka, hanya karena beberapa individu dari mereka yang dianggap menggoda dan memesona. Yang diperlukan, satu sama lain, laki-laki dan perempuan, tidak menggunakan suara mereka untuk menggoda dan menjerumuskan.

Lebih jauh lagi, bisa saja setiap suara yang mendorong pada tindakan-tindakan haram, seperti zina, kebencian, konflik, kekerasan, dan korupsi, adalah juga dianggap aurat yang harusnya diwaspadai. Baik suara itu keluar dari laki-laki maupun perempuan. Pada saat yang sama, masing-masing, laki-laki dan perempuan juga diperintahkan untuk mengubah suara yang aurat ini menjadi suara yang mendorong pada kebaikan, anti korupsi, persatuan, dan perdamaian.

Dengan demikian, misi Islam untuk “amar ma’ruf dan nahi munkar”, yaitu menguatkan daya dorong untuk mewujudkan kebaikan dan menguatkan daya tahan dari segala keburukan, benar-benar menjadi sesuatu yang dikerjakan bersama oleh laki-laki dan perempuan. Persis seperti yang diamanatkan al-Qur’an, Surat at-Taubah (9), ayat ke-71. Sehingga kerahmatan dan kemaslahatan yang diharapkan Islam membumi bagi semua, dilakukan dan dirasakan oleh laki-laki dan perempuan.

 

Keberpihakan Islam pada yang Lemah

Makna aurat seperti disebutkan di atas menjadi relevan dengan visi dan misi Islam untuk melindungi yang lemah (mustadh’afin), sekaligus untuk memastikan kehidupan sosial yang terlindungi dari segala kemungkinan buruk yang bisa menimpa siapa saja. Dalam pemaknaan ini, Islam harus memberdayakan siapapun yang memiliki aurat, yang akan melemahkan dirinya, atau menjadi titik lemah dirinya yang bisa diserang oleh orang lain. Sebaliknya, siapapun yang memiliki kapasitas, untuk menutupi aurat seseorang, dengan melakukan kerja-kerja perlindungan dan pemberdayaan, adalah dipanggil oleh Islam untuk berkiprah dan berkarya. Yang memiliki aurat bisa laki-laki, dan bisa perempuan. Yang menutupi aurat juga bisa laki-laki dan bisa perempuan.

Tubuh perempuan bisa menjadi aurat, yaitu menjadi titik lemahnya, karena bisa saja ada laki-laki yang tergoda, lalu berbuat hal-hal buruk padanya. Namun, perlindungannya bukan dengan melarangnya dari aktivitas di luar publik. Tetapi dengan membuat sistem sosial yang membuatnya nyaman, aman, dan terlindungi ketika beraktivitas sosial, karena tindakan buruk laki-laki terhadap dirinya. Di sinilah arti menutup aurat yang relevan dan komprehensif. Ini juga berlaku bagi laki-laki, yang bisa saja menjadi aurat, dan berpotensi diganggu oleh orang lain di ruang publik. Yang harus dilakukan adalah menyediakan ruang publik yang aman dan melindungi siapapun, laki-laki maupun perempuan.

Perempuan tidak bisa dilarang bekerja hanya karena ia dianggap aurat. Karena, aurat sendiri bisa ada pada laki-laki, dan dia juga tidak dilarang dari bekerja. Aurat dalam arti pesona tubuh atau yang lain, dari laki-laki maupun perempuan, harus dijaga bersama agar tidak menimbulkan keburukan, terhadap laki-laki maupun perempuan. Bukan dengan melarang perempuan bekerja. Namun, dengan kesadaran bersama untuk membangun dan mewujudkan sistem pergaulan sosial yang sehat, aman, dan melindungi.

Lebih dari itu, seseorang yang tidak bekerja justru bisa menjadi aurat secara sosial. Dia terancam diperlakukan buruk di ruang domestik maupun publik. Sebaliknya, bekerja atau beraktivitas di ruang publik secara positif, justru bisa menutupi berbagai kelemahan (aurat) seseorang, laki-laki maupun perempuan. Seseorang yang bekerja justru sedang memperjuangkan agar bisa memiliki bekal untuk menutupi titik lemah hidupnya, yaitu memenuhi kebutuhan hidup. Orang yang tidak memiliki bekal untuk hajat hidupnya, adalah orang yang paling lemah, dan sangat mudah diperdaya, diganggu, bahkan diperlakukan buruk oleh orang lain. Bekerja bisa menutupnya dari aurat hidupanya tersebut. Wallahu a’lam.

Istri bukan Tulang Rusuk Suami tapi Belahan Jiwanya

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi

Mubadalah.id – Wabah pandemi akibat Covid-19 telah merubah pola hidup warga di seluruh dunia. Para pekerja yang terbiasa memperoleh income secara rutin, harus bersiap dengan pola baru. Banyak warga yang beralih profesi. Dari pekerja beralih menjadi pedagang atau membangun usaha sendiri. Jika selama ini bisa memperkirakan jumlah pendapatan yang akan diperoleh, ke depan akan sangat berbeda. Mereka harus mampu mengelola keuangan dengan lebih cermat. Hal yang sama dilakukan oleh banyak pasangan suami istri, karena istri bukan tulang rusuk suami.

Sebagaimana Hasanah yang tengah menjalani perubahan itu. Meyakini bahwa istri bukan tulang rusuk suami, yang harus bergantung pada gaji suami. Kantor tempat suaminya bekerja harus berhenti operasi. Ia terkena pemutusan hubungan kerja. Namun, ia menerimanya dengan lapang dada. “Aku tidak boleh menyerah. Kini saatnya memulai hal baru dalam hidupku”. Bisik hati kecilnya.

Merintis Kebangkitan

Hasanah pernah bekerja sebagai pramusaji. Saat itu, dia bertugas menyediakan konsumsi dalam sebuah acara diskusi. Ketika sedang menata makanan dan minuman, ia mendengar sebuah ungkapan yang disampaikan oleh salah seorang pembicara dalam ruangan tersebut.

“Salah satu prinsip utama dalam bertauhid adalah, manusia tidak boleh menyandarkan hidupnya kepada manusia lain. Termasuk seorang istri kepada suami. Satu-satunya sandaran hidup adalah ALLAH.”

Kalimat itu laksana tertulis di atas batu. Ia begitu melekat dalam ingatan Hasanah. Belakangan, ia tahu, bahwa ucapan itu disampaikan oleh KH. Husein Muhammad, anggota komisioner Komnas Perempuan periode (2007-2009). Seorang alim dan pengasuh pondok di Cirebon. Tampilannya sangat bersahaja. “Ingin rasanya aku mencium tangan Kiai itu”. Niat diurungkan, karena tugas utamanya belum selesai.

Beberapa tahun kemudian, saat suaminya sedang tidak lagi bekerja kantoran, kalimat itu muncul. Ia bisa memberi energi begitu kuat di dalam dirinya. Tekadnya bulat. Saat hendak beranjak tidur, Hasanah membuka percakapan dengan suaminya:

“Bang, mulai Sabtu depan saya minta ijin mau jualan ketupat sayur dan kue lepet di teras depan ya. Sekarang giliran Abang yang bantu-bantu saya ya”. Permintaan Hasanah, penuh percaya diri. Hampir meneteskan air mata ia menjawab dengan suara datar.

“Abang pasti bantu-bantu Ibu nanti, jangan kuatir. Abang minta maaf ya Bu… Sudah beberapa bulan gak kerja. Abang tetep berusaha sih tapi ya gitu deh…”

“Abang tidak usah kerja kantoran lagi … Kita kerja di rumah sendiri aja bareng-bareng. Sekarang giliran saya yang memulai kerja. Abang bantuin saja ya…” sergah Hasanah.

Tawaran Hasanah tidak lagi terjawab, namun diam adalah pertanda setuju. Mereka perlahan memejamkan mata, desahan nafas mulai terdengar lembut, mereka tertidur dalam balutan mimpi indah.

Meski bukan laki-laki berpenghasilan tinggi, Bang Ali adalah suami yang selalu ingin membahagiakan istri, sesuai standarnya. Ia sadar, sedang tidak lagi bekerja kantoran. Namun Bang Ali bukanlah laki-laki pemalas. Sementara, Hasanah harus bekerja di luar rumah, dia menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah. Dari menyapu, ngepel, berbenah, mencuci pakaian, menyetrika, hingga masak.

Memulai Dengan Semangat Kerjasama

Pagi hari, Bang Ali bergegas mengumpulkan kayu, triplek bekas, membeli paku dan peralatan lain untuk membuat meja dan kursi kayu. Tiba-tiba, sang istri mengajak ke pasar. Tujuan pertama adalah toko grosir perkakas masak. Segala piring, mangkok, sendok, toples, panci besar, dandang, lengkap dibeli dengan harga grosiran. Semua peralatan masak sudah lengkap terbeli. Giliran Bang Ali menyelesaikan pembuatan meja, kursi panjang dari kayu-kayu bekas. Setelah selesai, semua tertata rapi di teras rumah.

Hari Jum’at pagi, Bang Ali bergegas membuat ketupat. Hasanah sangat cekatan mengupas bawang merah, bawang putih, kemiri, buah papaya muda, kacang panjang, kemiri, memeras kelapa, mencuci cabe, menggoreng kacang tanah. Bumbu tersimpan rapi di kulkas. Bang Ali memasak ketupat dalam dandang besar, dengan api kayu bakar di belakang rumah. Sebelum jam 10.00 malam ketupat dan lepet sudah matang, lalu digantung agar padat mengering.

Jam 3.30 pagi, Hasanah dan Bang Ali sudah bangun. Mereka bergegas salat tahajud hingga waktu shubuh. Usai salat, Hasanah bergegas memasak sayur ketupat dengan bahan-bahan yang sudah disiapkan sebelumnya. Jam 5.30 pagi, sayur ketupat Betawi sudah siap disajikan. Bau wangi dan semerbak bawang goreng memenuhi seluruh ruangan. Sementara Hasanah mandi pagi dan berdandan, Bang Ali menata semua dagangan di atas meja. Rapi sekali.

Sebagai mantan pramusaji, Hasanah sangat paham tata kelola penyajian makanan berstandar hotel untuk para pelanggan. Ia selalu menggunakan masker dan sarung tangan berplastik saat melayani pembeli. Bahkan sekedar mengambil kerupuk dari dalam kaleng.  Jam 6.00, para pembeli mulai berdatangan, ada yang makan di tempat, ada yang membawanya pulang. Sementara sang Istri melayani pembeli, Bang Ali begitu cekatan dan sigap mengangkat piring, sendok, gelas bekas, lalu mencuci bersih dan meletakkannya kembali di atas rak plastik warna biru.

Bang Ali juga terampil menyajikan teh tawar panas kepada setiap pengunjung yang makan di tempat. Sesekali ia harus menimpali obrolan Bapak-bapak yang menetap lama di warung. Mereka terlalu asyik menikmati teh tawar dan cemilan kerupuk goreng dalam toples sambil menghisap rokok dalam-dalam. Sebelum beranjak pergi, beberapa orang memesan ketupat sayur untuk dibawa pulang “Bungkusin tiga deh, buat sarapan anak-anak di rumah. Jangan pedes ya, kerupuknye dipisah aje.”

Merawat Kesalingan Meyakini Istri bukan Tulang Rusuk Suami

Aku dan istri mampir ke warung Hasanah.  Kami menyantap dua porsi ketupat sayur lengkap dengan tahu dan telor, seharga Rp. 12.000 per porsi. Ketupat sayur Betawi besutan Hasanah memang benar-benar terasa sedapnya. Perpaduan antara papaya muda, kacang panjang, tahu cokelat, telor, udang ebi dan santan. Rasanya nendang banget.

Bumbu dan rempah dalam masakan Betawi itu beraroma harum semerbak. Rasanya medok mantap. Bawang goreng dan sambel kacangnya bercampur jeruk limo, melengkapi kesempurnaan rasa. Pas sekali dilidah. Beberapa saat setelah makan, mulut tidak terasa kehausan. Itu pertanda tidak banyak campuran vetsin dan penyedap rasa dalam masakannya.

Sejak aku duduk lalu memesan ketupat, mataku selalu tertuju pada kekompakan kerjasama suami-istri itu. Mereka tidak banyak bicara, apalagi perintah. Tapi, keduanya mampu berpadu dalam kerjasama apik penuh harmoni. Pola kerja mereka seperti sudah tersistem. Tangkas dan rapi sekali. Aku memuji kelezatan masakan Hasanah dan caranya melayani para pembeli. Aku juga kagum dengan kecekatan Bang Ali dalam membereskan beberapa pekerjaan yang tidak bisa dilakukan Hasanah.

Aku sengaja menunda kepulangan. Kami ngobrol sejenak setelah pengunjung sepi dan dagangan habis. Dengan rendah hati, Bang Ali bercerita, bahwa dulu ia bekerja kantoran, istri kerja hanya Sabtu dan Minggu. Sekarang gantian. Istri yang lebih banyak bekerja, ia membantu. Intinya, “kami terus merawat kesalingan, yah ganti-gantian deh…”.

“Bang Ali dan Ibu Hasanah hebat ya! sudah bisa menemukan berkah Covid ya” pujiku.

Dengan polos Bang Ali menimpali; “Rejeki mah tidak bakal hilang Pak, hanya bergeser doang.”

Hasanah menyahut: “Saya kan tidak boleh menggantungkan hidup kepada suami Pak. Harus bisa saling membantu. Alhamdulillah sih, usaha begini, nyatanya bisa juga kok nyekolahin anak-anak. Yang pertama sudah sarjana. Kuliah di kampus yang murah-murah aja, yang penting sarjana.” Hasanah tertawa lepas penuh rasa syukur dan bangga sekali. Mereka mensyukuri berkah kesalingan.

“Kami adalah belahan jiwa suami. Bukan tulung rusuknya. Karena istri bukan tulang rusuk suami.” Bisik istriku. []

 

Sumber: https://mubadalah.id/istri-bukan-tulang-rusuk-suami-tapi-belahan-jiwanya/

 

Apakah Mengasuh Anak Menjadi Tanggung-jawab Istri saja, karena Suami sudah Berkewajiban Mencari Nafkah?

Oleh: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

 

Pertanyaan ini sering berseliwaran di berbagai pengajian dan media sosial. Dalam pandangan populer, jawabannya adalah ya: mengasuh anak adalah tanggung-jawab istri. Namun, jika merujuk pada dasar-dasar normatif Islam, jawabannya tentu saja tidak. Karena ayat al-Qur’an dan teks Hadits mengenai pengasuhan maupun mencari dan memenuhi nafkah berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Semua tahu, ada ayat pendidikan keluarga pada surat at-Tahrim (QS. 66: 6),  yang menjadi kewajiban semua orang yang memiliki keluarga, baik laki-laki maupun perempuan.

 

Pengasuhan Anak dalam Teladan Nabi Saw

Hadits Nabi Saw tentang pendidikan anak, juga secara jelas dan terang benderang, menjadi ranah tanggung-jawab kedua orang tuanya. Disebutkan dalam teks ini, bahwa anak itu pada awalnya adalah bersifat fithrah, atau suci, dan kedua orang tuanya  yang kemudian membentuk agama, pemikiran, dan kebiasaanya. (Sahih Bukhari, no. 1373).

فَإِنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رضى الله عنه كَانَ يُحَدِّثُ قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ(صحيح البخاري).

Dari Abu Hurairah ra, bercerita, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Tidak ada seorang bayipun yang dilahirkan, kecuali ia dalam keadaan fitrah (bersih). Lalau kedua orang tuanya yang akan membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi (atau yang lain)”. (Sahih Bukhari, no. hadits: 1373).

Begitupun hadits-hadits tentang teladan Nabi Saw, sebagai laki-laki, yang mengasuh Hasan ra, Husein ra, dan Ummah ra adalah sangat banyak dan jelas. Nabi Saw bermain dengan mereka, memangku, menggendong, bahkan membawa mereka ke masjid untuk shalat (Sunan Abu Dawud, no. 1111; Sunan at-Turmudzi, no. 4143; Sunan Ibn Majah, no. 3731; Sunan an-Nasai, no. 1424 dan 1149; Musnad Ahmad, no. 16279, 24361 dan 28295).

Bagi Nabi Saw, pengasuhan anak adalah bagian dari ekspresi sifat kasih sayang yang dianjurkan Islam. Dalam Sahih Bukhari (no. hadits: 6063), ketika Nabi Saw sedang mengasuh cucunya, Hasan bin Fathimah ra, menggendong dan menciumnya. Suatu saat, ada seorang sahabat bernama Aqra’ bin Habis at-Tamimi ra, bercerita bahwa dirinya memiliki sepuluh anak, tidak ada satupuan yang dia cium. Lalu Nabi Saw menimpalinya: “Barangsiapa yang tidak bisa menyayangi (anak-anak), akan tidak disayangi (Allah Swt)”.

 

Kedekatan Nabi Saw pada Anak-anak

Nabi Muhammad Saw dikenal sangat mencintai dan menyayangi anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Nabi Saw sering menyapa mereka, menyambut kehadiran mereka, mengajak mereka bermain, dan mencium kening mereka. Ketika ada seorang sahabat yang bercerita di hadapan Nabi Saw, bahwa dia tidak dekat dengan anak-anak, Nabi Saw justru menegurnya (Sahih Bukhari, no. 6063).

Nabi Saw mempercepat shalat ketika mendengar tangis bayi di jama’ah perempuan, agar si bayi segera memperoleh ketenangan (Sahih Bukhari, no. 712). Nabi Saw juga memuji seorang ibu yang membelah satu kurma menjadi dua untuk kedua putrinya (Musnad Ahmad, no. 22603). Nabi Saw juga saat sedang sujud membiarkan punggung beliau dinaiki kedua cucu Hasan dan Husein (Sunan Nasa’i, no. 1149 dan Musnad Ahmad, no. 16279 dan 28295).

Cucu Nabi Saw yang perempuan, bernama Umamah bint Abu al-‘Ash ra, putri dari Zainab bint Rasulullah Saw juga sering diasuh Nabi Saw. Dia sering diajak main, dipangku, digendong, bahkan dibawa ke masjid untuk shalat. Beberapa catatan hadits menyebutkan bahwa Nabi Saw pernah shalat dengan tetap menggendong Umamah bint Abu al-‘Ash ra. Ketika beliau sujud, Umamah diletakkan terlebih dahulu, dan ketika mau berdiri digendong lagi (Sahih Bukhari, no. 515). Karena cinta yang besar ini, seperti kata Sayyidah Aisyah ra, ketika Nabi Saw memperoleh hadiah kalung dari Yaman, langsung diberikan kepada Umamah ra (Musnad Ahmad, no. 25343).

Dalam tulisan Ishmatuddin Karkar, al-Mar’ah fi al-‘Ahd an-Nabawi (hal. 224-226), Nabi Saw sering dititipi balita perempuan anak dari beberapa sahabat. Seperti As’ad bin Zurarah ra, dia pernah membawa balita perempuannya bernama Zainab dan menitipkanya ke pangkuan Nabi Saw. Terkadang juga, dia titipkan dua saudarinya yang masih kecil. Nabi Saw, kemudian, mengasuh mereka, mengajak mereka bermain, dan memakaikan kalung kepada mereka.

Balita lain, bernama Jamrah bint Abdullah at-Tamimiyah al-Yarbu’iyah ra, pernah dibawa ayahnya ke hadapan Nabi Saw. Ayahnya memohon kepada Nabi Saw untuk mendoakannya. Nabi Saw merengkuh sang balita, mendudukkannya ke pangkuan, lalu mendoakan untuk keberkahan dan kebaikannya.

Sahabat lain, Sahal bin Rafi’ ra, juga pernah bercerita tentang hal serupa. Dia membawa anaknya yang perempuan kepada Nabi Saw untuk didoakan. Nabi Saw kemudian meletakkan telapak tangan beliau ke atas kepala anak perempuan tersebut sambil berdoa untuknya. “Demi Allah, telapak tangan Nabi Saw yang adem itu terasa tidak hanya di kepalaku, tetapi sampai merasuk ke  jantungku”, kata si anak perempuan itu.

Semua teks-teks hadits ini, terang benderang, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw, sebagai laki-laki, ikut terlibat dalam kerja-kerja pengasuhan anak. Begitupun beberapa Sahabat laki-laki. Sehingga, tidak benar, jika dikatakan bahwa pengasuhan dan pendidikan anak menjadi tanggung-jawab istri semata. Hal yang sama, kerja-kerja pencarian nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dalam Islam, adalah ranah bersama, laki-laki dan perempuan.

Pada tulisan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits tentang bekerja, amal, kasab, infaq dan nafaqah juga sejatinya berlaku umum. Semua teks tentang hal ini menyapa laki-laki dan perempuan. Sebagaimana ayat dan hadits tentang iman, islam, shalat, haji, dan zakat yang menyapa laki-laki dan perempuan. Karena bekerja, menghasilkan uang, dan untuk memenuhi kebutuhan adalah karakter dasar manusia. Ada pada laki-laki dan perempuan. Tidak spesifik pada laki-laki saja.

Begitupun ayat dan hadits tentang pengasuhan anak, sebagaimana dijelaskan di atas, adalah menyapa laki-laki dan perempuan. Tidak spesifik untuk perempuan saja. Secara prinsip, menyayangi anak adalah baik. Mengasuh anak juga baik. Begitupun merawat dan mendidik adalah baik. Jika demikian, tidak seharusnya hanya perempuan yang memperoleh mandat kebaikan ini. Laki-laki tidak boleh dikecualikan dari peran-peran yang penuh kebaikan ini.

Sebaliknya, pengasuhan anak secara bersama-sama adalah jalan pasangan suami istri untuk memastikan ikatan pernikahan lebib kokoh, memiliki tanggung-jawab bersama, menguatkan relasi kesalingan, kerjasama, dan kemitraan. Sehingga tujuan pernikahan, sebagaimana digariskan al-Qur’an (QS. Ar-Rum, 30: 21),  dimana keduanya bisa mengalami sakinah akan lebih mudah, untuk mereka berdua, anak-anak, dan masyarakat, fiddunya wal akhirah. Wallah a’lam.

Benarkah ada Syarat-syarat bagi Perempuan untuk Diperbolehkan Bekerja?

Oleh: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

 

Kita sering mendengar narasi-narasi yang mendaftar dan menuntut syarat-syarat tertentu bagi perempuan untuk diperbolehkan bekerja di ruang publik. Di antara yang sering disampaikan adalah ada izin dari suami, tidak melupakan peranya sebagai istri dan ibu rumah tangga, bukan pekerjaan yang diharamkan dan merendahkan martabatnya sebagai perempuan, tidak menimbulkan fitnah, dan jika perjalanan jauh harus ditemani mahram dari keluarganya.

Bagaimana syarat-syarat ini dibahas dalam Islam, baik dengan merujuk pada al-Qur’an, Hadits, maupun Fiqh? Bagaimana perspektif mubadalah memandang syarat-syarat ini, yang begitu khusus bagi perempuan Muslimah? Apakah ada juga syarat-syarat bagi laki-laki muslim untuk dibolehkan bekerja?

 

Norma Dasar dan Kaidah Dasar dalam Bekerja

Pada beberapa tulisan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits tentang bekerja, amal, kasab, infaq dan nafaqah juga sejatinya berlaku umum. Semua teks tentang hal ini menyapa laki-laki dan perempuan. Sebagaimana ayat dan hadits tentang iman, islam, shalat, haji, dan zakat yang juga menyapa laki-laki dan perempuan. Karena bekerja, menghasilkan uang, dan untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, maupun orang lain, adalah karakter dasar manusia.

Bekerja secara normatif dalam Islam adalah baik dan mulia. Dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Hal ini merupakan norma dasar dalam Islam. Tentu saja ada konteks dan kondisi, dimana sesuatu yang baik dan mulia, bisa berubah menjadi buruk dan tidak dianjurkan. Misalnya ketika pekerjaan itu hukumnya haram dalam Islam, membahayakan diri atau orang lain, atau sia-sia dan tidak menghasilkan manfaat apapun bagi kehidupan. Hal ini merujuk pada kaidah dasar dalam Islam jalbul-mashalih wa dar’ul-mafasid (mewujudkan kebaikan dan menjauhkan keburukan).

Berjudi, merekrut dan memperdagangkan orang, menerima jasa pembunuh bayaran, misalnya, adalah perbuatan-perbuatan yagn diharamkan dalam Islam. Pekerjaan yang awalnya boleh, tetapi dilakukan dengan cara yang berpotensi membahayakan diri dan atau orang lain, adalah juga tidak dianjurkan, bisa makruh atau bahkan haram. Tergantung tingkat kepastian bahayanya. Seperti mencat jalan raya tanpa marka dan alat pengaman, menjadi supir yang ugal-ugalan, menjadi profesi guru atau dokter yang menipu, dan banyak lagi.

Pekerjaan yang rentan menimbulkan huru-hara, mendatangkan musibah, kebencian, permusuhan, apalagi peperangan, adalah semua dilarang dalam Islam. Semua jenis pekerjaan ini tidak diperkenankan dilakukan laki-laki maupun perempuan. Karena ini menyangkut kaidah dasar dalam Islam, bahwa segala kerusakan harus dihapuskan (adh-dharar yuzal).

Kaidah dasar ini merujuk pada berbagai ayat al-Qur’an (misalnya, QS. Al-Baqarah, 2: 195) dan banyak sekali teks-teks hadits (misalnya, Sahih Muslim, no.  hadits: 6706, Sunan Turmudzi, no. hadits: 2052; Sunan Ibn Majah, no. hadits: 2430; dan Muwaththa’ Malik, no. hadits: 1435). Kaidah dasar lain, sebaliknya, adalah sebuah pekerjaan akan dianjurkan jika justru mendatangkan kebaikan, kemaslahatan, dapat memenuhi kebutuhan diri, keluarga, maupun yang lain. Kaidah dasar ini juga berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Termasuk ketika seorang perempuan sedang dalam keadaan ‘iddah sekalipun, ia tidak boleh dilarang bekerja, jika justru mendatangkan kebaikan (Sahih Muslim, no. hadits: 3794).

 

Merespon Syarat-syarat Khusus Perempuan

Syarat-syarat yang diajukan bagai perempuan muslimah bekerja, seperti di awal tulisan ini, adalah benar jika tidak melanggar norma dasar dan kaidah dasar tersebut di atas. Ia juga harus diletakkan dalam relasi yang mubadalah, atau resiprokal, dimana laki-laki dan perempuan menjadi subjek yang setara untuk melakukan dan memperoleh manfaat dari kebaikan yang diharapkan, dan dilarang menjadi pelaku maupun korban dari keburukan yang tidak diharapkan.

Syarat izin suami, misalnya, adalah baik jika dimaksudkan untuk memstikan keberadaan istri di tempat kerja bisa sehat dan aman, terlindungi dari segala bentuk kekerasan, atau mengantisipasi dari kemungkinan yang tidak diinginkan. Dengan makna yang sama, izin istri oleh suami juga menjadi baik dan penting untuk memastikan keberadaanyanya sehat dan aman, terlindungi, dan bisa menantisipasi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun, jika izin digunakan untuk melarang atau mengekang secara semena-mena, maka bertentangan dengan kaidah dasar di atas. Sehingga, ia harus batal bagi laki-laki maupun perempuan, demi prinsip dan kaidah dasar tersebut di atas.

Begitupun tidak melupakan syarat sebagai istri atau ibu, jika dimaksudkan sebagai komitmen untuk kebaikan keluarga, maka berlaku juga mubadalah. Artinya, laki-laki bekerja juga harus dengan syarat tidak melupakan perannya sebagai suami dan ayah dari anak-anaknya. Namun, jika digunakan justru untuk memberi beban secara berlebihan, menyalahkan, dan menyudutkan, maka tidak boleh berlaku bagi perempuan, sebagaimana juga tidak berlaku bagi laki-laki.

Syarat tidak menimbulkan fitnah juga sama, berlaku secara mubadalah. Karena fitnah, dengan makna apapun, misalnya menggoda atau kemungkinan terjadinya keburukan, bisa diakibatkan oleh laki-laki maupun perempuan. Korbannya pun bisa laki-laki dan bisa perempuan. Jadi, laki-laki maupun perempuan yang keluar rumah untuk bekerja, atau alasan apapun, semuanya harus menjaga diri agar tidak melakukan sesuatu yang terkait dengan makna fitnah, atau menjadi korban dari fitnah tersebut.

Hal yang sama juga dengan syarat mahram, jika diartikan perlindungan dan keamanan, maka bisa diwujudkan secara nyata melalui fasilitas publik yang nyaman dan aman, serta perlindungan hukum yang nyat. Baik terhadap perempuan maupuan laki-laki. Namun, jika diartikan pelarangan dan pengekangan, maka harus batal demi kaidah dan prinsip bekerja dalam Islam tersebut di atas.

Apalagi syarat agar pekerjaan yang digeluti adalah yang tidak dilarang dalam Islam, tentu saja, ini berlaku umum dan mubadalah. Semua umat Islam harus tunduk pada syarat ini, tidak peduli laki-laki maupun perempuan. Karena laki-laki muslim dan perempuan Muslimah harus tunduk pada aturan dasar yang telah ditetapkan Allah Swt dalam al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw dalam Hadits, termasuk kaidah-kaidah dasar dalam  bekerja, sebagaimana dijelaskan di awal tulisan. Wallah a’lam.

Kolom Kang Faqih: Kodrat Perempuan dalam Islam

Oleh: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam berbagai obrolan, perempuan sering dianggap memiliki kodrat yang berbeda dari kodrat laki-laki. Misalnya, banyak orang menyatakan bahwa pada perempuan melekat kodrat untuk dikejar laki-laki, dicari, diperhatikan dan dicintai. Sementara pada laki-laki, melekat kodrat untuk mengejar, mencari, memperhatikan dan mencintai. Sehingga ketika ada laki-laki yang mengejar-ngejar perempuan, dianggap wajar, sementara kalau perempuan mengejar laki-laki, dianggap tidak wajar karena menyalahi kodratnya sebagai perempuan.

Kita juga sering mendengar ungkapan bahwa di antara kodrat perempuan adalah hamil, melahirkan, menyusui,dan memelihara anak. Jika ada perempuan yang enggan untuk hamil atau menyusui, ia akan dianggap orang yang mengingkari kodrat penciptaanya. Begitupun, tinggal di rumah dan mengurus keluarga adalah kodrat perempuan. Sehingga, ketika ia memilih bekerja di luar rumah atau berkarir di ruang publik, seringa dianggap sebagai perempuan yang menyalahi kodratnya sebagai perempuan.

Benarakah demikian?

 

Makna Kodrat secara Bahasa

Kata ‘kodrat’ berasal dari bahasa Arab, yaitu al-qudrah, yang berarti kekuasaan dan kemampuan. Ketika ‘dicintai dan dikejar’ merupakan ‘kekuasaan perempuan’, kita tidak tepat menyatakan bahwa perempuan yang mengejar dan tidak dikejar adalah perempuan yang menyalahi kekuasaannya. Perempuan yang bekerja di dalam rumah, atau berkarir di luar rumah, adalah sama-sama orang yang menjalankan kodrat kemampuanya untuk memperoleh kebaikan-kebaikan hidup. Di dalam atau di luar rumah, adalah sama-sama bagian dari kodrat, dengan makna kemampuan dan kapasitas perempuan diperlukan untuk melakukan aktivitas di dua ranah tersebut.

Seperti yang ditulis dalam Kamus Arab yang cukup populer, ‘al-Mu’jam al-Wasith’, kata al-qudrat  berarti ath-thâqah (kekuatan), al-quwwatu ‘ala asy-sya’i wa at-tamakkun minhu (kekuatan untuk mengendalikan sesuatu) dan al-ghina wa ats-tsara (harta kekayaan). Dengan menggunakan tiga makna al-qudrah ini, ungkapan ‘kodrat perempuan’ hanya bagi peran-peran seperti hamil, melahirkan, dicintai, menjadi ibu, bekerja di dalam rumah dan peran-peran lain, bisa dikatakan tidak tepat. Tetapi kata ‘kodrat’ di sini mungkin mengambil makna dari kata yang lain dalam bahasa Arab, yaitu al-qadru yang berarti ukuran, batasan dan kehormatan. Atau dari kata al-qadaru, yang berarti kondisi yang telah ditetapkan sejak awal oleh Allah Swt terhadap seseorang. Dalam ungkapan lain juga disebut takdir, atau taqdir. Kodrat perempuan dalam hal ini, sering juga disebut takdir perempuan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kodrat diartikan dengan sifat yang asli atau sifat bawaan. Makna ini dekat dengan makna dari dua kata bahasa Arab yang terakhir, al-qadru dan al-qadaru. Kodrat perempuan juga kemudian dimaknai sebagai sesuatu yang melekat secara penciptaan dalam diri perempuan. Atau lebih dikenal juga dengan istilah fitrah perempuan. Jika kodrat artinya demikian, sebenarnya yang melekat secara penciptaan dalam diri perempuan, yang membedakannya dari laki-laki, hanya beberapa hal. Yaitu kelamin perempuan atau vagina, rahim dan kelenjar payudara. Selain itu adalah soal peran-peran sosial yang secara kasat mata selalu bertukar antara laki-laki dan perempuan.

 

Makna Kodrat secara Sosial

‘Kodrat perempuan’ dalam kamus sosial masyarakat Indonesia, lebih merupakan istilah bagi norma-norma yang semestinya melekat pada diri perempuan. Bukan murni dari penciptaan biologis yang selalu melekat pada diri perempuan selamanya. Karena merupakan norma, maka persepsi tentang kodrat perempuan juga berbeda-beda dari satu suku ke suku yang lain, bahkan antara satu keluarga dengan keluarga yang lain, dan juga pasti berbeda dari satu masa ke masa yang lain. Misalnya, persepsi masyarakat tentang perempuan atau istri yang bekerja, berbeda antara masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan, antara suku Jawa dengan suku Minangkabau, antara lima puluh tahun yang lalu dengan masa kita sekarang ini. Padahal semuanya, biasanya diungkapkan dengan pernyataan ‘kodrat perempuan’.

Istilah ‘kodrat perempuan’ kemudian lebih banyak digunakan untuk mengecilkan peran sosial perempuan dalam masyarakat, membatasi, mengekang, bahkan melecehkan mereka. Misalnya, ungkapan bahwa kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga, sering digunakan sebagian orang untuk mengekang perempuan agar tinggal di dalam rumah saja dan tidak banyak keluar sekalipun untuk belajar atau bekerja. Ketika bekerjapun, pekerjaan perempuan dianggap sambilan untuk membantu suami, karena itu ia digaji ‘sambilan’ dan tidak utuh. Persepsi kodrat seperti ini, yang menyebabkan perempuan pembantu rumah tangga misalnya, digaji sangat kecil sekalipun jenis pekerjaanya cukup melelahkan dan melebihi batas kewajaran. Jika dibandingkan, pasti upah pembantu rumah tangga lebih kecil dari gaji supir yang hanya melakukan pekerjaan antar-jemput majikan.

Masih banyak lagi persepsi kodrat yang berkembang di masyarakat, yang pada praktiknya sering merugikan perempuan. Mereka seringkali diharuskan untuk hidup sesuai kodrat yang diasumsikan, padahal peran mereka sudah tidak lagi bisa disesuaikan dengan kodrat tersebut. Ketika dipaksakan, yang terjadi adalah keburukan, pelecehan, dan kezaliman. Seperti kodrat keibuan, lemah lembut, dipilihkan, dan dikawinkan, dilindungi, pendamping suami, pasivitas dalam hal kebutuhan seks, dinafkahi dan tidak menafkahi, emosional dalam membuat keputusan, hidup di dalam rumah dan menjadi figur penggoda bagi masyarakat.

Dengan semua persepsi, yang dianggap kodrat ini, perempuan lalu sering disalahkan ketika harus bekerja, atau memilih bekerja di luar rumah. Ketika perempuan berada di ruang publik, untuk bekerja atau yang lain, karena dianggap melanggar kodrat, lalu dianggap wajar menjadi korban kekerasan. Perempuan menjadi tidak dilindungi ketika melakukan hal-hal yang menjadi haknya di ruang publik, untuk belajar, bekerja, travelling, membantu orang, atau yang lain.

 

Kodrat Perempuan dalam Islam

Perempuan dalam Islam, sebagaimana laki-laki adalah khalifah fil ardh, yang memperoleh mandat untuk memakmurkan kehidupan di bumi, dengan melakukan segala kebaikan. Mandat pemakmuran ini dilakukan dengan merujuk pada visi rahmatan lil ‘alamin, agar menjadi anugerah bagi yang lain, dan pada misi akhlaq karimah. Sebagai pemegang mandat ini, perempuan berhak atas segala penguatan dan pemerdayaan agar mampu mengimplementasikan mandatnya. Pada saat yang sama, juga berhak menerima segala kebaikan hidup di dunia, kerahmatan, dan akhlaq karimah dari yang lain.

Dengan demikian, segala persepsi, norma, atau pandangan-pandangan yang justru akan melemahkan peran perempuan sebagai khalifah fil ardh harus diluruskan. Termasuk persepsi kodrat di atas, yang tidak hanya melemahkan perempuan, bahkan menempatkannya pada posisi rentan menjadi korban kekerasan, baik fisik, mental, maupun seksual. Upaya-upaya untuk meluruskan persepsi ini, dan mengembalikan peran perempuan sebagai khalifah fil ardh menjadi wajib dilakukan. Karena persepsi-persepsi buruk mengenai kodrat perempuan inilah, wasiat Nabi Saw pada saat Haji Wada’ menjadi relevan sampai sekarang.

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الأَحْوَصِ حَدَّثَنِى أَبِى أَنَّهُ شَهِدَ حِجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ ثُمَّ قَالَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ (سنن ابن ماجه، رقم: 1924).

Dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwas, berkata: ayahku bercerita kepadaku, bahwa ia mengikuti Haji Wada’ (Perpisahan) bersama Rasulullah Saw, (dan di antara yang disampaikan pada saat itu), setelah memuji Allah, memberi peringatan dan nasihat, Rasul Saw berkata: “Saling berpesan di antara kalian semua untuk selalu berbuat baik kepada perempuan, karena mereka (sering diperlakukan buruk laksana) tawanan saja. Padahal, kalian tidak berhak atas mereka, kecuali untuk kebaikan mereka”. (Sunan Ibn Majah, no. 1924).

 

Pernyataan Nabi Saw ini merupakan peneguhan terhadap dua hal; pertama bahwa realitas sosial dalam banyak hal sering tidak bersahabat terhadap perempuan, seperti persepsi kodrat tersebut di atas. Dan hal ini bertentangan dengan misi Islam yang rahmah dan akhlaq karimah. Kedua bahwa pada kondisi yang seperti itu, pemihakan terhadap perempuan menjadi sebuah keniscayaan sebagai wujud dari perlakuan baik terhadap perempuan. Bahkan merupakan jihad yang paling baik. “Sebaik-baik jihad adalah menyatakan kebenaran di hadapan kekuasaan yang zalim” (Sunan Turmudzi, no. 2329). Persepsi masyarakat mengenai kodrat perempuan, seperti digambarkan di atas, merupakan kezaliman yang harus diluruskan. Pelurusan ini yang mudah-mudahan termasuk dalam katagori jihad yang paling baik di mata Allah Swt. Wallahu a’lam.

 

Kolom Kang Faqih: Mendukung Muslimah Bekerja dengan Berbagi Peran Rumah Tangga

Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

Tak dipungkiri, masih banyak kalangan yang memandang peran muslimah yang ideal adalah di dalam rumah, melayani suami, anak-anak, dan mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga. Ketika kondisi tertentu memaksanya harus bekerja di luar rumah, atau dengan kesadaranya memilih berkarir di publik, ia masih saja diberi beban pekerjaan rumah tangga sebagai tanggung-jawab utamanya. Sehingga, muslimah yang bekerja memikul beban ganda yang berat. Ia harus sepenuhnya mengurus rumah tangga sekaligus harus menjadi sukses bekerja di luar rumah.

Demikian ini salah satu bentuk kezaliman yang tidak direstui Islam. Dalam ajaran Islam yang paling dasar, relasi dalam berumah tangga adalah  kesalingan (mubadalah), kerja sama (musyarakah), dan tolong-menolong (ta’awun). Dengan prinsip ini, muslimah yang bekerja di luar rumah harus didukung dengan pembagian peran yang fleksibel yang mencerminkan kesalingan dan kerja sama di dalam rumah tangga. Karena, dalam Islam, baik kerja rumah tangga maupun kerja sosial-ekonomi di luar rumah adalah bagian dari kesalihan dalam Islam, yang menjadi arena bersama bagi laki-laki dan perempuan.

Mendukung Muslimah Bekerja

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, tercatat 48,75 juta perempuan yang bekerja di berbagai sektor, formal dan informal. Jumlah ini menempati proprosi 38,53% dari total jumlah angkatan kerja seluruh Indonesia di tahun tersebut. Jika tradisi yang menganggap pekerjaan domestik sebagai tanggung-jawab perempuan semata, berarti ada 48 juta lebih perempuan yang rentan pada praktik kezaliman beban ganda, bekerja penuh waktu di publik dan juga penuh waktu di rumah tangga.

Jika ditambah dengan data kepala keluarga perempuan akan bertambah besar lagi kerentanan mereka. Data BPS tahun 2018 menunjukkan bahwa 15,7 persen dari jumlah total rumah tangga di Indonesia adalah dikepalai perempuan. Kepala keluarga artinya orang yang mencari nafkah dan bertanggung jawab memastikan semua kebutuhan keluarga terpenuhi. Bayangkan, jika tradisi kodrat kerja rumah tangga sebagai tanggung-jawab utama perempuan itu masih diterapkan, berapa puluh juta perempuan Indonesia yang mengalami beban kerja di luar dan sekaligus beban kerja di dalam rumah tangga yang sangat berat. Kondisi ini tidak hanya mengancam kesehatan fisik perempuan, tetapi juga psikis dan sosial.

Sebagaimana dijelaskan pada tulisan pertama, ayat-ayat Al-Qur’an maupun teks-teks Hadis dengan jelas mengapresiasi orang-orang yang bekerja, baik laki-laki maupun perempuan. Ketika dalam melakukan pekerjaan ini mengalami kerentanan pada kezaliman, Islam meminta kita untuk berikhtiar menyingkirkan segala faktor kezaliman ini. Beban ganda adalah kemudaratan yang dialami muslimah yang bekerja, dan setiap kemudaratan harus dihapuskan dari setiap orang, termasuk perempuan (dar’ul mafasid).

Hal ini sesuai dengan prinsip penghapusan segala bentuk keburukan dan kerusakan dalam hukum Islam (adh-dhararu yuzal). Prinsip ini sesuai dengan teks Hadis Nabi Muhammad Saw berikut ini:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رضي الله عنه، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ (سنن ابن ماجه، رقم: 2430).

Dari Ubadah bin Shamit ra, bahwa Rasulullah Saw telah memutuskan (sebuah prinsip) agar tidak boleh ada keburukan yang menimpa diri seseorang, tidak juga boleh ada keburukan yang menimpa orang lain. (Sunan Ibn Majah, no. Hadis: 2430).

Beban ganda juga merupakah kemungkaran yang harus dihapuskan, baik usaha-usaha yang ringan, melalui kebijakan, maupun dukungan-dukungan berbagai individu dan komunitas.

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ (صحيح مسلم، رقم: 186).

Dari Abu Said al-Khudriy ra, berkata: saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah (agar menjadi kebaikan) hal tersebut dengan tanganya, jika tidak sanggup, maka bisa dengan lisannya, jika juga tidak sanggup maka bisa juga dengan (dukungan) hatinya, dan hal itu adalah (praktik) iman yang paling lemah. (Sahih Muslim, no. Hadis: 186).

Salah satu dukungan untuk para muslimah bisa berkiprah di ruang publik, baik untuk bekerja mapun aktivitas sosial yang lain, adalah dengan mengajak laki-laki berpartisipasi dalam kerja-kerja rumah tangga. Hal ini diungkapkan Syekh Abu Syuqqah, seorang ulama dari Mesir, dalam magnum opusnya yang 6 jilid Tahrir al-Mar’ah fi Asr ar-Risalah. Menurutnya, keterlibatan laki-laki dalam kerja-kerja rumah tangga adalah niscaya agar perempuan memiliki kesempatan yang cukup untuk bisa aktif dalam kerja-kerja kesalihan di ruang publik. Baik untuk kepentingan dirinya, keluarga, umat dan bangsa (Abu Shuqqa, 2002: jilid 2: 364-366; dan jilid 5: 132-133).

Teladan Nabi Muhammad Saw

Visi besar Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, atau anugerah bagi semesta dan bagi manusia, laki-laki maupun perempuan. Jika beban ganda adalah musibah bagi perempuan, maka berbagi peran bersama dalam kerja rumah tangga adalah anugerah, baik bagi perempuan, maupun laki-laki. Kerja-kerja rumah tangga juga merupakan bagian dari kesalihan (‘amal shalih) dalam Islam, yang dituntut untuk dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Ia juga merupakan pelayanan (khidmah) kepada orang lain yang masuk kategori akhlaq karimah, dimana semua orang, diminta Nabi Saw untuk menyempurnakan akhlaknya masing-masing.

Lebih dari itu, Nabi Muhammad Saw sendiri telah meneladankan hal ini semua. Ketika Sayyidah Aisyah ra ditanya oleh para sahabat apa yang dilakukan Nabi Saw di dalam rumah, dijawab bahwa Nabi Saw melayani segala kebutuhan keluarganya, menjahit baju, memeras susu, menambal sandal, dan yang lain.

عَنِ الأَسْوَدِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَصْنَعُ فِى بَيْتِهِ قَالَتْ كَانَ يَكُونُ فِى مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِى خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ (صحيح البخاري، رقم: 680).

Dari al-Aswad berkata: saya pernah bertanya kepada Aisyah ra tentang apa yang dilakukan Nabi Saw saat berada di dalam rumah. Aisyah berkata: “Dia melakukan kerja-kerja untuk keluarganya, artinya: melayani keluarnya, ketika datang waktu shalat, Nabi Saw akan keluar pergi shalat”. (Sahih Bukhari, no. 680).

Dalam Musnad Ahmad, ada tambahan penjelasan bahwa Nabi Saw di dalam rumah itu melayani keluarga, menjahit baju dan mengesol sandal atau sepatu. (Musnad Ahmad, no. Hadis: 25978 dan 25388).

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa dalam Islam, baik kerja rumah tangga maupun kerja sosial-ekonomi di luar rumah adalah bagian dari kesalihan yang menuntut laki-laki dan sekaligus perempuan secara bersama. Sehingga, bisa ditegaskan juga di sini, bahwa Islam sesungguhnya mendukung perempuan muslimah untuk bekerja dan berkarir di ruang publik. Untuk dukungan ini, keterlibatan laki-laki di ruang domestik juga menjadi niscaya dan bagian dari ajaran Islam. Wallahu a’lam.

Kolom Kang Faqih: Benarkah Muslimah Bekerja Perlu Izin Suaminya?

Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir

 

Jawabanya bisa benar dan bisa tidak, karena hukum selalu melihat konteks, kondisi, dan alasan (al-hukm yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman). Kita mengawali penjelasan pertama, yaitu ketika izin suami menjadi ajang transparansi, diskusi, dan antisipasi, maka ia menjadi baik dan perlu. Seorang perempuan muslimah yang mau bekerja, tentu, memerlukan ruang berbagi informasi, dukungan keluarga terutama suami, penguatan, dan bisa jadi antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Izin suami menjadi ajang bagi perempuan untuk hal-hal baik ini, yang akan menopang dan mendukungnya untuk memperoleh yang terbaik dari keputusannya untuk bekerja.

Bisa jadi, melalui ajang izin ini, suami lebih memahami jenis pekerjaan yang akan digeluti istrinya, mengenal lingkungan pekerjaan tersebut, atau orang-orang untuk jenis pekerjaan yang serupa, atau jaringan dan hal-hal lain yang bisa mendukungnya. Minimal, dengan mengetahui istrinya bekerja di suatu tempat, suami dapat mengantisipasi hal-hal tertentu ke depan. Bisa jadi ditanya anak-anak, orang tua, keluarga, atau kolega tentang keberadaan istrinya. Bisa jadi, ada kejadian pada istrinya yang memerlukan bantuanya. Atau antisipasi apapun, yang memang, dalam kehidupan sering terjadi.

Jika izin bekerja ini benar-benar menjadi ruang seperti demikian, maka hukumnya akan mengikuti hukum bekerja itu sendiri. Jika bekerja itu hukumnya wajib bagi seorang perempuan, misalnya karena dibutuhkan masyarakat dan dia satu-satunya orang yang mampu mengerjakan hal tersebut, atau penghasilanya diperlukan untuk kebutuhan primer keluarga, maka izin suami menjadi wajib. Jika hukum bekerjanya turun menjadi sunnah, maka izinnya juga menjadi sunnah. Hal ini didasarkan pada kaidah, bahwa sesuatu yang baik, wajib maupun sunnah, jika tidak sempurna tanpa sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain ini juga menjadi baik dan perlu (ma la yatimm al-hasanu illa bihi fahuwa hasanun).

Izin suami sebagai ajang informasi, diskusi, dan antisipasi mempersyaratkan relasi pasutri (pasangan suami istri) yang mubadalah (kesalingan). Relasi ini, seperti digariskan Al-Qur’an, memiliki lima pondasi. Yaitu, pertama, relasi pasutri dipandang sebagai kemitraan dan berpasangan (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunn, QS. 2: 187); kedua, relasi pasturi dipandang sebagai ikatan kokoh yang harus dijaga bersama (mitsaqan ghalizan, QS. An-Nisa, 4: 21); ketiga, relasi harus bertumpu pada perilaku saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf, QS. An-Nisa, 4: 19); keempat, satu sama lain saling bermusyawarah (tasyawurin, QS al-Baqarah, 2: 233), dan kelima, satu sama lain saling mencari kerelaan (taradhin, QS al-Baqarah, 2: 233).

Dengan lima pondasi relasi mubadalah yang Qur’ani ini, tidak hanya izin suami, melainkan izin istri bagi suami yang akan bekerja juga menjadi baik dan perlu. Fungsinya sama, sebagai ajang informasi, diskusi, dan antisipasi. Saat ini, besar kemungkinan, sang istri memiliki pengetahuan yang cukup yang bisa dibagikan kepada suaminya terkait yang akan dikerjakannya. Minimal, sang istri memiliki informasi, sehingga bisa ikut mengantisipasi hal-hal yang bisa saja terjadi pada suaminya atau pekerjaanya. Lebih mulia lagi, jika izin istri dijadikan suami sebagai ajang implementasi dari lima pondasi relasi yang Qur’ani di atas. Sebagai perwujudan relasi berpasangan (zawaj), mengokohkan ikatan pernikahan (mitsaqan ghalizan), memperlakukan istri secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), bermusyawarah (tasyawurin), dan mencari kerelaan istri (taradhin).

Hukum izin suami akan berbeda pada kondisi relasi yang timpang, dimana perilaku suami semena-mena dan menggunakannya sebagai ajang hegemoni terhadap istrinya. Istri dilarang bekerja tanpa sebab, dilarang mengaktualisasikan dirinya demi impuls suami yang tidak jelas, dan ditempatkannya sebagai subordinat yang harus selalu minta izin suami dalam segala urusan. Relasi yang demikian bertentangan dengan lima pondasi relasi Qur’ani di atas, sehingga izin suami yang turun dari relasi timpang ini, juga menjadi tidak Qur’ani. Pada kondisi yang demikian, yang diperlukan bukanlah membiasakan izin suami oleh seorang istri, tetapi mengedukasi suami agar terlebih dahulu memiliki relasi yang Qur’ani dengan lima pondasi mubadalah tersebut di atas.

Tanpa prasyarat relasi mubadalah ini, izin suami justru bisa membuat seorang laki-laki bertambah jumawa, sombong, dan semena-mena. Hak-hak dasar yang dimiliki seorang perempuan, untuk hidup nyaman, belajar, bekerja, berpartisipasi secara sosial, bisa dilarang suaminya secara semena-mena melalui tiket ideologi izin yang dimilikinya. Untuk laki-laki seperti ini, seperti pesan Nabi Muhammad Saw, justru ditolong dengan mengendalikannya dan tidak menggunakan praktik izin untuk menzalimi istrinya.

 

عَنْ أَنَسٍ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ (صحيح البخاري، رقم: 2484).

 

Dari Anas r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kami pasti menolong yang dizalimi, bagaimana menolong yang zalim itu? Rasul Saw menjawab: “Menolong yang zalim itu dengan mengendalikannya (agar tidak berbuat zalim lagi)”. (Sahih Bukhari, no. 2484).

Ketika izin suami digunakan untuk menzalimi hak-hak istri sebagai manusia muslimah yang utuh, maka kita diminta Nabi Saw menolong yang dizalimi dan yang menzalimi. Yaitu dengan melarang praktik izin yang zalim dari suami dan mendukung para perempuan yang dizalimi oleh praktik tersebut. Di antaranya adalah dengan mengedukasi laki-laki (suami) dan perempuan (istri) tentang relasi yang mubadalah dan mendorong mereka mempraktikkan lima pondasi Qur’ani tersebut di atas. Hanya dalam relasi yang demikian, praktik izin suami bisa membawa kebaikan dan keberkahan.

Apakah ada teks hadis yang menuntut seorang muslimah yang mau bekerja meminta izin dari suaminya? Tidak ada. Lalu, darimana pandangan yang cukup populer ini berkembang? Dari ajaran dasar bahwa seorang istri harus selalu patuh kepada suami. Padahal kepatuhan dalam Islam, sebagaimana juga ditegaskan Nabi Saw, harus dalam hal-hal yang akan membawa kebaikan, bukan dalam hal-hal yang justru membawa kemaksiatan, atau keburukan dan kemafsadatan (Musnad Ahmad, no. 1110).

Sebaliknya, untuk hal-hal yang secara mendasar adalah baik, Nabi Saw justru melarang laki-laki menggunakan praktik izin ini bagi menghalangi para perempuan dari hak-hak dasar yang mereka miliki sebagai muslimah. Kita bisa merujuk pada pernyataan Nabi Saw di bawah ini:

عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَمْنَعْهَا (صحيح البخاري، رقم: 881).

 

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, Abdullah bin Umar ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Jika istri seseorang di antara kalian sudah meminta izin, maka (izinkan dan) janganlah halang-halangi dia”. (Sahih Bukhari, no. 881).

Teks hadis ini secara gamblang meminta laki-laki untuk tidak menghalangi-halangi istrinya, jika sudah meminta izin. Teks hadis ini bersifat umum untuk hal-hal yang secara mendasar adalah baik, seperti beribadah, belajar, bekerja, beramal sosial, dan yang lain. Beberapa riwayat lain memberi contoh tentang izin untuk pergi ke masjid, terutama salat pada malam hari, dimana para suami biasanya merasa khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik, sehingga merasa berhak untuk tidak mengizinkan. Namun, Nabi Saw dengan tegas mengatakan: izinkan dan jangan halangi para perempuan dari masjid-masjid Allah (Sahih Muslim, no. 1019).

Dengan demikian, merujuk pada hadis tersebut dan prinsip-prinsip relasi mubadalah di atas, praktik izin adalah baik di antara pasutri jika diimplementasikan dalam kerangka berbagi informasi di antara mereka, berdiskusi, bermusyawarah, berbagi pengetahuan dan dukungan, sertai antisipasi hal-hal yang justru bisa mendatangkan keburukan bagi kehidupan mereka berdua. Jika tidak dalam kerangka yang demikian, maka praktik izin pasutri perlu ditinjau ulang. Wallahu a’lam.

Kolom Kang Faqih: Memahami Frasa “Al-Ummu Madrasatul Ula”

Oleh: Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

 

Saat ini sering sekali kita dengar sebuah istilah yang seolah mengalahkan ujaran Nabi atau Hadits “Al Ummu Madrasatul Ula”. Frasa itu seperti mengunci peran perempuan sebagai “madrasah” namun dalam makna yang sangat sempit yang seolah-olah cukup menjadi madrasah pemula yang tak membutuhkan aktivitas lain dalam mencari ilmu.

Padahal begitu banyak sabda Nabi yang mewajibkan perempuan, sebagaimana lelaki untuk memcari ilmu. Salah satu hafalan wajib di Pesantren bagi para pemula adalah teks hadits Nabi Muhammad Saw bahwa belajar adalah kewajiban seorang muslim dan muslimah. Satu lagi, yaitu teks populer lain, bahwa belajar adalah jalan bagi setiap orang menuju surga yang diridhoi Allah Swt.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “‌طَلَبُ ‌الْعِلْمِ ‌فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (سنن ابن ماجه).

Dari Anas bin Malik ra, berkata: Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Belajar mencari ilmu itu kewajiban setiap muslim (laki-laki maupun perempuan)”. (Sunan Ibn Majah).

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ ‏”  (سنن الترمذي).

Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang merambah suatu jalan, untuk mencari ilmu pengetahuan, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (Sunan Turmudzi).

Dua teks hadits ini merupakan dasar argumen paling kokoh yang menegaskan bahwa perempuan dalam Islam, sebagaimana laki-laki, memiliki kewajiban, sekaligus menjadi haknya untuk belajar mencari ilmu. Sebagai sama-sama pengikut teladan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana laki-laki, tidak ada satupun ulama yang mengecualikan perempuan dari hak dasar ini.

Apalagi jika dikaitkan dengan prinsip bahwa perempuan dan laki-laki, sama-sama  sebagai hamba Allah Swt yang beriman, adalah disapa dan diminta untuk mengamalkan semua ajaran al-Qur’an. Sementara di antara ajaran al-Qur’an yang paling dasar adalah membaca dan belajar (QS. Al-‘Alaq, 96: 1-5), berupaya keras agar selalu beriman dan berpengetahuan (QS. Al-Mujadilah, 58: 11), menggunakan ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (QS. Fathir, 35: 28).

Ditambah lagi, sebagai manusia pemegang mandat khalifah fi al-ardh dari Allah Swt, dengan tugas menghadirkan segala kebaikan dan kemakmuran di muka bumi ini, perempuan dan laki-laki tentu saja memerlukan berbagai pengetahuan dan keahlian. Seseorang tidak akan bisa sukses mengemban suatu amanat, apalagi untuk memakmurkan kehidupan, mulai dari kelularga, sosial, dunia, dan semesta, kecuali dengan ilmu pengetahuan dan keahlian.

Dalam kaidah hukum Islam yang sangat populer di kalangan pesantren disebutkan  maa laa yatimm al-wajibu illaa bihii fahuwa wajibun. Suatu kewajiban yang tidak terlaksana tanpa suatu hal yang lain, maka hal yang lain ini juga menjadi wajib hukumnya. Tugas memakmurkan bumi, mendatangkan kebaikan hidup, mendidik dan mensejahterakan keluarga, mengendalikan dan mengelola diri, dan yang lain, tidak akan bisa terlaksana dengan baik tanpa belajar ilmu dan keahlain terlebih dahulu, maka belajar juga menjadi wajib. Ini persis dengan teks popoluer lain, di kalangan pesantrren, yang digubah oleh Imam Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i, wafat tahun 204 H) rahimahullah, bahwa:

Barangsiapa yang menghendaki (kebaikan) dunia, maka ia harus memiliki ilmu pengetahuan (terlebih dahulu). Barangsiapa yang menghendaki (kebahagiaan) akhirat juga harus dengan ilmu pengetahuan. Begitupun, bagi siapapun yang ingin (kebaikan dan kebahagiaan) dunia dan akhirat, ia harus memiliki ilmu pengetahuan. (Imam Syafi’i).

Dengan teks-teks yang terang benderang di atas seharusnya narasi-narasi yang menghambat hak dasar perempuan dalam pendidikan tidak perlu dihiraukan. Namun, banyak umat yang terkecoh dengan narasi bahwa perempuan adalah madrasah pemula bagi anak-anaknya, sehingga pendidikan bagi perempuan hanya sebatas untuk menjadi madarasah pemulatersebut. Padahal pernyataan ini bukan hadits melainkan sebuah frasa atau kata-kata mutiara, sehingga nilainya tidak bisa menegasikan asas kekhalifahan perempuan di muka bumi, dan haknya untuk belajar sebagaimana diungkapkan teks-teks hadits di atas.

Ungkapan perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anakny a, jikapun diterima, lebih tepat dipahami sebagai pentingnya anak-anak memliki lingkungan belajar yang kondusif sejak dari rumah. Madrasah di sini artinya adalah lingkungan, dan perempuan di sini hanya contoh saja. Tentu saja, menjadi ibu yang mendidik anak-anaknya adalah peran yang baik dan ibadah. Namun, ini bukan peran satu-satunya bagi perempuan sebagai khalifah fi al-ardh. Juga ini bukan peran perempuan semata.

Karena, lingkungan belajar yang kondusif bagi anak-anak merupakan tanggung-jawab bersama antara perempuan, sebagai ibu atau istri, dan laki-laki, sebagai ayah dan suami. Anak-anak memerlukan figur kedua orang tua sebagai pendidi, ayah dan ibu mereka. Bukan hanya ibu semata. Secara praktis, memang anak-anak juga akan belajar dari teladan kedua orang tuanya di rumah mereka. Tidak hanya dari ibu mereka belaka. Apalagi dalam Islam, tanggung-jawab pendidikan berada di pundak kedua orang tua, ayah dan ibu, dari anak-anak. Bukan hanya tanggung-jawab perempuan semata. Karena itu, ungkapan yang lebih tepat, daslam hal ini, adalah “Kedua orang tua adalah madrasah pertama bagi anak-anak mereka”, bukan hanya perempuan.

Dalam Islam, belajar adalah hak dasar perempuan sebagai manusia yang bermartabat, hamba Allah Swt, dan khalifah-Nya di muka bumi ini yang dituntut untuk berperan dalam segala kerja-kerja kemaslahatan. Baik di dalam rumah, dengan keluarga besar, masyarakat luas, publik dunia, maupun semesta. Semua kerja-kerja kemaslahatan ini, selama berlandaskan keimanan kepada Allah Swt, dan nyata memberikan kebaikan, adalah ibadah dan jihad fi sabilillah. Baik dilakukan laki-laki maupun perempuan.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – ٩٧

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl, 16: 97).

Tentu saja, untuk bisa melakukan kerja-kerja kebaikan secara efektif dan maksimal, yang bisa memberikan perubahan yang nyata, seseorang memerlukan ilmu pengetahuan yang relevan. Karena itu, mereka yang terus belajar akan didoakan para malaikat dan segenap makhluk Allah Swt.

Dari Abu Darda’ ra, berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang merambah suatu jalan, untuk mencari ilmu pengetahuan, maka Allah akan melempangkan baginya jalan ke surga. Para malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka di atasnya, sebagai bentuk dukungan padanya. Sesungguhnya, orang yang berilmu pengetahuan itu akan didoakan segala makhluk di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di lautan. Keutamaan orang berilmu pengetahuan, seperti keutamaan sinar cahaya bulan dibanding dengan (sinar) bintang-bintang yang lain. Para ulama itu adalah para pewaris Nabi, dan para Nabi itu tidak mewariskan harta, dirham maupun dinar, melainkan ilmu pengetahuan. Barangsiapa yang memperoleh ilmu pengetahuan, maka ia telah memperoleh bagian yang istimewa”. (Sunan Turmudzi).

Karena kita yakin bahwa perempuan adalah umat Nabi Muhammad Saw yang diajak untuk meneladani ajaran kenabian, agar jalannya lempang ke surga dan didoakan para malaikan dan seluruh makhluk jagat raya. Teladan kenabian, dalam konteks hadits di atas, adalah belajar mencari ilmu pengetahuan. Karena itu, pendidikan adalah hak dasar perempuan dalam Islam, untuk memenuhi hakikat diri sebagai manusia bermartabat, hamba Allah Swt, khalifah-Nya di muka bumi untuk kerja-kerja kemaslahatan, dan juga sebagai umat Nabi Muhammad Saw yang diminta mengerjakan segala kebaikan hidup yang sangat luas, di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Kolom Kang Faqih: Bekerja adalah Karakter Dasar Muslim dan Muslimah

Oleh:  Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam al-Qur’an, kata yang semakna dengan bekerja adalah‘amala (عمل) . Kata itu selalu disebut beriringan dengan amana (آمن) artinya beriman. Dengan merujuk kepada Al-Qur’an, kita jadi tahu bahwa bekerja bukan hanya penting dalam Islam, tetapi juga perwujudan langsung dari keimanan terhadap Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw.

Tidak tanggung-tanggung, iring-iringan dua kata ini disebut lebih dari 56 tempat dalam al-Qur’an. Beberapa di antaranya menjadi syarat bagi yang ingin bertaubat dari dosa (seperti QS. Al-Furqan, 25: 70). Dalam ayat lain dua kata itu secara tegas menjadi syarat masuk surga di akhirat kelak (seperti QS. An-Nisa, 4: 124).

Ayat-ayat itu menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang utuh (mukallaf). Mereka adalah hamba Allah Swt yang khalifah fi al-ardh, dan karena itu dituntut beramal shalih, serta berhak atas hasil dan dampak dari semua amal shalih tersebut.

Bahkan dalam empat ayat ini (QS. Ali Imran, 3: 195; an-Nisa, 4: 124; an-Nahl, 16: 97; dan Ghafir, 40: 40), secara tegas dan eksplisit disebutkan subyeknya perempuan. Ini untuk mengikis budaya diskriminatif yang meminggirkan perempuan dari ranah bekerja (‘amala). Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan betapa penting konsep ‘amala, atau bekerja, sebagai salah satu karakter dasar seorang muslim dan muslimah.

 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – ٩٧

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl, 16: 97).

 

Tentu saja, kata ‘amala bermakna luas. Dalam al-Qur’an, kata ini selalu digandengkan dengan atribut shalihan, kebaikan. Dalam bahasa Indonesia, kita sering mendengar kata “amal shalih”. Artinya segala tindakan, perbuatan, dan pekerjaan yang bersifat baik dan melahirkan hasil serta dampak kebaikan bagi kehidupan yang baik. Amal shalih ini bisa berupa ibadah vertikal dan ritual, yaitu relasi seseorang dengan Allah Swt. Atau ibadah horizontal dan sosial yaitu relasi dengan manusia dan alam. Bisa juga merujuk pada keduanya: ibadah vertikal sekaligus horizontal, ritual sekaligus sosial.

Bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, apalagi ditambah agar bisa membantu orang lain merupakan ibadah sosial. Perbuatan itu mungkin hanya bersifat horizontal tanpa ada kaitannya dengan hubungan vertikal kepada Allah Swt. Akan tetapi ketika bekerja diniatkan sebagai bentuk kepatuhan dan ketundukkan kepada-Nya, maka bekerja memiliki nilai ibadah ritual-vertikal, di samping ibadah sosial-horizontal. al-Qur’an (QS. Al-Jum’ah, 62: 9-10) sendiri memanggil orang-orang yang beriman, sesudah beribadah shalat, untuk segera bertebaran di muka mencari rizki dari karunia Allah Swt yang amat luas.

Di dalam ayat lain, seperti (QS. Al-Mulk, 67, 15; Taha, 20: 53-54; dan Al-A’raf: 10), al-Qur’an juga mengisahkan bahwa Allah Swt telah menghamparkan berbagai sumber daya dan jalan bagi manusia, dan meminta mereka untuk mencari rizki guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Ayat-ayat ini, tidak secara khusus hanya menyapa laki-laki.  Sebagaimana ayat-ayat keimanan dan amal shalih yang lain, ayat-ayat yang sama juga menyapa para perempuan muslimah untuk aktif beramal dan bekerja mencari rizki dari anugerah Allah Swt.

Fasilitas dan sumber daya yang dihamparkan Allah Swt. di muka bumi ini, sebagai jalan rizki dan anugerah-Nya, juga dipersiapkan melalui sistem sosial yang ada bagi para perempuan muslimah. Dengan meyakini kemanusian, kehambaan, dan ke-khalifah-an para perempuan, tidak ada alasan syar’i, terutama dari al-Qur’an, untuk meminggirkan mereka dari ruang-ruang bekerja, baik sebagai aktualisasi diri, untuk layanan sosial, termasuk untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Dan itu berlaku bagi perempuan dewasa apapun status perkawinannya: sebagai individu, istri, atau kepala keluarga.

Bekerja merupakan perwujudan dari keimanan, dan beramal shalih. Bekerja juga wujud implementasi rasa syukur atas segala kenikmatan yang kita terima dari kehidupan ini. Nabi Muhammad Saw dalam prilakunya sehari-hari memperlihatkan  bahwa bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri tidak hanya baik, tetapi termasuk teladan kenabiannya. Setiap pekerjaan, dalam bentuk apapun, yang membuatnya terhindar dari meminta kepada orang lain, adalah baik di mata Nabi Muhammad Saw.

 

عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (صحيح البخاري، رقم: 2111).

Dari Miqdam ra., bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, yang lebih baik dari hasil jerih pekerjaan tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri”. (Sahih Bukhkari, no. hadits: 2111).

 

عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، فَيُعْطِيْهِ أَوْ يَمْنَعُهُ. (صحيح البخاري، رقم: 2113).

Dari Abi ‘Ubaid, hamba sahayanya Abdurrahman bin ‘Auf, dia mendengar Abu Hurairah ra. bertutur bahwa Rasul saw. bersabda, bahwa  seseorang yang menggunakan seutas tali, mencari kayu bakar dan mengikatkan ke punggungnya, (lalu menjualnya ke pasar) adalah lebih baik baginya daripada harus meminta-minta kepada orang lain, yang kadang diberi dan terkadang ditolak”. (Sahih Bukhari, no. 2113).

 

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ ونَشَاطِهِ مَا أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنْ كَانَ خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ ‌يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعِفُّها فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وتَفَاخُرًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ)). (المعجم الأوسط للطبراني، رقم الحديث: 6835).

Dar Ka’b bin ‘Ujrah berkata: Suatu saat ada seseorang yang lewat di hadapan Nabi Muhammad Saw, lalu para Sahabat melihat kekuatan dan kecekatanya yang mengagumkan mereka. “Ya Rasulallah, andai saja (semua kekuatan dan kecekatan) ini digunakan untuk jalan Allah”, kata mereka. Lalu Nabi Saw menimpali mereka: “Jika dia keluar bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka dia sesungguhnya berada di jalan Allah, jika dia keluar untuk membantu kedua orang tuanya yang sudah renta, jika dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dirinya maka ia juga sedang berada di jalan Allah, tetapi jika dia keluar bekerja untuk sebuah mempertontonkan (kehebatan diri) dan kesombongan maka ia berada di jalan setan”. (al-Mu’jam al-Awsath Thabrani, no. hadits: 6835).[1]

 

Inti pembelajaran dari ketiga teks hadits di atas adalah bekerja, dalam bentuk apapun, selama halal, untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga adalah perbuatan baik. Ketiga teks hadits ini, sebagaimana ayat-ayat di atas, dan hadits-hadits lain mengenai ‘amal shalih,  menyapa manusia, laki-laki maupun perempuan. Tentu saja, praktik dari bekerja sebagai implementasi ‘amal shalih ini, tergantung pada konteks sosialnya, kapasitas dan kemampuan seseorang, serta pilihan-pilihan yang tersedia. Namun, menyisihkan seseorang, apalagi melarangnya hanya karena statusnya sebagai perempuan adalah sesuatu yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran dasar al-Qur’an, maupun teladan Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam.

 

[1] Ath-Thabrani, Sulayman bin Ahmad al-Lakhmi, al-Mu’jam al-Awsath, ed. Thariq bin ‘Awadh, (Cairo: Dar al-Haramain, tanpa tahun), juz 7, hal. 56.

 

Penulis merupakan dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan pendiri Mubadalah.id.

Muslimah Bekerja: Pekerjaan Memiliki Jenis Kelamin (?)

Oleh: Anifa Hambali

Kenapa sih perempuan selalu disuruh memilih antara bekerja atau di rumah saja? Kenapa perempuan diharuskan memilih jika perempuan bisa melakukan semuanya? Menjadi pekerja sekaligus Ibu rumah tangga, misalnya. Tidak ada yang dikorbankan atau bahkan berkorban. Namun memang ada tantangan tersendiri yang harus dihadapi. Karena segala sesuatu tentu ada konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan, bukan? Tentu soal pertanggungjawaban ini harusnya tidak memandang jenis kelamin, baik laki-laki dan perempuan harus memiliki tanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya.

Dalam Islam sendiri tidak pernah ada larangan bagi muslimah untuk bekerja atau berkarier. Dalam kisah yang sangat populer dan pasti semua muslimah tau adalah Sayyidah Khadijah, istri Rasulullah saw., pebisnis perempuan yang menjadi role model banyak muslimah untuk berkarier dalam dunia bisnis. Sangat relevan dengan isi dalam Al-Qur’an surat al Kahfi ayat 110 yang artinya “Siapa saja yang mengharap bertemu dengan Tuhan maka hendaklah dia bekerja dengan baik dan tidak menyekutukan pengabdiannya kepada Tuhan dengan yang lain”. Istri Rasulullah saw. telah memberikan teladan untuk muslimah bekerja dengan baik agar tidak mudah menyekutukan Allah.
Dari Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud ra., ia pernah mendatangi Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apa pun.” Ia juga bertanya tentang nafkah yang saya berikan kepada mereka (suami dan anak). Rasul menjawab, “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka.” (HR. Imam Baihaqi). Hadist tersebut sangat jelas menggambarkan bagaimana kondisi seorang muslimah dibolehkan bekerja, bahkan mendapatkan pahala kebaikan dari pekerjaanya.

Jadi, muslimah bekerja itu boleh. Karena bekerja untuk kebaikan dan kemaslahatan. Kalaupun ada sebuah kasus ibu bekerja yang akhirnya terlihat kurang bertanggung jawab atas rumah tangganya atau urusan domestik, harusnya tidak hanya perempuan yang bertanggung jawab dan dihakimi begitu saja. Sebab kita juga perlu mencari tau dan kritis apa alasan dibalik itu. Bisa saja suaminya sangat patriarki dan tidak mau berbagi peran domestik, akhirnya perempuan bekerja sudah capek kerja, ditambah beban urusan rumah (double burden). Bisa juga karena suatu kondisi perempuan tersebut menjadi ibu rumah tangga sekaligus kepala rumah tangga karena ditinggalkan suami pergi sebab meninggal atau lainnya. Tentu kita membayangkan saja tidak mudah bukan menjadi orang tua tunggal dengan berbagai tanggung jawab yang harus diambil alih. So, jangan mudah kita menghakimi perempuan bekerja.

Dalam sebuah pernikahan, jika muslimah bekerja, penting bagi keluarga untuk hadir mendukung, terutama pasangan. Dukungan tersebut bisa berupa semangat dan juga kesadaraan untuk berbagi atau bertukar peran. Di mana urusan rumah adalah urusan bersama, termasuk pengasuhan anak. Begitupun dengan sebuah pekerjaan, jika perempuan bisa mengembangkan potensi diri dengan bekerja tanpa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai orang tua, why not?

Muslimah harus merdeka bekerja, menentukan karier ataupun profesinya. Karena setiap diri muslimah memiliki potensi luar biasa yang perlu dikembangkan. Potensi ini harus diberi dukungan tanpa melihat jenis kelamin atau gendernya. Jika laki-laki diberi ruang untuk bekerja, perempuan pun harusnya sama diberi ruang bekerja. Pekerjaan tidak memiliki jenis kelamin. Salah satu contoh, masih banyak orang yang menganggap pekerjaan supir untuk laki-laki meski perempuan bisa melakukan itu. Terlihat sekali pekerjaan saja ada klasifikasi gender, yang mana menjadikan pekerjaan publik seringkali hanya diperuntukkan laki-laki, sedangkan perempuan dibatasi dalam urusan domestik saja.

Dukungan untuk muslimah bekerja tidak hanya dalam keluarga, tetapi juga dalam lingkungan pekerjaan agar tidak tumpang tindih dengan menomerduakan pekerja perempuan. Tidak ada diskriminasi perempuan dalam dunia kerja. Upah yang dibayarkan harus sesuai antara pekerja laki-laki dan perempuan, kekerasan verbal ataupun fisik pada perempuan bekerja harus dihentikan. Perempuan merdeka bekerja artinya merdeka dari diskriminasi berbasis gender, kekerasan verbal ataupun fisik, bahkan kekerasan seksual yang seringkali dialami oleh perempuan bekerja. Muslimah merdeka bekerja untuk rahmatan lil’aalamin.

Penulis merupakan peserta lomba #MuslimahMerdekaBekerja kategori blog.