Kolom Kang Faqih: Bekerja adalah Karakter Dasar Muslim dan Muslimah

Oleh:  Dr. Faqihuddin Abdul Kodir

Dalam al-Qur’an, kata yang semakna dengan bekerja adalah‘amala (عمل) . Kata itu selalu disebut beriringan dengan amana (آمن) artinya beriman. Dengan merujuk kepada Al-Qur’an, kita jadi tahu bahwa bekerja bukan hanya penting dalam Islam, tetapi juga perwujudan langsung dari keimanan terhadap Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw.

Tidak tanggung-tanggung, iring-iringan dua kata ini disebut lebih dari 56 tempat dalam al-Qur’an. Beberapa di antaranya menjadi syarat bagi yang ingin bertaubat dari dosa (seperti QS. Al-Furqan, 25: 70). Dalam ayat lain dua kata itu secara tegas menjadi syarat masuk surga di akhirat kelak (seperti QS. An-Nisa, 4: 124).

Ayat-ayat itu menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang utuh (mukallaf). Mereka adalah hamba Allah Swt yang khalifah fi al-ardh, dan karena itu dituntut beramal shalih, serta berhak atas hasil dan dampak dari semua amal shalih tersebut.

Bahkan dalam empat ayat ini (QS. Ali Imran, 3: 195; an-Nisa, 4: 124; an-Nahl, 16: 97; dan Ghafir, 40: 40), secara tegas dan eksplisit disebutkan subyeknya perempuan. Ini untuk mengikis budaya diskriminatif yang meminggirkan perempuan dari ranah bekerja (‘amala). Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan betapa penting konsep ‘amala, atau bekerja, sebagai salah satu karakter dasar seorang muslim dan muslimah.

 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – ٩٧

“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl, 16: 97).

 

Tentu saja, kata ‘amala bermakna luas. Dalam al-Qur’an, kata ini selalu digandengkan dengan atribut shalihan, kebaikan. Dalam bahasa Indonesia, kita sering mendengar kata “amal shalih”. Artinya segala tindakan, perbuatan, dan pekerjaan yang bersifat baik dan melahirkan hasil serta dampak kebaikan bagi kehidupan yang baik. Amal shalih ini bisa berupa ibadah vertikal dan ritual, yaitu relasi seseorang dengan Allah Swt. Atau ibadah horizontal dan sosial yaitu relasi dengan manusia dan alam. Bisa juga merujuk pada keduanya: ibadah vertikal sekaligus horizontal, ritual sekaligus sosial.

Bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, apalagi ditambah agar bisa membantu orang lain merupakan ibadah sosial. Perbuatan itu mungkin hanya bersifat horizontal tanpa ada kaitannya dengan hubungan vertikal kepada Allah Swt. Akan tetapi ketika bekerja diniatkan sebagai bentuk kepatuhan dan ketundukkan kepada-Nya, maka bekerja memiliki nilai ibadah ritual-vertikal, di samping ibadah sosial-horizontal. al-Qur’an (QS. Al-Jum’ah, 62: 9-10) sendiri memanggil orang-orang yang beriman, sesudah beribadah shalat, untuk segera bertebaran di muka mencari rizki dari karunia Allah Swt yang amat luas.

Di dalam ayat lain, seperti (QS. Al-Mulk, 67, 15; Taha, 20: 53-54; dan Al-A’raf: 10), al-Qur’an juga mengisahkan bahwa Allah Swt telah menghamparkan berbagai sumber daya dan jalan bagi manusia, dan meminta mereka untuk mencari rizki guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Ayat-ayat ini, tidak secara khusus hanya menyapa laki-laki.  Sebagaimana ayat-ayat keimanan dan amal shalih yang lain, ayat-ayat yang sama juga menyapa para perempuan muslimah untuk aktif beramal dan bekerja mencari rizki dari anugerah Allah Swt.

Fasilitas dan sumber daya yang dihamparkan Allah Swt. di muka bumi ini, sebagai jalan rizki dan anugerah-Nya, juga dipersiapkan melalui sistem sosial yang ada bagi para perempuan muslimah. Dengan meyakini kemanusian, kehambaan, dan ke-khalifah-an para perempuan, tidak ada alasan syar’i, terutama dari al-Qur’an, untuk meminggirkan mereka dari ruang-ruang bekerja, baik sebagai aktualisasi diri, untuk layanan sosial, termasuk untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Dan itu berlaku bagi perempuan dewasa apapun status perkawinannya: sebagai individu, istri, atau kepala keluarga.

Bekerja merupakan perwujudan dari keimanan, dan beramal shalih. Bekerja juga wujud implementasi rasa syukur atas segala kenikmatan yang kita terima dari kehidupan ini. Nabi Muhammad Saw dalam prilakunya sehari-hari memperlihatkan  bahwa bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri tidak hanya baik, tetapi termasuk teladan kenabiannya. Setiap pekerjaan, dalam bentuk apapun, yang membuatnya terhindar dari meminta kepada orang lain, adalah baik di mata Nabi Muhammad Saw.

 

عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (صحيح البخاري، رقم: 2111).

Dari Miqdam ra., bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, yang lebih baik dari hasil jerih pekerjaan tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri”. (Sahih Bukhkari, no. hadits: 2111).

 

عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، فَيُعْطِيْهِ أَوْ يَمْنَعُهُ. (صحيح البخاري، رقم: 2113).

Dari Abi ‘Ubaid, hamba sahayanya Abdurrahman bin ‘Auf, dia mendengar Abu Hurairah ra. bertutur bahwa Rasul saw. bersabda, bahwa  seseorang yang menggunakan seutas tali, mencari kayu bakar dan mengikatkan ke punggungnya, (lalu menjualnya ke pasar) adalah lebih baik baginya daripada harus meminta-minta kepada orang lain, yang kadang diberi dan terkadang ditolak”. (Sahih Bukhari, no. 2113).

 

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ ونَشَاطِهِ مَا أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنْ كَانَ خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ ‌صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ خَرَجَ ‌يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ ‌يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعِفُّها فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وتَفَاخُرًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ)). (المعجم الأوسط للطبراني، رقم الحديث: 6835).

Dar Ka’b bin ‘Ujrah berkata: Suatu saat ada seseorang yang lewat di hadapan Nabi Muhammad Saw, lalu para Sahabat melihat kekuatan dan kecekatanya yang mengagumkan mereka. “Ya Rasulallah, andai saja (semua kekuatan dan kecekatan) ini digunakan untuk jalan Allah”, kata mereka. Lalu Nabi Saw menimpali mereka: “Jika dia keluar bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka dia sesungguhnya berada di jalan Allah, jika dia keluar untuk membantu kedua orang tuanya yang sudah renta, jika dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dirinya maka ia juga sedang berada di jalan Allah, tetapi jika dia keluar bekerja untuk sebuah mempertontonkan (kehebatan diri) dan kesombongan maka ia berada di jalan setan”. (al-Mu’jam al-Awsath Thabrani, no. hadits: 6835).[1]

 

Inti pembelajaran dari ketiga teks hadits di atas adalah bekerja, dalam bentuk apapun, selama halal, untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga adalah perbuatan baik. Ketiga teks hadits ini, sebagaimana ayat-ayat di atas, dan hadits-hadits lain mengenai ‘amal shalih,  menyapa manusia, laki-laki maupun perempuan. Tentu saja, praktik dari bekerja sebagai implementasi ‘amal shalih ini, tergantung pada konteks sosialnya, kapasitas dan kemampuan seseorang, serta pilihan-pilihan yang tersedia. Namun, menyisihkan seseorang, apalagi melarangnya hanya karena statusnya sebagai perempuan adalah sesuatu yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran dasar al-Qur’an, maupun teladan Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam.

 

[1] Ath-Thabrani, Sulayman bin Ahmad al-Lakhmi, al-Mu’jam al-Awsath, ed. Thariq bin ‘Awadh, (Cairo: Dar al-Haramain, tanpa tahun), juz 7, hal. 56.

 

Penulis merupakan dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan pendiri Mubadalah.id.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *