Istri bukan Tulang Rusuk Suami tapi Belahan Jiwanya

Oleh: Ahsan Jamet Hamidi

Mubadalah.id – Wabah pandemi akibat Covid-19 telah merubah pola hidup warga di seluruh dunia. Para pekerja yang terbiasa memperoleh income secara rutin, harus bersiap dengan pola baru. Banyak warga yang beralih profesi. Dari pekerja beralih menjadi pedagang atau membangun usaha sendiri. Jika selama ini bisa memperkirakan jumlah pendapatan yang akan diperoleh, ke depan akan sangat berbeda. Mereka harus mampu mengelola keuangan dengan lebih cermat. Hal yang sama dilakukan oleh banyak pasangan suami istri, karena istri bukan tulang rusuk suami.

Sebagaimana Hasanah yang tengah menjalani perubahan itu. Meyakini bahwa istri bukan tulang rusuk suami, yang harus bergantung pada gaji suami. Kantor tempat suaminya bekerja harus berhenti operasi. Ia terkena pemutusan hubungan kerja. Namun, ia menerimanya dengan lapang dada. “Aku tidak boleh menyerah. Kini saatnya memulai hal baru dalam hidupku”. Bisik hati kecilnya.

Merintis Kebangkitan

Hasanah pernah bekerja sebagai pramusaji. Saat itu, dia bertugas menyediakan konsumsi dalam sebuah acara diskusi. Ketika sedang menata makanan dan minuman, ia mendengar sebuah ungkapan yang disampaikan oleh salah seorang pembicara dalam ruangan tersebut.

“Salah satu prinsip utama dalam bertauhid adalah, manusia tidak boleh menyandarkan hidupnya kepada manusia lain. Termasuk seorang istri kepada suami. Satu-satunya sandaran hidup adalah ALLAH.”

Kalimat itu laksana tertulis di atas batu. Ia begitu melekat dalam ingatan Hasanah. Belakangan, ia tahu, bahwa ucapan itu disampaikan oleh KH. Husein Muhammad, anggota komisioner Komnas Perempuan periode (2007-2009). Seorang alim dan pengasuh pondok di Cirebon. Tampilannya sangat bersahaja. “Ingin rasanya aku mencium tangan Kiai itu”. Niat diurungkan, karena tugas utamanya belum selesai.

Beberapa tahun kemudian, saat suaminya sedang tidak lagi bekerja kantoran, kalimat itu muncul. Ia bisa memberi energi begitu kuat di dalam dirinya. Tekadnya bulat. Saat hendak beranjak tidur, Hasanah membuka percakapan dengan suaminya:

“Bang, mulai Sabtu depan saya minta ijin mau jualan ketupat sayur dan kue lepet di teras depan ya. Sekarang giliran Abang yang bantu-bantu saya ya”. Permintaan Hasanah, penuh percaya diri. Hampir meneteskan air mata ia menjawab dengan suara datar.

“Abang pasti bantu-bantu Ibu nanti, jangan kuatir. Abang minta maaf ya Bu… Sudah beberapa bulan gak kerja. Abang tetep berusaha sih tapi ya gitu deh…”

“Abang tidak usah kerja kantoran lagi … Kita kerja di rumah sendiri aja bareng-bareng. Sekarang giliran saya yang memulai kerja. Abang bantuin saja ya…” sergah Hasanah.

Tawaran Hasanah tidak lagi terjawab, namun diam adalah pertanda setuju. Mereka perlahan memejamkan mata, desahan nafas mulai terdengar lembut, mereka tertidur dalam balutan mimpi indah.

Meski bukan laki-laki berpenghasilan tinggi, Bang Ali adalah suami yang selalu ingin membahagiakan istri, sesuai standarnya. Ia sadar, sedang tidak lagi bekerja kantoran. Namun Bang Ali bukanlah laki-laki pemalas. Sementara, Hasanah harus bekerja di luar rumah, dia menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah. Dari menyapu, ngepel, berbenah, mencuci pakaian, menyetrika, hingga masak.

Memulai Dengan Semangat Kerjasama

Pagi hari, Bang Ali bergegas mengumpulkan kayu, triplek bekas, membeli paku dan peralatan lain untuk membuat meja dan kursi kayu. Tiba-tiba, sang istri mengajak ke pasar. Tujuan pertama adalah toko grosir perkakas masak. Segala piring, mangkok, sendok, toples, panci besar, dandang, lengkap dibeli dengan harga grosiran. Semua peralatan masak sudah lengkap terbeli. Giliran Bang Ali menyelesaikan pembuatan meja, kursi panjang dari kayu-kayu bekas. Setelah selesai, semua tertata rapi di teras rumah.

Hari Jum’at pagi, Bang Ali bergegas membuat ketupat. Hasanah sangat cekatan mengupas bawang merah, bawang putih, kemiri, buah papaya muda, kacang panjang, kemiri, memeras kelapa, mencuci cabe, menggoreng kacang tanah. Bumbu tersimpan rapi di kulkas. Bang Ali memasak ketupat dalam dandang besar, dengan api kayu bakar di belakang rumah. Sebelum jam 10.00 malam ketupat dan lepet sudah matang, lalu digantung agar padat mengering.

Jam 3.30 pagi, Hasanah dan Bang Ali sudah bangun. Mereka bergegas salat tahajud hingga waktu shubuh. Usai salat, Hasanah bergegas memasak sayur ketupat dengan bahan-bahan yang sudah disiapkan sebelumnya. Jam 5.30 pagi, sayur ketupat Betawi sudah siap disajikan. Bau wangi dan semerbak bawang goreng memenuhi seluruh ruangan. Sementara Hasanah mandi pagi dan berdandan, Bang Ali menata semua dagangan di atas meja. Rapi sekali.

Sebagai mantan pramusaji, Hasanah sangat paham tata kelola penyajian makanan berstandar hotel untuk para pelanggan. Ia selalu menggunakan masker dan sarung tangan berplastik saat melayani pembeli. Bahkan sekedar mengambil kerupuk dari dalam kaleng.  Jam 6.00, para pembeli mulai berdatangan, ada yang makan di tempat, ada yang membawanya pulang. Sementara sang Istri melayani pembeli, Bang Ali begitu cekatan dan sigap mengangkat piring, sendok, gelas bekas, lalu mencuci bersih dan meletakkannya kembali di atas rak plastik warna biru.

Bang Ali juga terampil menyajikan teh tawar panas kepada setiap pengunjung yang makan di tempat. Sesekali ia harus menimpali obrolan Bapak-bapak yang menetap lama di warung. Mereka terlalu asyik menikmati teh tawar dan cemilan kerupuk goreng dalam toples sambil menghisap rokok dalam-dalam. Sebelum beranjak pergi, beberapa orang memesan ketupat sayur untuk dibawa pulang “Bungkusin tiga deh, buat sarapan anak-anak di rumah. Jangan pedes ya, kerupuknye dipisah aje.”

Merawat Kesalingan Meyakini Istri bukan Tulang Rusuk Suami

Aku dan istri mampir ke warung Hasanah.  Kami menyantap dua porsi ketupat sayur lengkap dengan tahu dan telor, seharga Rp. 12.000 per porsi. Ketupat sayur Betawi besutan Hasanah memang benar-benar terasa sedapnya. Perpaduan antara papaya muda, kacang panjang, tahu cokelat, telor, udang ebi dan santan. Rasanya nendang banget.

Bumbu dan rempah dalam masakan Betawi itu beraroma harum semerbak. Rasanya medok mantap. Bawang goreng dan sambel kacangnya bercampur jeruk limo, melengkapi kesempurnaan rasa. Pas sekali dilidah. Beberapa saat setelah makan, mulut tidak terasa kehausan. Itu pertanda tidak banyak campuran vetsin dan penyedap rasa dalam masakannya.

Sejak aku duduk lalu memesan ketupat, mataku selalu tertuju pada kekompakan kerjasama suami-istri itu. Mereka tidak banyak bicara, apalagi perintah. Tapi, keduanya mampu berpadu dalam kerjasama apik penuh harmoni. Pola kerja mereka seperti sudah tersistem. Tangkas dan rapi sekali. Aku memuji kelezatan masakan Hasanah dan caranya melayani para pembeli. Aku juga kagum dengan kecekatan Bang Ali dalam membereskan beberapa pekerjaan yang tidak bisa dilakukan Hasanah.

Aku sengaja menunda kepulangan. Kami ngobrol sejenak setelah pengunjung sepi dan dagangan habis. Dengan rendah hati, Bang Ali bercerita, bahwa dulu ia bekerja kantoran, istri kerja hanya Sabtu dan Minggu. Sekarang gantian. Istri yang lebih banyak bekerja, ia membantu. Intinya, “kami terus merawat kesalingan, yah ganti-gantian deh…”.

“Bang Ali dan Ibu Hasanah hebat ya! sudah bisa menemukan berkah Covid ya” pujiku.

Dengan polos Bang Ali menimpali; “Rejeki mah tidak bakal hilang Pak, hanya bergeser doang.”

Hasanah menyahut: “Saya kan tidak boleh menggantungkan hidup kepada suami Pak. Harus bisa saling membantu. Alhamdulillah sih, usaha begini, nyatanya bisa juga kok nyekolahin anak-anak. Yang pertama sudah sarjana. Kuliah di kampus yang murah-murah aja, yang penting sarjana.” Hasanah tertawa lepas penuh rasa syukur dan bangga sekali. Mereka mensyukuri berkah kesalingan.

“Kami adalah belahan jiwa suami. Bukan tulung rusuknya. Karena istri bukan tulang rusuk suami.” Bisik istriku. []

 

Sumber: https://mubadalah.id/istri-bukan-tulang-rusuk-suami-tapi-belahan-jiwanya/

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *